Senin, 14 Oktober 2024
Menelusuri Jejak PSK Batam di Singapura
Singapura bukan hanya magnet luar biasa yang menarik banyak kalangan jetset Tanah Air untuk berlomba menggesekkan credit card-nya, berbelanja sepotong gaun seharga 10 ribu dolar Singapura di butik semacam Prada. Singapura, juga menjadi daya tarik luar biasa bagi para pekerja seks komersial di Batam untuk mengadu untung, menjaring pria hidung belang. Dari kelas jalanan macam di Geylang Road hingga PSK bertarif ratusan dolar yang nongkrong di pub-pub eksklusif.
Oleh Sultan Yohana
TIDAK ada yang lebih ditakuti Santi selain petugas imigrasi Singapura. Kalau tak percaya, coba tengok isi tas Elle coklat yang ditentengnya. "Saya selalu selipkan jilbab di tas saya," katanya sambil terkekeh. Santi kemudian membuka tasnya, menunjukkan pada saya isi di dalamnya. Di antara seperangkat make-up, dompet belah yang menyembul deretan kartu kredit, paspor bergambar burung garuda, terselip jilbab biru muda. Juga satu set 'pakaian kerja': blus mini berbahan jins dan tanktop hitam. Beberapa potong bra dan celana dalam berbagai warna, terselip di bagian lain tas itu. Santi kemudian menutup tasnya kembali. Mencegah saya untuk mengetahui lebih dalam isi tasnya.
Obrolan bersama Santi terjadi di akhir pekan pekan pertama di bulan Oktober 2007 lalu. Ketika kami sama-sama menumpang ferry Batam Fast yang membawa kami dari Pelabuhan Batam Centre ke Harbour Bay, Singapura. Kami memilih duduk di dek atas, dek yang bisa bebas merokok dan membuang putungnya di sembarang tempat.
Nama di paspor, tentu bukan Santi. Tapi tak perlu disebutlah, nama aslinya. "Kalau nama asli saya ketahuan, saya tak akan bisa lagi masuk Singapur," kata santi tanpa melafalkan fonem "a" saat menyebut kata Singapura. "Mereka (petugas Imigrasi singapura, red) pasti akan menandai saya,'' Santi menambahkan.
Sembari menghisap dalam-dalam Sampoerna Mild-nya, Santi kemudian bercerita tentang secuil pengalamannya menghadapi petugas Imigrasi Singapura yang terkenal dingin, teliti, dan tanpa kompromi. ''Nggak kayak petugas kita yang main chop begitu saja. Petugas di Singapur sulit dibohongi. Saya beberapa kali ditahan. Wajah saya difoto, diambil sidik jari. Pokoknya no more-lah, pengalaman kayak gitu. Sampai mau nangis rasanya,'' cerita Santi.
Jilbab bagi Santi, adalah semacam kamuflase yang sejauh ini berhasil mengecoh para petugas imigrasi Singapura. Uang sogok? Jelas tak mempan. Setiap kali hendak menyeberang ke Negeri Singa, wanita 24 tahun itu tak pernah lupa menyelipkan sepotong jilbab di dalam tas tentengnya. Mengenakan pakaian yang Santi bilang "rapi dan tertutup," Santi tak perlu khawatir lagi dengan sederet pertanyaan macam-macam petugas imigrasi yang bisa membawanya masuk ke ruangan interogasi. ''Cukup jins dan kemeja lengan panjang. Jilbab bisa dipakai saat di atas kapal,'' katanya, lagi-lagi sambil terkekeh. Sekilas memandang Santi dari profil sebelah kiri, wanita di depan saya ini mirip dengan Reza Artamevia. Hanya saja kulitnya sedikit gelap.
Kapal yang kami tumpangi telah memasuki perairan lepas. Ini ditandai dengan semakin besarnya ombak yang menggoyang lambung kapal. Di depan, deretan gedung-gedung pencakar langit Singapura, terlihat semakin membesar. Saya prediksi, setengah jam lagi kami sudah menjejakkan kaki di tanah Singapura. Santi kembali membuka tasnya. Mengeluarkan selembar kartu berhuruf merah, kartu izin masuk Singapura dan sepotong pulpen. Sebentar kemudian dia sudah mencorat-coret kartu merah itu. Di kotak isian tempat tujuan, saya lirik Santi menuliskan sebuah alamat tempat tinggal di daerah Toa Payoh, wilayah sentral Singapura.
