Sabtu, 14 September 2024
Mengapa saya menulis Novel Bulang Cahaya? Mengapa saya mengambil latar belakang sejarah Kerajaan Melayu Johor-Riau-Lingga sebagai setting dan tradisi Melayu-Bugis sebagai jantung cerita ?
Ada beberapa kesadaran utama yang kemudian membuat saya bangga sebagai orang Melayu.
PERTAMA, kesadaran tentang peran sejarah dan kecemerlangan politik Kerajaan Melayu Riau (atau tepatnya Kerajaan Melayu Johor-Riau-Lingga) yang sedikit banyak telah memberi sumbangan yang berarti bagi perkembangan sejarah dan kehidupan politik Indonesia dan rantau Melayu di semenanjung ini.
Realitas itu ditunjukkan misalnya dengan eksistensi Kerajaan Melayu Johor-Riau-Lingga lebih dari seratus tahun di kawasan Semenanjung Malaka ini. Bukan hanya wilayah kekuasaannya yang luas, mulai dari Malaka, Johor, Pahang, di semenanjung Malaysia, sampai ke Singapura, Riau, Indragiri dan sebahagian dari Sumatera bagian Timur. Tetapi juga menguasai wilayah strategis bagi pertahanan, keamanan dan ekonomi yaitu Selat Malaka, Selat Singapura dan sampai ke Laut Cina Selatan.
Selain itu kerajaan ini sangat disegani oleh Kompeni Belanda dan Inggeris. Perang Riau yang dipimpin Raja Haji,Yang Dipertuan Muda Riau IV melawan Kompeni Belanda (1782-1784) misalnya, dianggap salah satu perang laut yang paling besar dan penting, serta paling banyak menelan korban di antara perang-perang laut di Nusantara dalam konflik perebutan kekuasaan antara Kompeni Belanda dan Kerajaan-kerajaan di Nusantara. Sampai-sampai seorang sejarawan asing menyebut Raja Haji sebagai Hannibal dari Timur karena keberaniannya menyerang ke pusat kekuasaan Kompeni Belanda di Malaka.
Hebatnya, seluruh kebesaran sejarah, kekuatan dan strategi perang dan kekuasaan politik itu, pada penghujung masa jayanya Johor-Riau-Lingga itu, diatur dan dikendalikan dari dua tempat kecil, dan nyaris tidak ada dalam peta. Kedua tempat itu adalah Ulu Riau dan Pulau Penyengat. Dua tempat yang sekarang ini tidak lebih dari hanya sebuah hulu sungai dan sebuah pulau kecil yang kini hanya tersisa dalam wujud beberapa situs bersejarah dan nyaris dilupakan. Semua catatan dan sumbangan gemilang itu menunjukkan betapa kwalitas dan kebesaran pengaruh kerajaan Melayu Johor-Riau-Lingga itu, yang juga merupakan mata rantai dari Imperium Melayu Malaka sebelumnya.
Memang, Kerajaan yang besar, terkenal, dan makmur itu, akhirnya runtuh karena konflik politik dan kekuasaan, di antara elit kekuasaannya yang didominasi para pembesar keturunan Melayu dan keturunan Bugis. Di mana bara perseteruannya seperi bara dalam sekam. Dan tentu saja karena campur tangan kolonialis Belanda dan Inggris yang mempercepat imperium ini menuju jurang keruntuhan. Memang, keruntuhan imperium Johor ?Riau-Lingga itu, juga diwarnai dengan berbagai konflik sosial lainnya, termasuk tragedi cinta.
Tragedi cinta antara seorang wanita jelita keturanan Melayu dengan seorang bangsawan keturunan Bugis yang gagah. Sebuah epos sejarah dan tragedi cinta yang menyedihkan. Tragedi cinta yang tanpa mereka sadari, justru menjadi petaka yang membelah negeri Riau dan menjadikannnya berkeping keping.
