Minggu, 08 Desember 2024
Pengertian tentang “Orang Melayu” yang sejak lama didefenisikan sebagai mereka yang berbahasa Melayu, beradat istiadat Melayu dan beragama Islam, tampaknya kini sudah tak bisa dipakai sebagai satu-satunya acuan secara ketat.
Dalam Seminar Nasional Kebudayaan Melayu di Tanjungpinang itu misalnya, acuan itu antara lain sudah harus ditambah dengan satu acuan lain, yaitu adanya pengakuan dan interaksi, sehingga formulasi pengertiannya menjadi lebih longgar : Orang Melayu adalah pendukung kebudayaan Melayu berdasar bahasa, adat istiadat, agama Islam dan pengakuan dalam interaksi sebagaimana dicantumkan dalam rumusan umum yang merupakan rekomendasi dari seminar tersebut.
Tetapi, terlepas dari masalah pengertian yang bagaimanapun memang mau tak mau harus tunduk pada kehendak perubahan dan waktu, maka yang tetap menarik diamati adalah tentang kedudukan dan peranan orang Melayu itu sekarang ini, paling tidak dalam kapasitasnya dalam satu suku bangsa di Indonesia.
Apakah ia masih tetap tegar dan kukuh menyonsong perubahan kehidupan dan sergapan perkembangan ilmu dan teknologi, atau sebaliknya ia luluh dan tenggelam dan makin kehilangan identitasnya sekalipun pribadi Melayu itu, seperti dikatakan dr Thabrani Rab dalam makalahnya sebagai: suatu alat musik dimana segala nada dapat dipermainkan secara persuasif, sehingga dapat menyayikan lagu kemajuan bangsa?
Untuk gambaran tersebut adalah menarik dua makalah yang diketenggahkan, setidaknya sebagi contoh. Yaitu tentang orang Melayu dalam kehidupan majemuk di Kota Medan, oleh Dr Usman Pelly, seseorang sosiolog yang memang sudah mengamati perkembangan kehidupan sosial etnis Melayu, terutama di Sumatera bagian Timur, dan makalah Dr M. Yunus Malalatoa, tentang “porsi suku bangsa di Provinsi Riau masa kini sebagi hasil perkembangan”. Karena bagaimanapun Riau dan Sumatra Timur, sekarang ini bisa dianggap sebagai daerah tempat konsentrasi terbesar etnis Melayu di Indonesia.
Tamsil Putri Hijau:
Medan, yang dalam syair Melayu terkenal “puteri hijau” dianggap sebagai gelanggang, oleh Dr Usman Pelly memang diisyaratkan sebagai gelanggang pertempuran orang Melayu. Ketika didirikan tahun 1590, kota (kampung) hanya merupakan tempat Guru Pantipus membangun pemerintahannya yang yang kelak merupakan cikal bakal dari Kesultanan Deli. Tahun 1833, ketika orang asing pertama menjejakkan kakinya ke sini, Jhon Andreson, penduduknya tak lebih dari 200 jiwa saja.
Tetapi 50 tahun kemudian, ternyata Medan sudah menjadi gelanggang pertempuran “hidup mati” orang Melayu yang demikian menarik terutama dalam persaingan mempertahankan identitas kemelayuan di tengah pengaruh berbagi etnis lain yang datang bagai bah menyerbu kawasan itu, sebagai akibat dari kebijaksanaan kolonial Belanda membuka ladang-ladang perkebunan dan mengangkut para kuli kontrak dari Jawa dan Cina.
Sementara modal-modal besar dari Belgia, Inggris, Amerika Serikat, Jerman, Prancis, dan lainya berhamburan kemari untuk menembas hutan dan tanah Sumatra bagian timur itu menjadi ladang-ladang tembakau, kelapa sawit, coklat, karet dan sebagiannya.
Tahun 1920 dan tahun 1930 misalnya, komposisi etnis di Kota Medan sudah jauh berubah. Hampir 50% penduduknya adalah orang asing, seperti Cina, India, Arab, Belanda, Inggris, Jerman, dan sebagainya, sedangkan kelompok etnis Indonesia, seperti orang Melayu ternyata hanya 6,65%, Jawa 23,1%. Minangkabau 6,8% dan Mandailing serta Batak Toba 6,7%.