"Mantan kekasih saya tinggal di sana," kata Santi yang seolah membaca rasa penasaran saya atas alamat yang ditulis Santi di kartu masuk Singapura. "Sewaktu-waktu ada masalah, saya biasa telepon dia."
Ketika saya tanya mengapa hanya menulis waktu kunjungan tiga hari, sambil memperlihatkan gigi putih terawatnya, Santi bilang, "Saya menulis dua atau sepuluh hari pun, petugas imigrasi memberi waktu kunjung dua pekan. Kalau saya tulis ngepas dua pekan, mereka akan curiga."
Santi adalah satu dari puluhan pekerja seks komersial asal Batam yang sejak dua tahun terakhir menjadikan Singapura sebagai ladang baru: berburu pria-pria hidung belang. Setiap menjelang akhir pekan seperti saat ini, ketika saya membuat janji bertemu Santi untuk bersama menyeberang ke Singapura, puluhan PSK asal Batam memasuki Singapura. Negerinya Lee Kuan Yew ini menjadi "ladang basah" baru, setelah era keemasan dunia malam di Kepulauan Riau, terutama di Batam, berakhir.
Ya, kebijakan pemerintah menutup hampir semua permainan judi di Batam dua tahun silam, yang menjadikan Santi hampir setiap pekan main kucing-kucingan dengan petugas imigrasi Singapura untuk bisa masuk Singapura.
"Sebetulnya tidak sekarang saja (maaf, red) lonte seperti saya 'main' di Singapura. Sudah lama," kata Santi sembari menyulut lagi sebatang Sampoerna Mild. Saya hitung, ini batang keempat yang dihabiskannya sepanjang obrolan kami. Tapi, "Setelah hiburan malam di Batam mati, banyak yang lari ke Singapura. Dua tahun terakhir ini, orang-orang Singapura sudah berkurang drastis," Santi menambahkan. Tentu saja yang dimaksud Santi sebagai "orang Singapura", adalah mereka yang biasa memakai jasanya.
Santi tidak asal ngomong. Catatan pemerintah Kota Batam, angka kunjungan wisatawan ke Batam, sejak dua tahun terakhir menurun secara signifikan. Biro Pusat Statistik Batam mencatat, wisatawan asing yang datang ke Batam tahun 2006 berjumlah 1.012.711 orang. Ini menurun sekitar 20 persen dibanding sebelum pemerintah memerangi berbagai tempat perjudian. Sekitar 80 persen dari jumlah wisatawan itu, adalah WN Singapura.
Tak bisa dipungkiri, sebagian besar wisatawan asal Batam menjadikan hiburan malam dan tempat-tempat perjudian sebagai tempat tujuan. Begitu pemerintah menutup, berbagai tempat hiburan di dua kawasan paling ramai di Batam, Jodoh dan Nagoya, seakan mati suri.
Mati surinya dunia malam di Batam juga bisa terbaca dari keluhan para pelaku usaha pariwisata di Batam. Dalam pertemuan dengan Dinas Pariwisata Batam, Rabu pekan terakhir bulan Mei 2007 silam di Kantor Wali Kota Batam, sejumlah asosiasi pengusaha hotel mengeluh sepinya kunjungan wisatawan. Tapi pemerintah tak bisa menjanjikan apa-apa untuk memperbaiki keadaan.
Kira-kira kurang dari seperempat jam lagi, ferry yang kami tumpangi akan merapat ke Pelabuban Harbour Bay. Santi memperhatikan jam di telepon genggamnya. Kemudian berdiri, dan berpamitan pergi ke toilet.
