Peraih Anugerah Sagang Kencana : BM Syamsuddin

Penghargaan yang Mengharukan dan Membanggakan

Budaya Rabu, 03 November 2010
Penghargaan yang Mengharukan dan Membanggakan

BM Syamsuddin meninggalkan 11 orang anak dan tidak seorang pun yang mengikuti langkahnya menjadi seorang seniman, terutama dalam dunia tulis menulis. Meski demikian, BM Syamsuddin telah meninggalkan jejak suci yang diikuti banyak orang. Meski namanya, hanya dikenal segelintir generasi hari ini karena tidak adanya upaya memperkenalkan kembali. Karena itu, Yayasan Sagang mencuatkan nama besar BM Syamsuddin dengan memberikannya penghargaan bernama Anugerah Sagang Kencana.

SENIMAN bernama lengkap Bujang Mat Syamsuddin lebih dikenal sebagai seorang sastrawan. Karya-karya terbaiknya telah banyak yang dibukukan. Selain menggeluti dunia sastra dan teater tradisi Melayu, lelaki yang akrab disapa BM Syam itu juga menekuni bidang jurnalistik. Ia pernah bekerja di Majalah Topik (Jakarta), menulis laporan daerah dari Riau di Haluan dan beberapa tahun, sebelum akhir hayatnya BM Syam bergabung di harian Riau Pos di Pekanbaru.

Hingga hari ini nama BM Syam diabadikan sebagai nama tempat pertunjukan out door di Komplek Bandar Serai (Purnam MTQ) Pekanbaru dengan sebutan Laman Bujang Mat Syam, tepat di depan Gedung Teater Tertutup Anjung Seni Idris Tintin. Suami almarhum Wan Nuraina tersebut, senantiasa hidup dalam kesederhanaan dan kearifan yang sangat mengesankan banyak rekan-rekannya sampai hari ini.
 
Anak bungsunya Ali Haji mengakui, sejak wafat, perhatian baik dari pemerintah maupun pihak lain dirasa tidak ada. Bak kata pepatah, "habis manis sepah dibuang." Karenanya, pemberian penghargaan oleh Yayasan Sagang kepada almarhum menjadi kebanggaan besar bagi ahli warisnya. Ditambah lagi, penghargaan itu diberikan Yayasan Sagang sebagai puncak penghargaan 15 tahun usia Anugerah Sagang yang bernama Anugerah Sagang Kencana. 

"Kami berterima kasih pada Yayasan Sagang karena memberikan penghargaan tertinggi pada ayah. Meski telah tiada, penghargaan tetap diberikan dan kami sangat memberikan apresiasi yang tinggi pada Yayasan Sagang. Apalagi, selama ini, ayah kami seperti dilupakan dan jasanya bak hilang di telan zaman.

Penghargaan ini mengharukan sekaligus sangat membanggakan bagi kami," ulas Ali Haji, Rabu (13/10).  Ditambahkan Ali Haji, jasa-jasa BM Syam yang sudah bertungkus lumus dalam bidang kebudayaan sepatutnya dikenang. Tidak hanya bagi ayahnya, Ali Haji juga mengharapkan kepada pemerintah daerah agar lebih memperhatikan seniman/budayawan lama, baik yang sudah tiada maupun tua dalam menjaga, memelihara dan mengembangkan kearifan lokal Melayu hingga tetap abadi hingga saat ini dan nanti.

Sebagai ilustrasi yang berhasil kami dikumpulkan tentang sastrawan satu ini dari berbagai sumber diharapkan dapat semakin mendekatkannya dengan masyarakat. BM syam lahir di Sedanau, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau (sebelum pemekaran termasuk ke dalam wilayah Provinsi Riau, red), pada 10 Mei 1935. Ia menamatkan Sekolah Rakyat (SR) dan Sekolah Guru Bantu (SGB) di kampung kelahirannya itu.

