Rida Award 2009

Lebih Dekat dengan Kehidupan Lesbian di Medan (1)

Jurnalistik Rabu, 02 Desember 2009
Lebih Dekat dengan Kehidupan Lesbian di Medan (1)

Lebih Dekat dengan Kehidupan Lesbian di Medan (1)

Tak diketahui siapa awalnya pencetus sebutan ‘belok’ (tidak lurus atau menyimpang) yang sama artinya dengan lesbian, lebay, maupun lesbong yang merupakan istilah bagi perempuan penyuka sesama perempuan. Namun, yang pasti di Medan dunia dan komunitas itu ada dan nyata.

Oleh Lia Anggia Nasution

Gampang-gampang sulit. Itulah kesan wartawan koran ini  ketika menelusuri kehidupan dan komunitas cewek-cewek lesbian di Medan. Awalnya, melalui seorang teman, di awal Mei lalu, penulis bertemu dan berkenalan dengan seorang lesbian bernama Ega (21). Dalam komunitas belok, Ega berlabel butchy (sebagai laki-laki).”Aku butchy-nya lah,” sebutnya sambil tersenyum ketika ditemui di sebuah café di kawasan Teladan Medan.

Menurut Ega di dunia belok, selain butchy juga ada femme dan andro.” Kalau femme itu ceweknya, dan kalau andro itu di antara butchy dan femme, jadi dia bisa jadi butchy dan bisa juga jadi femme tergantung orientasinya aja saat berhubungan intim,” beber mahasiswi di satu perguruan tinggi swasta di Medan ini. Ega juga bilang, biasanya penampilan butchy itu lebih mudah ditebak bahwa dia adalah seorang lesbian. Sebab, butchy  biasanya tampil macho dan tomboy.

Lihat saja Ega, rambutnya pendek, mengenakan celana jeans kaos oblong dan tanpa make-up sedikitpun di wajahnya plus sebatang rokok yang tak tinggal di jarinya.”Aha, penampilanku sebenarnya sudah agak berubah dari yang dulu. Kalau dulu aku memang butchy abis. Sekarang agak terlihat femme-lah sedikit. Meski orientasinya tetap butchy,” katanya sambil tersenyum.

Begitupun, jangan salah, menurut Ega untuk cewek lesbian yang ekslusif, biasanya butchy-nya itu bercasing (penampilan) femme.

“Banyak di Medan ini yang dia butchy tapi karena tuntutan profesi dan pekerjaannya dia itu wajib berpenampilan femme. Jadi butchy bercasing femme-lah. Tapi orientasi seksnya tetap aja butchy,” terang Ega.

Dan di Medan komunitas lesbian ini pun menurutnya terbagi dua kelas. Ada lesbian ekslusif dan ada lesbian kereak (urakan).”Kalau lesbian ekslusif, jarang mereka kumpul-kumpul di kafe-kafe dan warkop, tapi kalau lesbian kereak dunia mereka itu di kafe-kafe Teladan dan warkop Harapan, kalau pacaran terlihat terang-terangan terus kalau malam hari dugem-lah,” jelas bungsu dari lima bersaudara ini.

Ega sendiri mengaku jarang kumpul-kumpul dengan komunitas lesbian.”Aku jarang ngumpul. Malas aja, karena sibuk kuliah, lagian kalau gabung dengan lesbian kereak sering gak nyambung. Mereka juga suka mengejekku sok intelek. Jadi paling, kumpul dengan beberapa kawan-kawan lesbian aja yang enak diajak ngobrol,” ungkapnya.

Ega juga menunjukkan beberapa orang butchy yang terdapat di kawasan tersebut.

“Lihat tuh, mereka ga punya kerja, tapi banyak yang tinggal bersama (stay together) dengan femme maupun andro-nya. Kost-kostnya dikawasan sini banyak. Parahnya, karena gak ada kerjaan, mereka ada juga lho yang jual diri, ceweknya (femme atau andro)-nya juga jual diri dengan lelaki hidung belang. Itulah kehidupan mereka,” ungkap Ega.

Beda jauh dengan lesbian ekslusif. Biasanya, kalau lesbian ekslusif itu punya kerjaan, profesi sehingga tidak banyak waktu untuk kumpul-kumpul. Paling kalau mau lagi hang out mereka itu memilih ke mal-mal seperti Sun Plaza, ke night club ternama maupun berkaraoke. Dan biasanya setahun sekali mereka gelar gathering. “Aku pernah diajak gathering tapi enggak pernah mau ikut. Selain malas ngumpul, kekasihku juga nggak di sini. Kan basi nggak bawa kekasih ke acara gathering,” ujar Ega yang mengaku pernah pacaran sama cewek kurang lebih 31 orang ini.

Ega sendiri, saat ini mengaku memiliki kekasih (partner) bernama Cindy yang tinggal di luar kota.” Long distance relationship (LDR),” ujarnya sambil tersenyum.