Tak lebih dari lima menit, wanita yang mengaku pernah kuliah ekonomi di Pekanbaru, Riau, itu muncul kembali. Kali ini bukan seperti Santi yang saya kenal tadi: cantik, akrab, dan dengan bahasa tubuh yang menggoda. Yang ada di hadapan saya kini adalah Santi yang santun. Jilbab biru muda yang membungkus rambut lurus hitam pekatnya terlihat serasi sekali dengan wajahnya. Santi terlihat tampak lebih berpendidikan.
Perkiraan saya tak meleset. Kapal akhirnya merapat ketika jam di telepon seluler saya menunjuk di angka 17.30 WIB. Atau satu jam lebih lambat dari waktu yang berlaku di Singapura. Kami kemudian memacu secepat mungkin langkah kami. Saling mendahului dengan penumpang lain untuk mendapat giliran paling awal diperiksa petugas Imigrasi.
Tak sampai tiga menit, Santi yang lebih dahulu mendapat giliran diperiksa petugas imigrasi, berhasil melaluinya tanpa banyak mendapat kesulitan. Sebelum menghilang melewati pemeriksaan berikutnya: metal detektor, Santi sempat melempar senyum pada saya. Dan, beberapa menit kemudian setelah saya berhasil keluar dari segala macam pemeriksaan, saya mendapati Santi asyik menelepon seseorang di telepon umum yang berada di depan toilet pelabuhan. Tapi Santi yang saya lihat kali ini, tidak lagi seperti Santi yang melempar senyum saat meninggalkan saya tadi. Jilbab biru mudanya sudah tanggal. Kemejanya berganti dengan tanktop hitam yang memperlihatkan sebagian kulit tubuhnya yang langsat dan kencang. Hanya jinsnya saja yang masih tersisa.
Baru saja saya menyelesaikan suapan terakhir ayam penyet pesanan saya di foodcourt ujung Circular Road, Boat Quay, sekonyong-konyong lewat di samping meja kami, seorang wanita 25-an tahun. Kaki jenjang putihnya, terlihat kontras oleh balutan rok mini gelap. Tanktop sewarna yang membalut tubuh bagian atasnya, mengesankan tubuhnya lebih ramping dari sesungguhnya. Yang tersisa, hanya wangi Bulgary yang dikenakannya, saat dia melewati saya dan menghilang di salah satu pub yang bertebaran di sepanjang Circular Road ini. Santi yang masih setia menemani saya kemudian mengerlingkan matanya seraya mengatakan, wanita yang rambutnya dicat pirang yang baru saja lewat tadi adalah salah satu wanita sepertinya.
"Aku tidak kenal dia. Tapi aku tahu, dia dulu sering nongkrong di Planet," Santi menimpali. Planet Ozone, adalah salah satu diskotik terbesar di Batam yang telah kolaps oleh banyaknya persaingan diskotik di Batam. Juga oleh imbas menurunnya wisatawan.
Malam ini adalah Jumat pekan pertama di bulan Oktober. Sepanjang malam ini, Santi sengaja saya minta menemani saya untuk melongok beberapa kawasan yang biasa dipakai PSK asal Batam yang mencari mangsa di Singapura. Santi bersedia, dengan catatan saya mengganti biaya menginap malam ini di Hotel 81 di kawasan Geylang yang bertarif 68 dolar Singapura semalam. Lagian, Santi beralasan, "Saya biasa beroperasi pada malam Minggu. Jumat malam begini, tak selalu membawa untung." Juga, Santi menambahkan, "Masih ada tiga belas hari sebelum izin kunjung saya habis."
Saya kemudian berusaha menyudahi acara makan kami. Keinginan untuk nambah makanan seketika hilang ketika melihat wanita berkaki jenjang tadi. Padahal, sambal ayam penyet di "warung" yang terletak paling ujung di Circular Road ini, tak kalah enak dengan sambal-sambal ayam penyet di Malang, Jawa Timur, kota asal saya.
Kami kemudian menyusuri trotoar Circular Road yang sempit karena sebagian badan trotoar "dimakan" meja-kursi pub-pub. Deretan mobil yang terparkir di kanan-kiri jalan, serasa menambah sumpek ruas jalan yang panjangnya tak lebih dari sepelemparan batu ini. Untungnya pengendara kendaraan di sini sangat menghargai para pejalan kaki. Hingga, rasa khawatir diseruduk mobil terkurangi.