Jejak sejarahnya kemudian membuat kita menggeleng-gelengkan kepala. Bayangkan Singapura yang gemerlap dan moderen sekarang ini, ternyata dahulu hanya sebuah kampung kecil di bawah kekuasaan kerajaan Johor-Riau-Lingga. Sebuah Methahistoria: Kalau Raja Djaafar menikah dengan Tengku Buntat, seperti apa Singapura sekarang? Tetapkah dia menjadi wilayah Indonesia? Mungkinkah pulau itu hanya seperti Batam, Karimun, Bintan, atau pulau-pulau terpencil lainnya di Selat Malaka ? Andaikan Inggris, andaikan Rafles, andaikan ???? dan akan banyak andaikan atau pertanyaan methahistorika lain akan muncul.
Itulah bahagian-bahagian yang sangat menarik untuk dikembangkan sebagai sebuah tema cerita. Tentang politik, kekuasaan, konflik, ketamakan, cinta, dan tragedi?.. Tentang perbancuhan budaya dan tradisi antara pihak Melayu dan Bugis. Perbancuhan budaya antara Islam dan Kristen, dan rimba kehidupan manusiawi lainnya. Andaikan Megat Sri Rama, Laksamana Bintan tidak mendurhaka, andaikan Daeng Marewa tidak sampai ke semenanjung, andaikan Tengku Tengah tidak dipermalukan Raja Kecik, maka ???.. Dan itu terjadi di mana-mana dengan warna dan metafora yang berbeda-beda pula. Itulah sumber cerita karya-karya sastra
KEDUA, kesadaran tentang betapa maju dan berpengaruhnya kebudayaan dan tradisi yang diwariskan imperium ini, budaya dan tradisi yang dibangun dan dirancang bersama oleh puak Melayu-Bugis dengan Islam sebagai media penyatunya, baik dalam bidang sosial, politik, budaya dan ekonomi, yang kemudian melahirkan sebuah tamaddun yang dianggap sebagai salah satu tamaddun terbesar di Nusantara ini, yaitu tamaddun Melayu.
Dari kerajaan inilah misalnya bermula tradisi politik pemerintahan yang menjadikan kesepakatan politik dan kesetiaan dua etnis dan dua tradisi budaya dan adat istiadat (Sumpah Setia Melayu-Bugis ) menjadi suatu sistim politik dan pemerintahan yang sangat maju dan demokratis (memperkenalkan apa yang disebut dengan Yang Dipertuan Besar dan Yang Dipertuan Muda. Menggariskan tugas dan tanggungjawab dalam pemerintahan, dll tradisi pemerintahan dan politik. Membudayakan apa yang dinamakan marwah dan daulat sebuah negeri, yang menempatkan daulat rakyatnya pada tempat dan saat yang penting, dll ). Sebuah perbancuhan antara tradisi politik Melayu yang lentur dan terbuka dengan tradisi politik Bugis, yang tegar, tegas, dan cerdik, dimana kedua sub kultur itu diakui telah memilik riwayat perjalanan sejarah dan pembentukan tamaddun yang panjang.
Kerajaan ini terbukti telah menyumbang tradisi demokrasi dan adat istiadat yang berteraskan Islam yang maju, dan modern, baik dalam kehidupan, maupun hubungan antar wilayah dan pemerintahan. Itu semua ditulis Raja Ali Haji (sastrawan, budayawan, ulama dan filsuf Melayu yang tersohor ) dalam bukunya Tuhfat An Nafis (sejarah, politik, dan pemerintahan ) atau Tamarrat al Muhimma (sistim pemerintahan dan demokrasi), serta Muqaddima fi Intizam (kepemimpinan/ leadership).
Dalam konteks kekinian, akar demokrasi Indonesia yang tercermin dalam tradisi budaya politik yang lebih santun, yang lebih akomodatif, beretika, adalah salah satu kontribusi besar kerajaan ini, yang ikut memberi warna dalam pembentukan falsafah dan kebudayaan nusantara ini.