Kenyataan itu menunjukkan bahwa sejak tahun 1920 itu, orang Melayu memang sudah menjadi kelompok minoritas, dan demikian juga statistik komposisi penduduk untuk Sumatera Timur.
Tetapi, ketika itu, sekalipun menjadi elit minoritas, ternyata orang Melayu tetap memegang peranan penting. Menurut Dr Usman Pelly, ada dua faktor penting yang membuat peranan orang Melayu tetap kukuh. Pertama, karena kedudukan politik orang Melayu melalui kekuasaan dari Sultan Deli, yang tetap melindungi orang Melayu dan itu misalnya tampak pada perjanjian antara Sultan Deli dan Belanda dalam “kontrak panjang” di mana Sultan masih memiliki otonomi ke dalam, menyangkut masalah tanah, adat dan agama.
Faktor kedua, adalah tetap tumbuh sehat budaya Melayu sebagai budaya lokal. Ini terutama berkat kemakmuran kesultanan yang banyak memperoleh penghasilan dari sektor perkebunan, dan dengan kekayaan yang cukup itu tetap dapat melihat berbagi adat istiadat dan kehidupan budaya Melayu.
Kedudukan adat dan budaya yang bersandarkan pada agama Islam itu, memainkan peranannya dalam proses “Melayunisasi” terhadap berbagi suku bangsa lain yang membaurkan kehidupannya dalam kelompok suku Melayu, seperti suku Mandailing, Karo, Simalungun, Dairi, dan lainnya.
Namun dalam segi kehidupan ekonomi, ternyata munculnya perkebunan besar (estate) menyebabkan terjadinya perubahan pola hidup orang Melayu di sana yang semula memiliki tradisi pertanian yang menghasilkan komoditi ekspor dan pertanian pangan.
Akibat diambilnya tanah-tanah dan kawasan hutan untuk perkebunan oleh Belanda, maka yang akhirnya dimiliki oleh orang Melayu sebagai tanah pertanian adalah tanah sisa panen yang hanya cukup untuk pertanian pangan, dalam skala kecil.
Dengan pola ini tradisi pertanian perkebunan menjadi lenyap dan kejadian ini dianggap oleh Dr Usman Pelly sebagi pangkal terjadinya proses pemiskinan orang Melayu, dan menanamkan kebiasaan hidup santai dan ketergantungan pada orang lain. Sebab dalam praktek penyedian lahan pertanian pangan mereka, tanah yang diperoleh adalah tanah yang selesai ditanami tembakau.
Dilain pihak tumbuhnya akupasi (lapangan usaha) baru seperti perdagangan, pertukangan, jasa dan industri, justru merupakan akupasi yang kurang diminati orang Melayu. Akibatnya lapangan ini kemudian diserbu oleh etnis lain, seperti Cina, suku Minangkabau dan Mandailing. Sementara orang-orang Melayu dengan kadar pendidikan yang rendah memburu lapangan pekerjaan kepegawaian yang justru merupakan lapangan kerja yang memerlukan persaingan berat dengan etnis lain, terutama dengan suku Mandiling, atau Jawa yang terpelajar.
Persaingan mendapat porsi lapangan kerja di bidang kepegawaian dan pertanian itu semakin seru setelah masa kemerdekaan dimana pada dekade awal terjadi migrasi besar-besaran dari etnis Batak Toba yang menurut Dr Usman Pelly dengan mengutip hasil penelitian Michael Van Langenberg, 1982, sebagai kelompok suku yang masih muda-muda terpelajar dan “pemburu tanah” (Land Hunter), dan sasarannya adalah juga akupasi kepegawaian dan pertanian .
Dalam persaingan itu, terutama untuk sektor kepegawaiannya misalnya, orang Melayu karena sektor pendidikan sejak awal kurang mendapat perhatian mereka, akhirnya makin menipis.
