Minggu, 08 Desember 2024
Novel Bulang Cahaya ini, ditulis dengan setting daerah Kepulauan Riau sampai ke pantai timur semananjung Malaysia,dengan latar belakang sejarah Kerajaan Melayu Riau Lingga. Tetapi, novel ini tetaplah sebuah karya fiksi. Sebuah karya hasil rekaan dan imajinatif. Karena itu, kalau sekiranya di dalam novel ini terdapat nama, waktu, peristiwa, dan indikasi-indikasi lainnya yang sama atau hampir bersamaan dengan nama-nama tokoh sejarah, sama dengan peristiwa, dan sama dengan waktu di mana Kerajaan Riau Lingga itu eksis, maka semuanya itu adalah suatu kebetulan, yang dimaksudkan bukan sebagai fakta sejarah, namun semata-mata hanya untuk dijadikan sebagai alur dan kerangka cerita, agar berbagai peristiwa yang diceritakan, yang sempat terpikirkan, akan menjadi mudah diingat, gampang dibaca, dan enak direnungkan.
Novel ini, semula saya rencanakan berupa sebuah trilogi. Bagian pertama diberi judul “Luka Yang Berdarah Kembali”, dan sempat dimuat sebagai cerita bersambung di Harian Riau Pos, beberapa tahun lalu. Namun karena teknis pemuatannya kurang teliti, dan terdapat banyak salah ketik, salah sambung dan lainnya, sehingga menjadi karya yang sangat tidak utuh. Banyak kelemahan, dan memerlukan revisi dan penulisan ulang. Bagian kedua diberi judul “Merajut Mimpi di Inderasakti”, sudah hampir rampung dan siap untuk dipublikasi. Namun dengan berbagai pertimbangan, dan perbaikan di sana-sini, akhirnya bagian ini tetap belum terpublikasikan.
Bahagian ketiga, direncanakan akan diberi judul “Dendam Seorang Kekasih”, belum sempat ditulis, meski kerangka ceritanya sudah disiapkan. Tetapi, ketika ketiga-tiga bagian itu saya baca ulang, dan saya kembangkan sebagai sebuah kerangka cerita yang utuh dan berkelanjutan, maka saya membayangkan ceritanya mengalir bagaikan cerita dalam film drama sejarah Helen of Troy. Akhirnya saya memutuskan untuk menyatukan saja semua bagian tersebut sebagai sebuah cerita, dan kemudian memberikannya judul Bulang Cahaya. Sebuah judul yang tidak serta-merta merujuk dan menunjuk pada nama tokoh- tokoh dalam novel ini. Tidak juga untuk menandai peristiwa-peristiwa utamanya yang menjadi teras novel ini. Judul ini lebih dimaksudkan untuk melambangkan sebuah sisi kehidupan, sebuah percikan waktu dan dinamika hidup, di mana cinta, harapan, dendam, benci, dan ketidakberdayaan menyatu dan berbancuh di dalamnya. Saya selalu terkesan dengan pantun lama Melayu:
Sudah tahu peria pahit
Mengapa digulai dalam pasu
Sudah tahu bercinta sakit
Mengapa tak jera dari dahulu
Novel ini ujud, tentu saja berkat bantuan dan dukungan banyak pihak. Baik dalam bentuk gagasan, saran maupun percikan-percikan percakapan yang menjadi sumBulang Cahayaber inspirasi. Karena itu, saya ingin menghaturkan penghargaan dan terima kasih yang dalam kepada semua pihak yang telah membantu. Khususnya kepada saudara Hasan Junus, sahabat saya, seorang budayawan, sastrawan, teman berdiskusi, yang telah menjadi salah satu sumber inspirasi lahirnya novel ini.
Hasan telah mendedahkan kepada saya sejumlah aspek dramatik dari bingkai sejarah Kerajaan Riau Lingga yang kemudian mengilhami saya untuk menjadikannya sebagai alur cerita dan peristiwa yang dibangun dalam novel ini. Hasan Junus juga telah menunjukkan kepada saya fase-fase penting dari sejarah Kerajaan Riau Lingga yang menarik untuk diangkat sebagai kekuatan dan teras cerita ini. Saya berhutang budi padanya, karena melalui berbagai buku yang telah ditulisnya, terutama tentang perjalanan sejarah dan kebudyaaan Melayu Riau, telah menjadi referensi saya. Saya telah mencatat bagian-bagian yang menarik dari buku-buku itu, untuk saya renungkan dan kemudian menjadi nafas dan geliat dalam novel ini. Tak jarang dalam berbagai diskusi dengannya, saya mendapat semangat dan inspirasi baru untuk memperkaya novel ini.