Tamaddun besar memang hanya dihasilkan oleh kebudayaan dan bangsa yang besar juga. Penyebaran bahasa Melayu misalnya sebagai bahasa pergaulan dan perdagangan (lingua franca) ke seantero nusantara dan kemudian menjadi sarana komunikasi utama perdagangan, pemerintahan dan pelayaran, adalah sebuah realita sejarah tentang proses pembentukan budaya nusantara. Realitas ini tentunya sulit dibantah setelah bahasa Melayu diangkat menjadi bahasa nasional dan bahasa pemersatu baik di Indonesia, maupun Malaysia. Teknologi kemaritiman, agro ekonomi, dll, yang diwariskan kemudian, menunjukkan, betapa besar sumbangan tammadun Melayu-Bugis ini terhadap tamadun Nusantara sekarang ini. Dan ini menjadi setting cerita yang sangat menarik dan kaya jika dapat diekplorasi secara maksimal di dalam karya-karya sastra.
KETIGA, kesadaran bahwa kedua-dua realitas tersebut diatas, yaitu kenyataan sejarah dan politik, dan kenyataan kontribusi tamaddun Melayu-Bugis yang besar itu, telah menjadi warisana nusantara karena telah dihantar dan disebar luaskan dengan menggunakan media-media komunikasi yang pas dan mudah diterima masyarakat berupa karya-karya sastra. Karya-karya sastra klasik itu, seperti hikayat, syair, gurindam, suluk, pantun dan lain-lain adalah bentuk media yang sangat pepuler dan merata dinikmati masyarakat nusantara. Bahkan sebuah study leteratur yang dilakukan saudara El Mustian Rahman tentang peran Haji Ibrahim Engku Muda Riau menunjukkan bahwa dari jantung kerajaan Melayu Johor-Riau-Lingga inilah misalnya genre cerita itu bermula, ketika seorang seperti Haji Ibrahim memperkenal karya klasik Hikayat dan cerita lisan lainnya dalam bentuk naskah tertulis dan inilah yang menjadi cikal bakal apa yang dinamakan Mazhab Riau atau Riau Scholl dalam sastra itu.
Sekarang ini, peran karya-karya klasik, dan selalu disebut sastra lama itu, tentu saja makin sulit berinteraksi dengan generasi masa kini. Siapa lagi yang masih mau membaca syair, gurindam, hikayat, dll itu kecuali atas nama pelestarian ? Artinya, kerja pewarisan, pemberdayaan dan revitalisasi itu, ternyata memerlukan media lain dalam konteks kekinian , agar dapat diwariskan kepada generasi- generasi sesudahnya. Baik bagi bermukim di kawasan tempat budaya dan tamaddun itu tumbuh dan berkembang, maupun di kawasan Nusantara lainnya sebagai bahagian dari kesatuan budaya dan tradisi besar bangsa ini. Sebagai sebuah dokumentasi peristiwa dan catatan perjalanan sebuah bangsa.
Buku-buku sejarah memang sudah ditulis, tetapi diera sekarang ini, buku-buku teks menjadi sangat sulit untuk menggugah semangat generasi baru yang telah diubah dan diintervensi oleh berbagai kemajuan tehnologi dan gaya hidup yang serba tangkas, praktis, bersahaja. Untuk memahami, merenung dan menggali kembali berbagai pelajaran berharga yang diwariskan oleh sejarah itu, diperlukan media-media lain, selain buku-buku teks. Diperlukan bentuk bacaan lain, seperti karya-karya sastra yang lebih kini, lebih akomodatif dengan generasi yang sedang tumbuh dan berkembang. Karya-karya sastra seperti novel, cerpen, puisi , teater, film, dan multimedia lainnya, lebih dimungkinkan akan berkomunikasi lebih intens, karena kehendak masa dan waktu kekiniannya. Karya-karya fiksi, seperti novel dan lainnya itu, yang dengan kesadaran para penulisnya akan lebih mudah mendekatkan para pembaca pada fakta-fakta sejarah yang ada, dan dengan itu maka akan juga lebih memudahkan pewarisan dan penyebaran nilai dari peristiwa sejarah dan kebudayaan itu.
Sekarang ini, karya-karya sastra, novel yang berlatar belakang sejarah, menjadi salah satu genre prosa yang mendapat tempat di pasaran buku buku sastra. Melalui genre ini, kelenturan budaya Melayu, kebesaran tamaddun Melayu- Bugis, perjalanan sejarah Melayu Riau dan lainnya, akan lebih mudah sampai kepada khalayak, apalagi jika didukung dengan penggunaan media lainnya, seperti film Puteri Gunung Ledang, dll .