Untuk perbandingan Dr Usman Pelly menunjukkan persentase pegawai negeri di kantor Walikota Medan pada priode Syurkani (1968), dan priode A. S. Rangkuty (1985), di mana pada masa syurkani kelompok orang Melayu masih merupakan 21,75% dari jumlah pegawai, tetapi di zaman AS. Rangkuty tinggal 6,9% saja, meskipun komposisi itu hanya untuk jabatan struktural dan kepala-kepala bagian. Juga di lingkungan kantor Gubenur Sumut, yang dicatat Dr Usman Pelly pada masa Gubenur EWP. Tambunan (1983), dimana kelompok Melayu hanya 7,9% saja.
Begitu luasnya pengamatan ahli masalah sosial dari IKIP Medan ini, juga dicatat peranan dan kedudukan etnis Melayu pada akupasi profesional, seperti advokat, dokter, notaris dan kewartawanan. Dari keempat akupasi itu, tampaknya hanya profesi kewartawanan saja yang menyerap agak lebih tinggi persentase etnis Melayu yaitu sekitar 17.7% meskipun masih dibawah etnis Minangkabau dan Mandailing. Untuk profesi lainnya hanya antara 3 sampai 6% saja.
Dengan data tersebut, tampaknya jelas, “Posisi Orang Melayu sebagai kelompok dominant culture dimasa kolonial, sekarang ini telah jauh berubah”, demikian kesimpulan Dr Usman Pelly, dan perubahan itu antara lain disebabkan karena telah menjadi degradasi (kemunduran) peranan orang Melayu dibidang politis (pemerintahan) dan ekonomi.
Makin Kepinggir :
Kenyataan lain dari akibat degradasi itu, juga tampak pada pola pemukiman orang Medan di Medan. Dalam masa 50 tahun (1930-1980), ternyata jumlah etnis Melayu di Medan tidak bertambah banyak, dan hanya mengalami kenaikan 1,5% saja dalam masa 50 tahun itu.
Tahun 1980, dari jumlah 1,4 juta penduduk Medan, maka orang Melayu hanya 8,575. Artinya kalau tahun 1930, etnis Melayu masih merupakan kelompok etnis nomor lima banyaknya, pada tahun 1980 menjadi nomor enam, walupun sebenarnya secara keseluruhan komposisi penduduk Medan dalam tahun1980 tidak menunjukkan disparitas yang terlalu menyolok seperti tahun 1930.
Etnis Cina misalnya, yang tahun 1930 merupakan 35,63% penduduk Medan, pada 1980 hanya 12,84%. Etnis Jawa misalnya hanya naik sekitar 4,5% dalam 50 tahun ini. yang agak tinggi justru suku Mandailing/ Sipirok/ Angkola yang meningkat 5,5% dan Batak Toba yang tahun 1930 hanya merupakan 1,07% penduduk menjadi 14,11% pada 1980, suatu pertambahan yang sangat tajam.
Dari komposisi tersebut, maka daerah pemukiman pun menjadi satu peta pengamatan yang menarik. Misalnya untuk kawasan kota Medan yang tumbuh sebagai sebuah kota dagang dan industri yang begitu cepat dan keras, maka konsentrasi pendudukpun tampak berbeda jauh. Etnis Cina dan Minangkabau yang merupakan kelompok yang memilih akupasi perdagangan dan industri sebagai lapangan pekerjaan merupakan kelompok yang sekitar 73% tinggal disekitar zona perdangangan (pusat kota dan ekonomi), sedangkan kelompok etnis Melayu atau Mandailing yang lebih memilih bidang kepegawaian dan pertanian sebagai akupasinya, hanya sekitar 40% berada disekitar pusat pertokoan.
Sungguhpun demikian, dari seluruh data pengamatan itu, Dr Usman Pelly menyimpulkan bahwa gambaran orang Melayu yang memilih hidup yang makin kepinggir itu bukanlah gambaran yang tepat untuk menyebut mereka makin tersingkir.
“Pola pemukiman orang Melayu yang cendrung menjadi pusat-pusat kota, sejalan dengan preferensi akupasi orang Melayu yang tidak menyukai dunia perdagangan besar. Gambaran terkucilnya kehidupan orang Melayu di Medan, lebih banyak didasarkan kepada menurunnya peranan mereka dalam bidang politik, ekonomi dan budaya,” demikian simpulnya.