Untuk bahan riset saya memang membaca juga beberapa sumber sejarah Kerajaan Riau Lingga seperti Tuhfat an Nafis karya Raja Ali Haji, Silsilah Melayu Bugis karya Arenawati, Sejarah Riau (Muchtar Luthfi dkk.) dan karya-karya bernafaskan sejarah Riau Lingga lainnya. Bahkan berdasarkan bahan bacaan itu, beberapa tahun lalu saya pernah membuat sebuah kertas kerja dengan judul “Ranjang Pengantin Melayu-Bugis“ untuk bahan diskusi yang diselenggarakan oleh KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia) Riau yang diadakan di Pulau Penyengat. Kertas kerja itu boleh dikatakan menjadi embrio novel ini.
Terima kasih yang dalam juga saya sampaikan kepada saudara Dahlan Iskan, CEO Jawa Pos Group, yang bukan hanya seorang entrepreneur yang sukses dan wartawan yang handal, tetapi juga pembaca yang sangat kritis. Dia telah membaca bab demi bab dari novel ini, yang saya e-mail-kan kepadanya di Tian Jin, China, dan dia telah membuat beberapa catatan dan melakukan editing yang sangat baik, sehingga telah ikut memberi warna dan kekuatan lain bagi isi novel ini. Kesediaannya meluangkan waktu, sungguh merupakan surprise buat saya, dan telah menandai persahabatan intelektual kami yang telah kami bangun selama ini.
Kemudian, tentu saja terima kasih yang sama besarnya kepada saudara Hary B Kori’un, dan Furqon LW, dua anggota dewan redaksi harian pagi Riau Pos. Koriun yang juga seorang novelis itu,telah mengedit bahasa, struktur kalimat, dan istilah-istilah,sehingga novel ini tetap terjaga dalam aspek bahasanya, namun tetap terasa geliat dan semangat kemelayuannya. Sementara Furqon yang juga seorang perupa, merancang ilustrasi sampul dan menata wajah buku ini, sehingga novel ini, menjadi sebuah buku yang menarik, mudah dibaca, dan gampang dibawa.
Novel ini, juga disertai dengan sebuah catatan penutup yang ditulis oleh saudara Maman S Mahayana, seorang sastrawan Indonesia yang sangat dikenal dengan kritik dan telaah sastranya. Dengan catatan itu, novel ini menjadi sebuah karya yang dapat berbagi pikir kepada pembaca dengan sejumlah pemahaman dan pandangan-pandangan yang sangat menarik dan kritis.Untuk itu, saya sangat berterima kasih kepadanya, yang telah bersedia meluangkan waktunya, untuk menulis catatan-catatannya. Sebuah kehormatan lain buat saya.
Akhirnya, novel ini saya dedikasikan kepada isteri saya Asmini Syukur yang senantiasa sabar dan tetap memberi ruang dan waktu bagi saya untuk menyiapkan novel ini. Juga kepada anak-anak dan cucu saya, dan mereka yang selama ini juga telah menjadi lautan dan samudera cinta saya.
Elang putih
berekor panjang
mengigal berahi
di ujung tanjung
mengirim isyarat
ke semua pintu :
Terimalah cintaku
cinta tak berkeris
cinta tal bersuku
cinta yang tak tersurat
dalam lagu-lagu
Angin berkisar
perahu berlayar
ku dengar sendumu
di ujung sitar :
layang-layang
bertali benang
putus benang
tali belati
cinta ku lepas, cinta ku kenang
cinta sejati, ku biar pergi
hati ku kusut
rindu ku hanyut
berahi ku luput
Ombak gemuruh
mengobar dendam
membakar hari
mengubur mimpi
mengirim rindu
ke semua pintu :
Inilah cinta ku
ku dulang jadi timah
ku pahat jadi patung
ku rendam jadi rempah
ku gulai bagai rebung
ku simpan duka ku
sampai ke ujung
Kemarau menderau
padang kerontang
sedih
pedih
dendam
rindu
sangkak
pantang
sumpah
seranah
jadi barah
jadi luka
sejarah
Elang putih
berekor panjang
mengingal sendiri
di ujung petang
mengirim rindu
ke semua pintu :
Kini cinta ku
jadi sembilu
Pekanbaru, Juli 2007.