Media karya sastra dan film itu tetap merupakan media yang efektif dan berkesan, karena bahasa Melayu sebagai salah satu bahasa daerah yang kuat dan luas, tetap mudah dipakai sebagai media pengucapan. Dengan novel, geliat bahasa Melayu yang lincah, indah, vokal itu akan mudah diajak membangun imajinasi-imajinasi cerdas dan berkesan dalam menerobos kisi-kisi emosi pembacanya. Bukankah pada mulanya, hampir semua suku-etnis yang ada di Indonesia kini adalah bahagian dari rumpun Melayu, sang pengembara dari Yunan itu? Dan itu berarti bahasa Melayu, cara bertutur, dan gaya bahasanya, akan mudah akrab kepada para pembacanya, dengan berbagai genre sastra lainnya.
Hikayat, gurindam, syair, pantun, bangsawan, dan bentuk-bentuk sastra dan kesenian lainnya, adalah warisan yang lahir dari tradisi dan perbancuhan budaya antara tradisi Melayu dengan tradisi Bugis, dalam talam Islam sebagai media pembancuhnya. Andaikan budaya Melayu itu tidak bersentuhan dengan tradisi Bugis, andaikan tidak ada tradisi Islam (Arab) yang mewarnai perbancuhan itu, maka tradisi yang bagaimana yang terwujud di semenanjung Melayu sekarang ini? Sekiranya tak ada pekik halemang Daeng Kamboja, andaikan tak ada cabut keris Tun Dalam, andaikan Tengku Buntat tidak jatuh cinta pada Raja Djaafar, andaikan Tengku Muda Muhmmad tidak menembakkan meriam ke penjajah Raja Ali, andaikan Temenggung Abdul Jamal tidak merajuk ??????.
Tidakkah ini akan menjadi sumber inspirasi yang demikian kaya untuk penulisan karya-karya sastra yang besar
KEEMPAT, kesadaran inilah bayangan dan fakta-fakta masa lampau yang bisa dijejak, dan itulah pelangi sejarah yang diwarisi dari tradisi Melayu-Bugis itu yang saya tangkap. Dan itulah pula yang menggoda saya untuk menulis Bulang Cahaya. Sebuah novel dengan latar belakang sejarah kerajaan Melayu Johor-Riau-Lingga dan tradisi Melayu-Bugis sebagai bingkai, dan konflik politik sebagai darah cerita. Memang harus diakui, menulis sebuah novel atau karya sastra berlatar belakang sejarah, memang tidak mudah dan memerlukan waktu yang relatif lama. Saya memerlukan waktu lebih 10 tahun untuk mewujudkannya. Hal ini terutama karena, meskipun novel adalah karya fiksi, selalu diperlukan riset dan pendalaman akan mata rantai dan rentang peristiwa sejarah agar semua penceritaan, meskipun tidak dapat dipakai sebagai fakta sejarah, tetapi paling tidak menjadi jalan masuk atau informasi awal terhadap peristiwa sejarah dan para tokoh pembuat sejarah itu sendiri. Dengan karya yang lebih cermat menakar fakta sejarah, dengan himpunan informasi yang lebih mendekati fakta, serta detail tokoh-tokohnya, maka karya ini akan lebih jelas makna dan tujuannya dan tidak menimbulkan distorsi, terutama terhadap inti dari budaya dan sastra sebagai jantung kesenian
Konsekuensinya, memang, karya yang seperti ini, meskipun fiksi, tetapi selalu menimbulkan kontroversi, karena sebahagian pembaca selalu ada yang tetap mengganggap novel sebagai fakta sejarah. Rekayasa imajinatif dan kekenesan sastra selalu sulit diterima sebagai bahagian dari rencah-rencah dan bumbu sebuah karya sastra. Kontroversi-konroversi seperti ini sering menimbulkan luka budaya, luka antar etnik, dan kesalah pahaman sejarah. Karena itu, harus selalu ditemukan cara yang arif dalam menyampaikan, mendedahkan, dan menyimpulkan sebuah peristiwa sejarah ke dalam sebuah karya .