Ketika ditanya awalnya menjadi lesbian, Ega menyebutkan titik balik kehidupannya berawal setelah tamat SMU Negeri di Medan. Ketika itu seorang teman cewek tiba-tiba saja menciumnya.”Rasanya beda gitu. Setelah itu aku jadi belok hingga sekarang,” kata anak seorang pensiunan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Medan ini.

Begitupun, Ega menyatakan kalau bakat menjadi lesbian itu sudah ada sejak dirinya kecil.”Dari TK aku memang suka melihat guru cewek yang cantik, jadi memang dari kecil aku udah suka ama cewek,” sebutnya.

Begitu pun Ega pernah pacaran dengan cowok.”Dikenalin orang tua. Tapi rasanya hambar dan nggak nyaman aja bersamanya. Sebab, yang mengerti  perempuan itu kan perempuan sendiri,” sebut Ega lagi-lagi sambil tersenyum.

Ketika disinggung, apakah sulit mencari pasangan lesbian, Ega malah mengatakan hal itu sangat gampang. “Cewek lesbian itu sama-sama punya insting. Jadi gampang kok. Pun begitu ada juga cewek straight (normal) yang aku ajak jadi belok,” katanya dengan tawa yang berderai.

Dari Ega, wartawan koran ini juga berkenalan dengan cewek lesbian lainnya yaitu Jeni (27) dan April (26). Jeni yang ditemui di kostnya di kawasan Helvitia pertengahan Mei lalu, sedang bersama kekasihnya bernama Imel. Tampilan Jeni malah terlihat beda dengan Ega. “Aku Andro, tapi kalau di ranjang aku butchy-nya,” ujarnya polos.

Jeni tampail dengan rambut sebahu, mengenak kaos ketat dan bercelana jeans. Sedang, Imel berambut panjang, berkulit putih, mengenak kaos ketat dan celana jeans pendek. Imel terlihat malu-malu. Terutama ketika ditanya, apa masih ingin punya pacar laki-laki. Imel dengan wajah tersipu mengatakan.”Enggak mau, udah sayang sama dia,” jawabnya sambil menggayut manja di bahu Jeni.

Jeni mengaku awalnya menjadi lesbian, karena kecewa dengan laki-laki. “Aku dulu punya pacar saat kuliah di Malaysia. Tapi karena dia menyakitiku dan selingkuh. Aku benar-benar terpukul saat itu. Di saat hatiku benar-benat hancur, aku berkenalan dengan seorang lesbian  berasal dari Thailand. Mulai dari saat itulah aku jadi lesbi hingga sekarang,” papar Jeni.

Sedang Imel mengaku awalnya penasaran dan coba-coba.”Saya baca di salah satu majalah. Di situ disebutkan kalau ada cewek yang mau kenalan dengan cewek. Penasaran aja, apa enaknya cewek sama cewek. Saya sms-sms-an dan kenal sama cewek-cewek lesbian dan akhirnya ketemu dengan kak Jeni,” kata mahasiswi fakultas hukum di salah satu perguruan swasta di Medan ini.

Jeni juga mengaku jarang kumpul dengan komunits lesbian di Medan.” Jaranglah, enggak asyik aja. Apalagi kalau ketemu butchy-butchy. Mereka tuh gak sportif. Mau di depan kita ganggu-ganggu femme (cewek) kita, jadi aku malas aja. Paling kalau mau ngobrol melalui chattinglah,” beber Jeni sembari menyebutkan biasanya cewek-cewek lesbian chatting melalui Yahoo Messenger atau MIRC.

Kalau melalui MIRC, room yang sering digunakan adalah bluemoon, Starlight, Indoless, ataupun Klit.

“Dengan chatting, kita bisa saling kenal, cari pasangan. Dan biasanya di dunia belok nick name  di chatting itu adalah nama kita di dunia belok. Seperti aku Jeni. Namaku di room itu Jenifer Lapar, begitu juga dengan Ega dan April. Selain itu, cewek belok biasanya menggunakan ponsel …(operator selular tertentu,Red). Sebab, bisa berkomunikasi antar komunitas dengan harga yang murah,” sebut mantan karyawan perusahaan eksportir kopi ini.

Sementara April, cewek lesbian berlabel Andro ini berhasil saya temui di akhir Mei lalu di kostnya di kawasan Padang Bulan Pasar I Medan. April berambut panjang, bertubuh kurus.

Ketika ditemui mengenakan kaos oblong dan celana pendek. Bungsu dari sembilan bersaudara ini mengaku terjun ke dunia belok karena merasa rindu kasih sayang ibu.

“Aku anak paling kecil, ibarat rumput liar, aku tumbuh  dan besar dengan sendirinya. Emakku udah lelah mengurus kami yang sembilan  orang ini terutama mengurusku si bontot. Sehingga memang dari kecil udah jatuh cinta sama perempuan,” sebut mahasiswi ekonomi manajemen di satu perguruan swasta di Medan ini dengan lugas. (bersambung)