Bahkan Dr Usman Pelly yang sudah banyak melakukan penelitian tentang permasalahan sosial berbagi etnis di Medan dan Sumatera Timur itu, baik untuk keperluan itu thesisnya memperoleh gelar MA di Universitas Ilinois (USA), 1980 maupun untuk keperluan disentrasinya memperoleh Phd di Universitas yang sama, 1983, dan berbagai penelitian lain, justru melihat perlunya budaya Melayu dikembangkan dengan lebih kaya, sebagai alternatif untuk menjadi budaya pemersatu dan pusat orientasi akulturasi, bagi kehidupan majemuk di kota Medan, dan dengan membuka diri. Kebudayaan Melayu dapat menjadi pra kebudayaan nasional. Untuk itu orang Melayu Medan tak perlu merasa kalah di gelanggang (medan) pertempuran hidupnya.
Kehilangan Etos :
Bagaimana dengan orang Melayu di Riau, yang dianggap merupakan daerah yang selain konsentrasi suku Melayunya tetap tinggi juga dikatakan masih sanggup mempertahankan teras-teras budaya Melayu dalam berbagai aspek kehidupan?.
Sayang, tak ada makalah yang begitu mendalam membicarakan ihwal kehidupan orang Melayu di Riau ini, seperti makalahnya Dr Usman Pelly. Makalah Dr yunus Melalatoa, (UI-Jakarta), tampaknya hanya mencoba mengambarkan tentang porsi suku-suku bangsa di provinsi Riau sebagai hasil proses perkembangan.
Meskipun demikian, dari gambaran yang disajikan oleh Dr J. Malalatoa ini tampak jelas bahwa suku bangsa Melayu di Riau masih merupakan mayoritas, dan gambaran itu tercermin hampir di semua kabupaten yang ada di Riau, kecuali Pekanbaru.
Ini berbeda dengan keadaan etnis Melayu di Sumatera Timur misalnya, bekas karasidenan yang mencakup Deli Serdang, Langkat, Simalungun, dan Asahan, yang dinyatakan oleh Dr Usman Pelly sebagai kelompok minoritas sebagaimana yang dicerminkan oleh komposisi penduduk kota Medan.
Dari hasil penelitian tahun 1981 misalnya, Dr J. Melalatoa mendapat kesimpulan bahwa orang Melayu masih merupakan meyoritas diberbagai kabupaten, bahkan ada 25 kecamatan dari 61 kecamatan yang ada di Riau, yang 100% penduduknya adalah orang Melayu. Di beberapa kecamatan yang lain, jumlah orang Melayu lebih dari 50%. Hanya ada 2-3 kecamatan yang orang Melayu merupakan minoritas.
Ini misalnya dikecamatan Reteh (Inderagiri Hilir) yang merupakan kecamatan yang terbanyak penduduknya di Riau (110.885 jiwa), dimana orang Melayu hanya merupakan 2,7% penduduk. Mayoritas di sini adalah suku Bugis (91%). Juga kecamatan tembilahan (Inderagiri Hilir) hanya 15% orang Melayu dari 53.157 penduduk. Mayoritas adalah suku banjar (80%). Demikian juga di Kecamatan Mandau (Bengkalis), dimana orang Melayu hanya 17%, dan mayoritasnya adalah Minangkabau yang mencapai 43% dan Tapanuli 27%.
Dari hasil penelitian Dr J. Melalatoa itu, bisa dicatat bahwa di Riau yang sejak abad ke 18 merupakan salah satu pusat kebudayaan dan kekuasaan orang-orang Melayu itu, kini terjadi proses pembauran yang sangat beragam. Tercatat ada sedikitnya enam suku bangsa yang mempunyai penduduk dalam jumlah yang cukup besar.
Orang Jawa misalnya, mendiami hampir 12 kecamatan yang ada di Bengkalis dengan variasi jumlah antara lima sampai 37,5%. Kemudian orang Minangkabau yang tercatat mendiami sepuluh kecamatan di Riau dengan konsentrasi penduduk antara lima sampai 43%, dan berbagai suku bangsa lain seperti Bugis, Banjar, Tapanuli,dan etnis Cina yang untuk promosi ini cukup besar jumlahnya, dengan variasi antara dua sampai 46%. Dikecamatan Bangko (Bengkalis) misalnya orang Cina merupakan 46% pendududuk dari jumlah 71.252 jiwa,dan orang Melayu hanya 49%.