Pub atau klub-klub malam di sepanjang jalan, seperti berlomba menarik pengunjung dengan macam-macam musik yang mengalun di dalamnya. Dan seakan saling menghormati antar-klub malam. Alunan musik dari setiap pub disetel sedemikian rupa, dan tidak berusaha mengganggu "tetangga-tetangga" kanan-kirinya. Sayangnya, malam terlalu dini. Hingga saya dan Santi tak terlalu banyak menjumpai pub yang sofanya disesaki pengunjung.
Circular Road yang menyatu dengan Boat Quay dan hanya sepelemparan batu dengan Clarke Quay, menjadi salah satu tempat favorit PSK asal Batam mencari mangsa. Kawasan ini disatukan dalam aliran Singapure River. Para PSK asal Batam tersebut, memasang jerat-jerat cintanya di pub-pub atau klub malam yang banyak bertebaran di kawasan ini. Mulai dari pub yang hanya menyediakan bir plus hiburan Liga Inggris macam Bitter Victori Bitter, sampai Iris Pub yang mengusung habis tetek-bengek budaya Irlandia. Dan saya menemukan kembali wanita berkaki jenjang tadi, tengah duduk sendiri di atas kursi kayu berkaki semeter di Archipelago Bewary Co, pub dengan bangunan bergaya kolonial yang lokasinya pas membelah satu-satunya pertigaan di Circular Road.
Atau longok di kursi-kursi klub malam Crazy Elephant. Dengan mudah kita mendapati wanita-wanita "berwajah Indonesia" yang sedang menunggu kawan kencan. Masih banyak kawasan yang lebih merah semisal lantai tujuh Orchard Tower sekaligus Orchard Road, Flanders Square, maupun Desker Road. Dan kini, setelah delapan diskotik di Vivo City dibuka, sebagian PSK beralih mencari mangsa di kawasan yang bersebelah-menyebelah dengan Pelabuhan Harbour Bay.
Circular Road, kalau boleh saya mengatakan, adalah salah satu "Nagoya"-nya Singapura. Sebujur jalan di antara kawasan jajanan Boat Quay dengan China Town yang di dalamnya penuh berisi pub dan restoran tempat bule-bule berbagai negara nongkrong.
Ada pameo yang beredar di kalangan PSK Batam di Singapura. "Berpenampilanlah seelegan mungkin, dan kau akan aman dari jangkauan petugas keamanan." Ya, layaknya di Tanah Air, prostitusi di Singapura adalah bisnis ilegal yang mustahil diberantas. Meski demikian, sekali dua, petugas keamanan menggelar razia PSK. Tapi razia semacam ini, lebih sering digelar di daerah yang boleh dibilang rawan semacam Geylang. Sekitar dua bulan silam, pemerintah Singapura menangkap sejumlah wanita Indonesia yang diduga "menjual diri" di kawasan Geylang.
Santi menjelaskan, ada syarat tertentu seorang PSK asal Batam yang mencari mangsa di kawasan Circular Road, termasuk juga pub-pub yang berdiri di sepanjang Singapore River. Mereka, setidaknya harus bisa bercas-cis-cus dalam bahasa Inggris. Cantik. Muda. Juga, "harus paham betul selera bule-bule," tambah Santi. "Cantik" di sini, Santi menambahkan, biasanya yang berpenampilan sangat Asia. Oriental. "Lonte kita dan Filipina yang menjadi primadona," tukas Santi, selain juga PSK dari Cina Daratan. Dan paling penting, tambah Santi, tanpa perlu menjajakan diri, seorang pelacur harus bisa menggaet mangsanya dengan kepandaian bergaul.
Gerimis sedikit menganggu acara kami menyusuri sepanjang trotoar Circular Road. Kami kemudian sepakat memilih Wu Bar sebagai tempat nongkrong sejenak, menunggu gerimis mereda. Wu Bar menjadi pilihan kami, karena terkesan, pub yang didominasi cahaya biru ini lebih "liar" dibanding pub-pub lainnya. Lebih hidup dengan dentuman-dentuman house music-nya yang menurut saya, masih sangat "sopan" jika dibanding dengan pub di Tanah Air.