Dalam konteks novel Bulang Cahaya, maka saya misalnya memilih untuk tidak memasukkan tahun-tahun sejarah, sebagai cara untuk menghindar polemik. Mengaburkan peran dan nama tokohnya, dan tentu saja tetap menyediakan sebuah ruang kata pengantar yang menempatkan permohonan maaf kultural, permohonanan maaf sastra, bahwa novel ini adalah sebuah karya sastra, dan bukan buku sejarah. Semua nama, peristiwa dan waktu, jikapun ada kesamaan dengan tokoh dan jejak sejarah yang pernah hadir, hanyalah sebuah kebetulan. Novel, adalah tetap sebuah novel, sebagai karya fiksi, dan bukan sebuah buku sejarah.
Novel berlatarkan sejarah juga banyak dikritik sebagai karya karya yang terlalu memberi ruang dan bahka mitos baru bagi kalangan bangsawan, kalangan atas, para penguasa, dan tak jarang para Tiran. Novel dan karya sejenis, dianggap sebagai karya feodal dan kurang bersinggungan dengan rakyat banyak. Karya sastra jenis ini, dianggap karya yang tidak cocok untuk era demokrasi dan populis saat ini. Tidak demokratis, dan tidak memberi nilai bagi masa depan.
Tetapi, banyak juga yang menganggapnya sebagai bagian dari cara pewarisan nilai-nilai. Tempat belajar tentang kearifan itu adalah dari sejarah. Dan para pembuat sejarah itu adalah mereka yang berada di pusat kekuasaan. Dan kekuasaan itu, adalah bahagian dari dinamika hidup yang sangat kaya warna dan kontroversi. Karena itu, novel berlatar sejarah itu tetap merupakan salah satu genre novel yang terus ditulis, dan terus memberi sumbangannya terhadap pembentukan nilai-nilai kehidupan. Sejarah itu adalah sebuah cermin, dan yang akan membangun masa depan, sering harus belajar dari wajah masa lampau yang ada dalam cermin tersebut.
Novel Bulang Cahaya , memang diakhiri dengan sebuah antiklimaks, di mana Raja Djaafar sang tokoh utamanya, pergi meninggalkan Lingga dengan perasan pedih, dan luka yang dalam. Karena dalam epilognya, saya mencatat bagaimana tragedi cinta itu mempunyai efek dan jejak sejarah yang panjang dan penuh warna, saya mendapat banyak pertanyaan. Terutama, mengapa novel ini diakhiri begitu, kenapa saya tidak menulis kelanjutannya, agar jejak imperium Melayu Johor-Riau ?Lingga itu bisa diketahui sampai saat-saat keruntuhannya? Meskipun sebuah karya fiksi, bukankan sebuah perjalnan sejarah dapat juga dimasukkan ke sana ?
Pada mulanya saya memang ingin membuat novel ini sebuah trilogi, dimulai dari pemberontakan Megat Sri Rama dan diakhiri dengan perlawanan Abdurrahman Muazzamsyah yang mengakhiri imperium itu. Dilanjutkan dengan menunjukkan bagaimana luka budaya dan perseteruan politik Melayu-Bugis itu. Lalu akhirnya bertaut di satu sosok, Sultan Melayu Johor-Riau-Lingga terakhir itu. Tapi kemudian saya memutuskan hanya menjadi sebuah novel saya.
Saya menyadari, bahwa tradisi Melayu Bugis yang menjadi alur novel dan mata rantai sejarah yang ditinggalkannya di Semenanjung Melayu ini adalah sebuah sumur inspirasi dan samudera cerita yang sangat bagus untuk menjadi bahan novel. Banyak tokoh tokoh yang sangat menarik untuk diangkat dan ditimang sebagai roh sebuah novel. Katakan saja Engku Puteri Hamidah, tokoh wanita yang berjuang dengan kata-katanya melawan tirani para penguasa negeri dan kekuatan politik ditengah kepahitan cintanya. Seorang permaisuri yang kesepian. Tokoh penjaga tradisi dan budaya politik, dan penjaga kesebatian tradisi Melayu-Bugis. Ada Mahmud Muzazafsyah yang menjadi ?anak nakal yang cerdas?, pendobrak dominasi Belanda, dan sosok lainnya. Kerajaan Melayu Johor- Riau, memang sebuah imperium yang mewariskan tamaddun besar, dan warna budaya yang besar bagi sebuah renungan hidup.