Meskipun dari porsi suku bangsa ini bisa dilihat komposisi penduduk di Riau, makalah Dr J. Melalatoa itu tidak menyajikan tentang konsentrasi penduduk di daerah perkotaan, dimana seperti kenyataan di Medan, telah terjadi polarisasi dalam akupasi (sumber usaha dan lapangan pekerjaan).
Namun dari berbagai penulisan budaya lainnya. Tampknya untuk daerah perkotaan seperti Pekanbaru, Dumai, dan daerah-daerah pusat penambangan, terdapat pola pemukiman yang hampir sama dengan kasus Medan tersebut. Untuk Pekanbaru misalnya, 40% penduduknya yang 200.000 jiwa lebih itu, adalah suku Minangkabau yang menguasai sektor perdagangan bersama etnis Cina.
Sementara kelompok suku Melayu, selain mengeluti sektor pertanian, juga akupasi kepegawaian, sekalipun tidak terdapat data-data yang lebih terperinci. Di Tanjungpinang, kepualuan Riau, misalnya dari penduduk kota yang tercatat 60.000 jiwa, sekitar 20.000 menumpuk di pusat kota yang merupakan pusat ekonomi dan perdagang. Dari jumlah itu, 13.000 diantaranya adalah etnis Cina.
Konsentrasi penduduk yang demikian sudah berlangsung sejak zaman kolonial Belanda.
Masalah mayoritas orang Melayu di Riau, tampaknya tampaknya pengamatan beberapa tokoh-tokoh orang Melayu sendiri di Riau, seperti dr Thabrani Rab, dalam berbagi makalahnya yang membicarakan tentang masalah budaya Melayu, adalah masalah kehilangan etos Kemelayuan yang pada masa lampau mampu tampil sebagai pemberi sumbangan budaya dan pemikiran yang cermelang.
Kemelayuan di masa sekarang ini sering menjadi semacam predikat hal-hal yang punya konotasi kurang sreg, seperti orkes Melayu, atau lainnya yang lebih cendrung mengambarkan keterbelakangan.
“Mestinya kita menarik etos Melayu dari masa kebesaran Malaka dulunya, di mana Sultan Iskandarsyah berhasil meletakkan dasar-dasar perubahan agraris ke proses sosial ekonomi, berupa pusat arus perdagangan. Iskandarsyah meletakkan dasar-dasar politik internasional dan mempertahankan etos Melayu, “demikian antara lain kesimpulan Thabrani.
Ia melihat masalah pokok bagi orang-orang Melayu sekarang adalah masalah stafikasi, apakah mereka mau menjadi sosial kelas atas atau kelas bawah.
Jawaban untuk itu ada di tangan orang-orang Melayu sendiri, yaitu sejauh mana mereka mampu meraih teknologi dan memandang ke depan, dan bukan sikap yang justru menagisi masa lampau atau puing-puing Malaka yang runtuh itu.
Orang-orang Melayu di Riau pada suatu waktu dulu, memang pernah agak terkejut, ketika seorang tokoh yang lain yaitu Drs Rivaie Rahman, ketua Bappeda Riau saat itu, dalam suatu wawancara pers menyebutkan bahwa orang Melayu agak lamban mata ke depan karena punya sifat yang terlalu perasa, perajuk, dan dalam menjalan kan tugas sebagi pegawai misalnya, sebelah kaki dikantor dan sebelah lagi dirumah. Dalam memilih sikap hidup, Orang Melayu lebih suka menjadi kain buruk untuk menjadi pengelap air mata, seperti dinyanyikan oleh lagu Melayu lama, Tudung Periuk.
Kejutan Rivai itu, yang ia katakan sengaja untuk membangkitkan kembali semangat dan etos kemelayuan itu, memang sempat membuat orang-orang Melayu Riau terperangah dan tersentak. Dan sesudah itu? Barangkali Seminar Kebudayaan Melayu yang sudah dua kali dilakukan yaitu 31 Januari sampai 2 Febuari 1985 di Pekanbaru, dan 17 sampai 20 Juli lalu di Tanjungpinang ini, bisa membantu menegakkan kembali etos yang hilang.
Silahkan Encik!***