Rida Award 2009

Saya Aborsi Sendiri

Jurnalistik Senin, 16 November 2009
Saya Aborsi Sendiri

* Ketika Segelintir Pelajar Tanjungpinang Menjajakan Diri

Prostitusi bawah umur dan memperdagangkan keperawanan merebak di Tanjungpinang. Sebuah riset menunjukkan sebagian remaja putri di  ibu kota Provinsi Kepri itu pernah melakukan hubungan intim.

Oleh Yuliana Dewi

NL, 16 tahun, adalah gadis ceria. Ia cepat akrab dengan orang yang baru dikenalnya. Warna-warna cerah yang jadi pilihannya dalam berpakaian, setidaknya menggambarkan karakter asli gadis berambut kriwil, mirip Slash, gitaris grup musik populer awal 1990-an, Guns N' Roses. Keceriaan yang sudah jadi bawaan lahir itu pula, yang membuat NL seolah tak sedang dirundung masalah. Padahal, baru sepekan lalu, siswa kelas 3 SMP di Tanjungpinang ini menggugurkan kandungannya.

"Saya baik-baik saja," katanya, sembari  mengulum senyum. Tanpa beban.

"Saya aborsi sendiri. Tak ada bantuan orang lain," ia menambahkan.

NL mengungkapkan, ia sengaja membunuh orok yang baru sebulan bersemayam dalam rahimnya itu, karena tak tahu siapa yang menyemainya.

Takut kehamilannya bakal membuat gempar keluarga, NL putar otak mencari siasat. Ia emoh merapat ke tempat praktik  dokter kandungan atau dukun beranak. Sebab jejak aborsinya bisa diendus. Ia menganalisa, berdasarkan pengalaman, jika haid tak lancar, maka dengan meminum tablet tertentu, darah dari rahim bakal mengalir deras.  "Tak ada yang memberi tahu obat itu. Cuma perkiraan saya saja, coba-coba. Eh, berhasil," ujarnya.

NL bisa bebas melakukan aktivitas di luar kapasitas remaja seusianya karena ia tinggal terpisah dari keluarga. Dengan alasan agar lebih dekat ke sekolah, ia bisa meyakinkan orang tua untuk tinggal di rumah kos. Di rumah barunya itu, NL tak sendiri, ada empat remaja putri lain seusia juga tinggal di sana dan menempuh jalan hidup yang sama. Di sinilah mereka memulai episode baru hidup mereka: pelajar merangkap pelacur.

***

RUMAH bercat putih itu sepi-sepi saja. Berada di tepi laut, tiupan angin membuat suasana serasa sejuk. Terletak di Tanjung Ayun, Kecamatan Bestari, rumah itu punya 10 kamar untuk dikontrakkan. Meski lokasinya tak jauh dari Kantor Pemerintah Provinsi Kepri, tapi tak ada pegawai negeri yang tinggal di situ. Penghuninya adalah pelajar dan pekerja hiburan malam. Satu kamar luasnya 2,5 X 2,5 meter. Tersedia kamar mandi di tiap kamar. Tarifnya Rp250 ribu sebulan.

Ada peraturan tak tertulis yang cukup menguntungkan penghuni: boleh bawa pasangan, meski belum ada ikatan resmi, sepanjang tak mengganggu penghuni lain. "Saya tak peduli dengan pekerjaan yang mereka lakukan, asal tak bising dan membuat onar," kata Ma, pemilik kos-kosan itu.

NL menghuni kamar paling ujung sebelah kanan. Di kamar nomor empat ada Al, 16 tahun, di kamar sebelah ada Bt, 19 tahun, yang tinggal berdua dengan Rv, 14 tahun. "Saya tinggal di sini sejak diusir dari rumah," kata Rv, sambil mengembuskan asap rokok.

