Apa Yang Salah dengan Orang Kepri?

Aidha Ismeth

Sahabat Kamis, 10 September 2009
Aidha Ismeth

(Tanggapan untuk Ibu Aidha Ismeth)
Saya tergoda untuk menanggapi tulisan Ibu Aidha Ismeth yang berjudul “Orang Kepri, Berubahlah!“ yang dimuat di halaman opini Batam Pos, edisi Sabtu 29 Desember 2007. Soalnya, tokoh wanita yang satu ini, yang terkenal sangat gigih dan berwawasan luas, amat jarang meluapkan  pikirannya dalam bentuk  opini. Biasanya,  lebih banyak dalam bentuk ceramah, diskusi terbatas, atau  cara-cara sosialisasi yang lain. Jadi kalau sudah sampai menulis opini yang panjang, pastilah ada yang sangat mendesak untuk dikatakan, atau ada yang sangat menyesakkan pikiran, yang harus disampaikan secara terbuka. Saya melihat kenyataan itu dalam tulisannya yang dimuat kemarin, dan nyaris semacam keprihatinan  menyambut tahun baru 2008 .

Hanya saja, pikiran-pikiran yang didedahkan Ibu Aidha itu, dalam kapasitasnya sebagai anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah) RI, membuat saya agak termenung membacanya, sambil menikmati mie rebus, di kedai kopi Harum Manis, Batam. Apalagi, judulnya, sungguh sangat menyentak, “Oprang Kepri, Berubahlah!“. Sebagai orang Kepri, meski lebih banyak dirantau, saya jadi tergugah juga. Apanya yang mesti berubah? Apa yang salah dengan Orang Kepri?

Kalau soal Provinsi Kepri atau Kabupaten Lingga masih tertinggal jauh dibanding Singapura atau Malaysia, itu bukan soal luar biasa. Indonesia saja ketinggalan jauh dibanding negara-negara tersebut. Tapi di Indonesia, rasanya Provinsi Kepri tidaklah begitu jelek. Bahkan dari semua rasio pembangunan moderen, seperti  PDRB, usia harapan hidup, atau indikator-indikator  lain yang belakangan ini jadi ukuran dari gerakan MDGs (Millennium Development Goals ), Propinsi Kepri jauh berada diatas rata-raata nasional. Apalagi  Propinsi Kepri baru berusia belum lima tahun. Bandingkan dengan Propinsi Papua atau Timtim  misalnya, yang sudah puluhan tahun. Kabupaten-kabupaten di Kepri pun baru hidup dan berkembang setelah era otonomi beberapa tahun terakhir ini. Sebelumnya, nyaris seperti anak tiri, yang  tercampak di bibir pantai. Hanyut tidak, terdampar pun tidak.
 
Dari asfek budaya dan prilaku hidup, orang Kepri pun sama baiknya dengan masyarakat daerah lain. Kultur Melayu memang dominan, tapi perkembangannya sama saja  dengan masyarakat Melayu di Singapura, Malaysia, Brunei, dan kawasan berbudaya Melayu lain di Nusantara. Kelemahan masyarakat Melayu yang sering dikatakan agak santai dan  beretos kerja rendah, sudah  dibancuh dengan kultur masyarakat lain yang lebih gigih, pantang menyerah, akibat keterbukaan kultur Melayu, dan heteroginitas wilayah.

Yang layak diperdebatkan adalah: Mengapa Singapapura lebih maju? Mengapa Malaysia lebih unggul? Mengapa Brunei lebih makmur? Dan perdebatan begini ini sudah klasik, dan sudah ada dari dulu. Kita saja yang tak pernah belajar. Dari  dulu kita sudah tahu, kultur kita hampir sama. Sumber daya, baik alam, maupun manusianya, hampir sama. Sudah lama pula jadi negeri merdeka. Kasarnya, “Sama-sama makan nasi. Kenapa kita kedodoran?“