Pertembungan budaya Melayu dan Bugis, persebatian folosofi Islam dan Melayu-Bugis, adalah sebuah perjalanan sejarah dan budaya yang tidak semua kawasan nusantara ini memilikinya. Namun saya menyadari juga, dalam menulis sebuah novel berlatar sejarah, maka ada bahagian dari semangat menulis itu yang harus dijaga agar tidak terjebak pada penghancuran ide dan kwalitas karya.
Dari kebiasaan dan kesukaan saya membaca novel, maka saya tahu, bahwa novel terbaik dan yang paling enak dibaca adalah novel yang utuh, dan tidak terpenggal-penggal. Makin panjang ceritanya, makin kurang konsisten penulisnya. Makin sulit mensinkronkan para pelaku dan karakternya. Karya itu akan terjebak menjadi sebuah buku teks sejarah atau budaya, dan bahkan menjadi sebuah propaganda. Sulit untuk tetap tidak memihak, dan sulit untuyk terus objektif. Buku pertama yang ditulis, adalah buku terbaik. Maka akhirnya saya hanya menulis dan merangkum semua kerangka cerita saya itu kedalam sebuah novel dan membiarkan novel itu diselesai oleh para pembaca dengan pikiran dan imajinasi mereka. Mau jadi apa tokoh ceritanya, mau diapakan latar tempat cerita itu terjadi, dan mau seberapa jauh imajinasi berkembang, menjadi hak pembacalah untuk memutuskannya. Sebuah karya yang sudah terbit dan beredar, adalah karya yang sudah selesai, dan penulisnya sudah tak menentukan lagi. Dan tak ada yang mau diperdebatkan. Itulah luwesnya sebuah karya fiksi. Bagi saya novel Bulang Cahaya itu sudah selesai.
KELIMA, kesadaran saya ingin mewariskan sebuah obsesi. Memancangkan pancang Melayu di mana-mana. Novel ini terlalu kental dengan dialek Melayu, dan membuat novel ini agak sulit dipahami oleh komunitas yang bertutur dalam bahasa yang lain (banyak kata-kata arkais yang sudah sulit dicari dan jarang digunakan )? Saya pun sudah dengan sadar melakukan hal itu. Karena saya ingin menyesuaikan gaya bahasanya dengan setting cerita novel ini berlangsung, era kerajaan Melayu Riau, dengan sentuhan bahasa Melayu yang sangat kuat dan dominan. Saya ingin pembaca mendapat kesan, demikianlah kira-kira sebuah pergulatan budaya, politik, dan serjarah kerajaan itu dibangun dan dikembangkan.
Selain itu, sebagai pengarang yang dibesarkan dalam tradisi dan bahasa Melayu, maka bahasa Melayu itu bagi saya adalah salah satu bahasa terindah di dunia ini. Bahkan ada yang menyamakannya dengan bahasa Spanyol. Bahasa Melayu seakan meliuk-liuk, seakan bernyanyi, seakan menari, dan sangat puitis. Kalau bahasa seperti ini bisa dipartahankan, alangkah kayanya bangsa ini.
Novel ini memang sangat Melayu karena saya memang ingin novel ini menjadi lain dengan novel-novel yang lain. Saya berharap novel ini selain dapat menyumbang gaya bahasa yang indah itu dan menawarkan banyak kata-kata lama yang nyaris hilang. Tentunya agar tetap melekat dan diingat dalam khazanah literatur Indonesia. Saya juga berharap novel ini dapat mewariskan informasi tentang sejarah, tradisi, dan istiadat Melayu- Bugis tentang gairah cinta, hidup, kepedihan dan kekecewaan, dan juga sebuah pertarungan kekuasan. Bagaimana sebuah ranjang pengantin tetap menjadi ujung tombak strategi politik yang sangat andal dalam menerobos perjalanan zaman.
Disampaikan sebagai kertas kerja dalam acara Pertemuan Penulis Serumpun di Pekanbaru, 21 Februari 2009 (Pekanbaru, 19 Februari 2009)