BM Syam melanjutkan pendidikan di Sekolah Guru Atas (SGA) di Tanjungpinang pada pertengahan tahun 1950-an dan di sekolah inilah bakat kesastraan laki-laki bernama asli Bujang Mat Syamsuddin ini mulai terlihat.
 
Setamat SGA, BM Syam mengajar SD dan SMP di beberapa tempat di Tanjungpinang dan Sedanau, sebelum akhirnya memilih hijrah ke ibukota provinsi, Pekanbaru, pada pertengahan 1970-an. Di kota bertuah ini kemampuan kesastraaan BM Syam semakin terasah. Karya-karyanya berupa puisi dan cerpen pun dimuat di bebagai media massa, di antaranya Kompas dan Suara Karya Minggu, Suara Pembaruan, Lembaran Budaya Sagang, Riau Pos, Haluan, Mingguan Genta, Majalah Amanah dan lain sebagainya.

BM Syam terbilang salah satu sedikit pengarang produktif Riau pada masanya. Di awal-awal karier kepengarangannya, ia tidak dikenal sebagai penulis cerpen -- ia memulai karier kepenulisannya melalui puisi -- namun sebenarnya cerpen sulungnya sudah dimuat di Majalah Merah Putih pada tahun 1956 dengan nama pena Dinas Syam.
  
Selain menulis sajak dan karya-karya fiksi (roman), BM Syam juga banyak menulis esei, kritik dan artikel kebudayaan di berbagai media massa di Indonesia. Ia juga pernah terjun ke dunia jurnalistik dengan menjadi wartawan di Majalan Topik (Jakarta), menulis laporan-laporan daerah dari Riau di harian Haluan dan beberapa tahun sebelum akhir hayatnya sempat bergabung dengan harian Riau Pos di Pekanbaru.
 
Setamat SGA BM Syam menjadi guru di sekolah rendah dan menengah di Pekanbaru pada tahun 1955-1981, di  samping bertugas di Subseksi Pendidikan Luar Sekolah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kotamadya Pekanbaru selama 10 tahun (1981-1991. BM Syam juga menjadi dosen luar biasa di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Islam Riau (FKIP UIR) (1988-1995).
 
Di antara buku-bukunya yang sudah terbit adalah lima cerita anak-anak Si Kelincing (1983), Batu Belah Batu Bertangkup (1982), Harimau Kuala (1983), Ligon (1984), Dua Beradik Tiga Sekawan (1982). Roman sejarahnya ialah Damak dan Jalak (1982), Tun Biajid I dan Tun Biajid II (1983), Braim Panglima Kasu Barat (1984), Cerita Rakyat Daerah Riau (1993). BM Syam juga menulis buku ilmiah popular untuk tingkat sekolah dasar, antara lain Seni Lakon Mendu Tradisi Pemanggungan dan Nilai Lestari (1995) dan Seni Teater Tradisional Mak Yong (1982), Mendu Kesenian Rakyat Natuna (1981).
 
Cerpen fenomenalnya, Cengkeh pun Berbunga di Natuna, mendapat perhatian khalayak sastra Riau ketika terbit di harian Kompas pada tahun 1991. Cerpen ini kemudian terpilih sebagai salah satu cerpen pilihan Kompas dan terbit dalam antologi Kado Istimewa (1992). Cerpen-cerpen penting lainnya antara lain Perempuan Sampan (1990), Toako (1991), Kembali ke Bintan (1991), Bintan Sore-sore (1991), Gadis Berpalis (1992), Pemburu Pipa Sepanjang Pipa, Nang Nora, dan Jiro San, Tak Elok Menangis (1992).

BM Syam wafat di Bukitttingi, pada hari Jumat, 20 Februari 1997 dan dikebumikan di Pekanbaru. Menjelang akhir hayatnya, BM Syam masih cukup produktif berkarya. Publik sastra Riau merasa sangat terharu dan kehilangan karena tokoh sastrawan besar Tanah Melayu ini sangat mengesankan dan familiar terhadap semua orang.***