Jawabnya adalah di negeri-negeri yang maju itu, terutama Singapura dan Malaysia, masyarakatnya tidak diminta berubah. Tetapi dipaksa untuk berubah. Pemerintah dan elit politik di negara-negara maju tersebutlah yang memaksa masyarakatnya berubah dengan segala daya, dana, dan termasuk kekuasaan mereka. Karena mereka tahu, kalau tidak berubah, mereka akan tetap tertinggal, mereka akan tetap miskin, mereka akan tetap jadi negeri pinggiran yang tersisih dari gemuruh kemajuan dunia. Baik berubah secara alami karena  merasa kepentingan mereka terakomodasi dan mereka merasakan manfaat (benefit) dari paksaaan yang mereka hadapi, maupun mereka memang dipaksa agar mau berubah, dan disingkirkan jika tidak mau. Mereka tahu benar, bahwa kalau menunggu proses pembelajaran, kerelaan masyarakat untuk berubah, maka akan diperlukan waktu yang lama, energi yang besar, biaya yang banyak, dengan hasil yang  sulit diprediksi. “Mungkin sampai kiamat kami akan tetap terbelakang“ kata mereka membuat kesimpulan. Itulah jawaban  orang Singapura, orang Malaysia, orang Brunei, sekarang ini. Karena itulah, masyarakatnya  rela dipaksa tinggal di rumah  flat pangsa). Dipaksa hidup tertib dan patuh  pada peraturan lalu lintas. Dipaksa jangan merokok. Dipaksa menjaga kebersihan. Dipaksa berjualan dengan gerobak yang bersih, teratur dan sehat. Dipaksa masuk kerja pukul tujuh pagi. Dipaksa menerima perubahan waktu dan maju satu jam! Paksaan-paksaan menuju hidup lebih baik itu, meski mendapat perlawanan, tapi akhirnya diterima dan bahkan sekarang disyukuri. Sudah menjadi Way of Life . Mereka tahu, kalau tidak berubah, maka mereka akan tertinggal.

Di Indonesia, kultur dan kebijakan memaksa itu pun bukan tak  pernah dilakukan. Ingat program Keluarga Berencana (KB)? Betapa riuh rendah perlawanan, hujatan. Beribu-ribu lembar hujjah, kritik, dan lainnya. Tapi karena Pak Harto dan pemerintahannya jalan terus, dan tahu program KB itu baik dan strategis untuk masa depan Indonesia, maka dia jalan terus. Akhirnya, siapa sekarang bilang KB itu kejahatan, mudarat dan KB itu tak berguna? Bahkan  sekarang, yang tak mau ber-KB dianggap masarakat kuno dan terbelakang. Tak dapat lapangan kerja, dan  merasa tersisih dan malu sendiri. Persis seperti kita membuang sampah sembarangan, atau merokok di Singapura. Rasanya kita ini seperti oarang tak beradab.
 
Nah, sekarang di Kepri, apa pemerintahnya, elit politiknya, pernah berpikir untuk memaksa masyarakatnya berubah? Apakah pernah berpikir kondisi yang sekarang yang dikritisi Ibu Aidha itu sebagai kondisi keterbelakangan dan harus dipaksa agar berubah? Saya khawatir, kondisi dan tantangan yang dihadapi itu, hanya muncul dalam seminar-seminar, dalam keluh kesah, dalam ratapan, dan umpat keji, dan bahan menarik untuk  jadi isu  demo. Tapi hasilnya apa? Lihatlah Lingga. Dulu ketika belum jadi kabupaten dengan  tiga kecamatan, hanya dialokasi dana pembangunan sekitar Rp20 miliar dari Pemerintah Kabupaten Kepulauan Riau. Tapi sekarang, begitu jadi kabupaten APBD nya Rp400 miliar. Naik 2000 persen. Tapi apa yang terjadi? Kata Ibu Aidha, yang baru pulang dari Lingga, mereka bertengkar. Mereka saling sikut, dan saling berharap lawan politiknya ada yang terpelanting. Orang Lingga dapat apa? Hanya sebuah tontonan tonel elit politik dalam lakon “Mencakar Lawan, Mencungkil Pekong “
 
Ada sebuah contoh menarik di kota Tanjungpinang. Dulu, waktu saya masih muda dan tinggal di Tanjungpinang, Pulau Penyengat hanya dilihat sebagai sebuah pulau bersejarah. Orang berkunjung ke sana untuk melihat-lihat. Selat yang memisahkan pulau itu dengan Kota Tanjungpinang, hanya sebatas laut yang tak ada makna ekonominya, kecuali kapal motor yang hilir mudik. Orang yang ke pantai, boleh dihitung dengan jari. Itupun kalau ada perayaan, seperti Agustusan.Tapi sekarang, setelah Pemerintah Kota Tanjungpinang, dengan uang yang dimilikinya, menimbun pantai, menyolek tebing, membuat anjungan berleha-leha, maka pantai Tanjungpinang menjadi sebuah  fenomena baru. Tiap hari ratusan orang, bahkan ribuan, datang ke sana, Banyak orang berdagang, banyak orang berbelanja. Pulau Penyengat dilihat sebagai sebuah  penorama. Sebuah jejak sejarah yang menggoda untuk diceritakan. Selat antara Penyengat-Tanjungpinang dilihat sebagai sebuah wilayah ekonomi, dan matahari petang yang rebah di belakangnya, adalah aset wisata yang sangat mahal untuk dijual. Berapa harga tanah dipantai itu sekarang? Cobalah lakukan riset, berapa banyak uang yang sudah dibelanjakan para pengunjung yang datang ke sana, yang makan minum di Melayu Square, yang beli jagung bakar, dan lainnya, selama 2-3 tahun terakhir ini. Jangan-jangan sudah jauh di atas jumlah uang yang dikeluarkan oleh Pemko untuk menimbun dan membangun  fasilitas yang ada disaana. Dulu, orang petang-petang sudah menutup pintu dan berencana menambah anak, sekarang berduyun-duyun ke pinggir laut. Bersantai di Ocean Corner,dll, membelanjakan uang mereka. Secara tidak  langsung mereka telah dipaksa oleh Pemko untuk hidup lebih nyaman, moderen, masuk ke gaya hidup masyarakat metropolis, hanya dengan menambak laut.