Saya kemudian mengambil duduk sofa yang berada tepat di samping pintu masuk kaca setebal lima mili. Ini lokasi yang paling tepat untuk memperhatikan setiap pengunjung yang masuk ke Wu Bar, juga melepas pandangan ke arah jalan raya. Kepada pelayan wanita yang menghampiri kami, saya memesan sekaleng Heineken. Santi sebotol Mudshake Vanilla.
PSK yang nge-date di tempat-tempat eksklusif macam Circular Road yang beruntung, bukan hanya mereka yang pulang ke Batam dengan mengantongi 2.000 sampai 3.000 ribu dolar Singapura. Keberuntungan yang jauh lebih menyenangkan ketika berhasil menggaet "hati" seorang bule. Menjadikan pasangan tetapnya. Bahkan, tak jarang, mengakhiri hubungan dalam satu pernikahan.
Jika keberuntungan seperti ini terjadi, wanita seperti Santi tak perlu lagi melacurkan diri. Karena bule-bule di Singapura berbeda dengan bule-bule lain yang kerap berkunjung ke daerah-daerah wisata di Tanah Air semacam Bali, Jogja, atau Jakarta. Bule-bule Singapura tidak hanya turis-turis backpacker yang bermodal ransel besar dan keberanian. Tapi eksekutif-eksekutif perusahaan multinasional yang tak menghabiskan seujung kuku gajinya, untuk menjamin kehidupan orang seperti Santi. Dan alasan yang demikian yang menjadi daya tarik luar biasa para PSK Batam menyeberang ke Singapura.
Dan di sisa Jumat malam kami, Santi meminta diri untuk balik ke hotelnya. Kami mendapatkan sebuah taksi yang mengantarnya ke Hotel 81 di Geylang Road. Saya berjanji untuk menemuinya kembali, besok siang.
Sri, dan Satu Sore di Geylang Road
Saya menebak, usianya tidak lebih dari 18 tahun. Tidak terlalu cantik memang, untuk ukuran sesama pekerja seks yang sesore ini sudah bertebaran di sepanjang Geylang Road. Kulitnya gelap. Tubuhnya terlalu mungil untuk menarik perhatian setiap lelaki. Rambutnya yang lurus sepinggul, hanya diikat begitu saja. Pemilihan make-up wajah yang tidak serasi dengan kulitnya, mengesankan ketidakdewasaannya.
Tapi kemudaannya yang tak bisa disembunyikan, yang membuat setiap lelaki yang lewat di depannya berusaha menyapa. Menggoda dengan sepatah dua kata. Meskipun setelah itu berlalu meninggalkannya.
Saya "menemukan" gadis itu saat menyantap semangkuk mie rebus di warung makan Tionghoa antara Lorong 15 dan 16, Geylang Road. Bersama dua kawannya yang terlihat lebih tua, dia sedikit salah tingkah ketika saya menyapanya dengan bahasa Indonesia. Seorang rekannya memanggilnya pendek saja, "Sri." Dan saya tak punya hati untuk menanyakan nama aslinya.
Jarum jam masih menunjuk di angka 16.15 waktu Singapura. Masih sangat siang untuk pelesir di 26 lorong atau gang di Geylang Road yang sepanjang mata memandang, ratusan wanita tua-muda, aneka etnis, aneka penampilan, berusaha merayu para pejalan kaki yang lewat di depan mereka. Saya tadi memang berencana untuk mencari pengganjal perut.
Ini Geylang Road. Bukan Singapore River, Orchard Road, ataupun Desker Road dengan pub-pub nyaman dengan sofa seharga ribuan dolar dan pendingin ruangan. Di sini, pekerja seks komersial harus berdiri di sepanjang trotoar, menyapa pejalan kaki. Tak jarang, bahkan, langsung menyebut harganya. Mau short time atau sepanjang time.
