Kumpulan Puisi

Secangkir Kopi Sekanak

Buku Senin, 05 Maret 2018
Secangkir Kopi Sekanak

 

 

Secangkir Kopi Sekanak
@ Rida K Liamsi


Desain Cover : Furqon Lw

Layout         : Rudi Yulisman
Tebal            : xii + 120 halaman

ISBN :
Cetakan Pertama, 2017




Diterbitkan pertama kali oleh : PT.Sagang Intermedia Pers, 2017

 

 

 

 


 

 

 

 

 

PENGANTAR

 

Ini adalah kumpulan puisi saya yang ke-Lima, setelah "OdeX", "Tempuling ", "Perjalanan Kelekatu" dan  "ROSE". Kumpulan puisi ini saya beri nama "Secangkir Kopi Sekanak", yang diambil dari judul salah satu puisi saya dalam kumpulan ini.Ada tiga puisi saya yang diberi judul "Secangkir Kopi Sekanak", dalam kumpulan ini dengan semangat yang berbeda. Tapi haluan tuju puisi­ puisi itu sama. Kegemilang tamaddun Melayu dan jejak sejarah yang menyertainya. Kehebatan, kehandalan, dan juga kegetiran.

 

Kumpulan puisi ini memuat sekitar 30 puisi saya yang saya tulis pada beberapa tahun terakhir ini  setelah saya  menerbitkan  kumpulan  puisi  "ROSE"  (2013). Tetapi ada beberapa puisi yang  sebenamya saya tulis sekitar 40 tahun yang lalu, yang berhasil ditemukan kembali berkat bantuan sejarawan Aswandi Syahri yang telah menyimpan sejumlah puisi saya, seperti "Limit",  "Ballada Tanah Kelahiran", yang saya tulis kembali, meskipun tidak terlalu banyak yang saya revisi. Yang terutama saya lakukan adalah menyalin ulang puisi itu dari ejaan lama ke ejaan yang baru. Karena itu tahun  penulisan puisi itu jadi sangat jauh jaraknya, 1970/2017.

 

Kumpulan ini kebanyakan memuat puisi saya yang bertemakan sejarah. Terutama sejarah kemaharajaan Melayu yang eksis di kawasan semenanjung tanah Melayu ini,hampir 800 tahun. Dimulai dari era  kerajaan Bentan tua (n64) sampai  ke era kerajaan Siak (1946). Jejak perjalanan sejarah kemaharajaan Melayu yang pernah mencapai puncak kebesarannya pada masa kerajaan Melaka (1441 -1511), banyak memberi saya inspirasi untuk menulis sisi-sisi historicalnya melalui perenungan tentang perjalanan sejarah bangsa Melayu itu, salah satu rumpun bangsa besar di dunia yang jumlahnya hampir 400 juta, dan kini bertebaran di mana-mana. Melayu diaspora. Seperti tragedi jatuhnya Melaka ke tangan penjajah portugis, 1511, kisah cinta sultan Mahmudsyah (sultan Melaka terakhir) yang berlumur darah, dan lainnya, sampai ke era kerajaan Johor, Riau, sebelum kerajaan ini berakhir tahun 1912, yang menyisakan banyak cerita dan konflik politik antara penguasa keturunan Melayu dengan keturunan Bugis.


Saya banyak menyerap jejak sejarah dan menjadikannya puisi puisi karena saya menyadari dalam perjalanan sejarah suatu kaum, bangsa, selalu ada pelajaran hidupyangsangat berguna untuk menjadi acuan dan renungan, agar suatu bangsa menjadi semakin ari£ Belajar dari sejarah. Belajar menghargai sejarah. Dan belajar membuat sejarah. Sesungguhnya para penyair, sebagaimana para sastrawan lain, adalah para pencatat sejarah yang baik dan terdepan,  dan bahkan juga menjadi para pembuat sejarah. Penyair adalah garda terdepan dari geliat dan nafas kehidupan bangsanya.

Sejarah juga telah membuktikan betapa  banyak warisan karya sastera, khususnya pUisI yang  ditinggalkan, dan bernilai untuk menjadi renungan hari ini. Karya-karya yang melintasi zaman.
 
Memang tidak semua ke-30 puisi saya kali ini bertemakan sejarah. Ada juga yang tetap merupakan renungan dan catatan dari perjalanan dan kembara hidup saya tahun-tahun terakhir ini. Namun puisi-puisi saya tetaplah dalam semangat untuk menunjukkan bahwa bagi saya menulis puisi adalah bahagian dari cara saya bersyukur atas anugerah dan nikmat hidup ini. Rasa takjub dan rasa tak berdayanya saya di tengah cungkup kosmos kehidupan ini. Saya tetap merasa seperti seekor burung kedidi yang berlari sepanjang pantai mencari jalan pulang. Kembali ke rumah dari mana saya datang. Sebuah pengembaraan spritual.

Tidak semua puisi-puisi saya ini telah dipublikasi. Beberapa diantaranya memang pemah disertakan dalam beberapa kumpulan puisi bersama dengan para penyair Indonesia lainnya. Seperti kumpulan puisi  "Matahari Cinta, Samudera Kata" ( 2016), "6,5 SR Luka Pidie Jaya " (2017), " Matahari Sastra Riau "(2017), dan beberapa kumpulan bersama lainnya dengan puisi­ puisi tematik, seperti untuk mengenang penyair dan musisi Ane Matahari, dll.

 


Beberapa   puisi  saya  akhir-akhir  ini  cendrung menjadi puisi-puisi narative. Puisi-puisi yang berkisah, dan kebanyakan dengan latar belakang  sejarah. Seperti  'Secangkir Kopi Sekanak" atau lainnya. Puisi-puisi yang demikian ini sebenarnya sudah ada sejak kumpulan puisi saya "Perjalanan Kelekatu", seperti puisi "Aceh Suatu Hari Sesudah Tsunami" atau  "Dan Sejarah pun Berdarah". Juga dalam kumpulan "ROSE" seperti "Stories from Korea", dan lainnya. Dan yang bertemakan sejarah juga sudah ada sejak kumpulan puisi  "Tempuling",  seperti puisi "Jebat", atau Kasturi dalam kumpulan "Perjalanan Kelekatu ".

Namun belakangan ini kesadaran kesejarahan saya makin kuat, karena itu saya makin yakin bahwa seorang penyairadalah para pembuat sejarah, dan sejarah adalah sumber inspirasi yang tak pernah kering. Kesadaran seperti itulah misalnya yang saya tulis untuk essai saya "Penyair, Belajar dan Membuat Sejarah",  yang kemudian saya sampaikan dalam forum seminar diacara Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) di Tanjungpinang (2017). Atau pidato kebudayan saya dalam acara Harl Puisi Indonesia (HPI)  2016 di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Oktober 2016 yang menegaskan bahwa Bahasa adalah Tanah Air Para Penyair. Penegasan bahwa bagi. saya, menulis puisi adalah menulis jejak sejarah yang saya lalui, dan jejak itu sebagaimana fungsi dan peran sejarah, dapat menjadi cermin dan tempat belajar, dan juga sebagai kekuatan yang membangkitkan semangat untuk menghadapi kehidupan yang menantang di  hadapan. Menyair sampai mati.



Tanjungpinang, Oktober 2017



Rida  K Liamsi