Artinya, kalau elit pemerintahan dan politik di Kepri mau melihat daerahnya maju, maka paksakanlah masyarakatnya berubah. Paksakan Orang Kepri untuk berubah dan jangan menunggu mereka berubah. Gunakanlah kekuasaan yang ada, terutama dana APBD dan sumber dan lain yang ada, untuk menemukan hal-hal strategis yang dapat memaksa masyarakatnya untuk berubah. Karena masyarakat tak akan mau berubah, kalau mereka tidak melihat manfaat langsung yang mereka rasakan. Orang Suku Laut itu akhirnya mau berubah, karena mereka dipaksa oleh zaman. Pemerintah membangun rumah, pasar memperkenalkan ember plastik, anak-anaknya dipaksa  menonton televisi, melihat sabun LUX, sinetron cinta, dan lainnya.
 
Pilihan kebijakan-kebijakan  strategis untuk mengubah hidup masarakat, itulah soalnya. Keputusan yang  dilaksanakan dengan bijak dan tegas, komitmen yang terus menerus untuk memaksa masyarakat  berubah menuju kehidupan yang lebih baik, itulah problem kita sekarang. Apakah membangun pusat pemerintahan baru di Dompak itu adalah kebijakan strategis ke depan, dan dapat memaksa masyarakat (Orang)  Kepri berubah menjadi lebih maju? Kalau ya, mengapa takut. Jalan teruslah. Bahwa ada yang belum setuju, ya biarkanlah, karena itu bagian dari sebuah proses berubah.Perubahan itu harus, tapi tak semua orang mudah berubah.
 
Tetapi, tak ada  strategi perubahan yang paling strategis, kecuali  kebijakan memaksa pada perubahan kwalitas Sumber Daya Manusia (SDM). Malaysia maju karena memaksa masyarakatnya menerima kebijakan pembangunan SDM-nya. Sekarang akibat kebijakan  itu, mereka rasakan manfaatnya. Bahkan, kabarnya sekarang ini bahasa pengantar  sekolah-sekolah mereka, khusus untuk mata pelajaran sains dan tehnologi, akan diganti dari Bahasa Melayu  ke Bahasa Inggris. Singapura juga dan lebih berani, karena  sejak awal memilih bahasa Inggris sebagai jalan tol menuju masarakat maju, dan menjadikan  ekonomi sebagai pilar utama pembangunan mereka. Makanya, mereka misalnya,  akhirnya setuju juga  membangun tempat perjudian, meski masyarakatnya menentang. Dan membiarkan orang Batam menontonnya.
 
Kita sudah membangun Batam lebih dari 30 tahun. Tapi, tiap hari wali kotanya pening menghadapi urusan rumah liar (ruli), dan lalu lintas yang berantakan. Krisis listrik dan air bersih muncul tiap hari. Begitu tarif air  atau listrik naik, seakan dunia mau kiamat. Mau minum air sehat, tapi mau membayar murah. Coba tanya berapa warga Singapura membayar seliter air bersih mereka  atau sekilowatt listriknya? Mau menghapus ruli, tapi pemerintah kota dan provinsinya tak sanggup membangun rumah-rumah flat (pangsa) seperti Singapura. Banyak perumahan yang muncul, tapi itu untuk yang berkantong tebal. Coba saja, keras hati dan tangan besi, semua pajak yang terkumpul dari pajak pembangunan (ppb) yang  harus dipungut di restoran-restoran dan kedai-kedai makanan, di pungut tanpa pandang bulu, dan  hasilnya disisihkan dan dibangun rumah-rumah flat. Sepuluh tahun, bisa dibangun 10 ribu rumah. Karena di Batam, krisis apapun yang terjadi, yang namanya restoran, yang namanya rumah makan, tak pernah tutup. Berapa miliar  yang dihasilkan restoran seafood , seperti di Bengkong, dan lainnya. Satu tahun, dan berapa  pajaknya yang dihasilkan, karena mereka harus pungut 10 persen dari nilai makanan yang dimakan para konsumennya?
 
Jadi, jangan harap masyakat (Orang) Kepri berubah, kalau elit pemerintahan dan politiknya, tak bisa melakukan sesuatu yang dapat memaksa masyarakatnya berubah. Demokrasi OK! Tapi jangan membuat kita “pape kedane “. Selamat Tahun Baru 2008! ***