Bahkan sesiang ini, mereka sudah harus berhamburan ke jalan. Untuk sedini mungkin berburu lelaki-lelaki hidung belang. Sri atau siapapun nama wanita ini, mempersilahkan saya duduk di sebelahnya. Sebuah kursi plastik merah. Tanpa saya berusaha memancing pembicaraan, dia menyodorkan tebakan pada saya. "Dari Jawa, ya?" tanyanya. Saya mengangguk.
Setelah berhasil menguasai kegugupannya karena todongan saya dengan bahasa Indonesia tadi, Sri kemudian tanpa saya minta, menyebutkan kota asalnya di Blitar, Jawa Timur. Dia tertawa kecil saat mengetahui saya berasal dari Malang, tetangga kabupaten. Sebentar obrolan kami terasa lebih akrab. Ini sedikit pengakuannya: Di Geylang, dia pekerja seks. Itu tak dipungkirinya. Kira-kira setahun silam, untuk pertama kalinya, dia mengenal dunia malam, saat bekerja di salah satu pujasera di Batam. "Saya SPG-nya Tiger Beer," katanya menyebut satu merek bir yang beredar di Batam. Semula, Sri hanyalah seorang sales promotion girl lugu yang tahunya melayani pesanan pembeli. Namun, jam kerja antara pukul lima sore hingga satu dinihari, membuka matanya, tentang mudahnya mencari uang sebagai pekerja seks. ''Saya melakukannya tanpa paksaan. Mungkin karena lingkungannya saya begitu semua,'' Sri beralasan. Berikutnya, bisa ditebak, hidup seperti apa yang dialami Sri.
Sri bukan wanita seberuntung Santi ataupun banyak wanita PSK Batam yang dianugerahi wajah cantik, tubuh seksi, dan berkemampuan intelektual yang cukup hingga punya kesempatan menjaring lelaki-lelaki berduit. Sri hanya punya satu modal: nekad.
Wanita seperti Sri, biasa masuk ke Singapura berbekal sepotong surat nikah. Ya, pernikahan menjadi salah satu cara para PSK Batam memiliki "tiket" untuk bisa mudah keluar masuk, bahkan tinggal sementara di Singapura. Tanpa perlu khawatir dengan ketatnya pemeriksaan petugas imigrasi Singapura, Sri tak perlu menyelipkan selembar jilbab untuk masuk Singapura. Hanya menunjukkan surat nikah dengan lelaki Singapura, petugas imigrasi akan senang hati memberikan chop masuk. Bahkan dengan sosial visit, mereka bisa tinggal dua hingga tiga bulan di Singapura.
Tapi jangan membayangkan, pernikahan yang demikian sebuah pernikahan yang menyenangkan. Tidak banyak lelaki Singapura yang bersedia menikahi orang-orang seperti Sri. terkecuali apek-apek yang jalannya saja, harus dipapah.
Pernikahan demikian, menjadi salah satu fenomena Batam. Juga kota-kota lain seperti Tanjungpinang dan Karimun. Apek-apek asal Singapura yang hanya bermodal uang pensiun, mencari istri muda di Batam. Untuk dikunjunginya setiap pekan. Jaminan uang kontrakan dan beberapa ratus dolar yang diberikan setiap kali berkunjung, jelas tak cukup. Kalau kemudian mereka memanfaatkan status mereka untuk melacur, hal ini semata karena tuntutan kebutuhan hidup di Batam yang sangat tinggi.
Meski status sebagai seorang istri, Sri punya alasan lain kenapa melacur. "Suami saya yang sudah apek-apek, jelas tak mampu memenuhi kebutuhan di atas ranjang," katanya terkekeh. Kawan-kawannya ikut terkekeh. Dan ketika saya tanya, kalau alasannya cuma demikian, kenapa tak cari pemuda Indonesia yang saya yakin, banyak yang bersedia menjadi bronches-nya? Sri kembali terkekeh. "Mereka nggak ada duitnya."***
SULTAN YOHANA adalah wartawan Posmetro Kepri. Tulisan ini menjadi salah satu nominator Rida Award II 2008 dan dimuat di Posmetro Kepri pada 21 Oktober 2007.