Rv adalah anggota paling belia dari empat sekawan ini. Ia mengaku baru beberapa bulan ini dapat menstruasi pertama. Ia masih ingat, seluruh badan terasa pegal dan linu ketika ‘tamu' itu datang untuk pertama kali. "Saya kaget lihat celana berdarah," tuturnya. Oleh sepupu perempuannya, ia diajarkan cara menggunakan pembalut.  "Mau tanya sama ibu nggak enak karena sering ribut," katanya. Sejak sepuluh tahun lalu, Rv tinggal bersama ayah kandung dan ibu tirinya.

Impitan ekonomi dan tidak ada perhatian dari keluarga, membuat Rv manut saja ketika NL menawarinya jalan pintas dapat duit. Rv cerita, ketika itu, NL datang menemuinya dan pinjam uang. Rv menjawab tidak ada. NL lalu menanyakan apakah Rv masih perawan atau tidak. "Kalau masih, ada yang mau beli Rp6 juta," kata NL.

"Saya kaget dengar jumlah uang sebanyak itu. NL bilang bisa buat senang-senang dan beli pakaian," kata Rv. Bujukan NL membuat Rv luluh. Di sebuah hotel, kegadisan Rv direnggut lelaki hidung belang bernama David. Dari transaksi haram itu, NL sebagai perantara dapat bagian Rp2 juta. Rv mengaku sedih dan menangis ketika berhubungan badan pertama kali.

"Setelah itu saya curhat ke teman-teman. Mereka bilang itu biasa. Nggak akan ada masalah. Ya, sudah saya jalani saja sampai sekarang," ujarnya.

NL yang kini berumur 16 tahun, sesungguhnya juga mengenal  seks pertama kali saat berusia 14 tahun. Ia menyerahkan kegadisannya kepada pacarnya dengan alasan untuk pembuktian cinta. ”Kalau nggak kayak gitu, dia nggak percaya, terus mau diputus," ujarnya. Setelah semuanya terjadi, ia baru sadar, ia jadi korban kegombalan laki-laki. Merasa kepalang basah, dan berdalih karena terdesak secara ekonomi, ia  akhirnya terjun dalam dunia pelacuran. "Udah nggak gadis lagi kok, dan lagian butuh uang," ungkapnya santai. Orang tua NL berprofesi sebagai tukang urut.

Kisah hidup Al hampir 100 persen mirip dengan NL. Bedanya, NL sekolah di sekolah umum, Al mengenyam pendidikan di sekolah berbasis agama. Orang tua Al adalah buruh cuci. "Mau gimana lagi," kata Al. Ia tak menyesalinya.

Al juga pernah jadi makelar ketika menawarkan temannya Nv (tidak tinggal di rumah kos mereka) kepada David. "Al yang menghubungi Om David dan bersedia membayar keperawananku dengan harga Rp6 juta," ungkap Nv. Tapi ternyata, yang dibayar cuma Rp3 juta. Nv mengaku hanya menerima Rp800 ribu. ”Selebihnya diambil Al," kata Nv.

***

MATAHARI tergelincir di tepi laut Tanjungpinang. Hari beranjak malam, Sabtu (6/6) lalu. Ratusan orang berlalu lalang di Taman Panorama, tempat nongkrong paling terkenal di Kota Gurindam itu. Tapi empat sekawan NL Cs, tak tertarik memandang indahnya sunset di Taman Panorama. Baju dan parfum terbaik dikenakan malam itu. Empat ojek langganan telah menunggu di halaman kos-kosan. Rv dan Bt meluncur ke Hotel Bintan Plaza. Sedangkan NL dan Al melaju ke Hotel Halim, Batu 6. "Ada janji kencan," kata Bt.

Sejak kehilangan keperawanannya, NL Cs terjun total dalam bisnis prostitusi. "Tapi kita khusus layanan short time," katanya. Empat sekawan ini tak melayani permintaan booking sehari penuh.

"Kan harus menyesuaikan dengan jam sekolah," kata Rv menimpali. "Short time kan nggak lama. Ditawari Rp300 ribu kan lumayan," Rv menambahkan.

Pelanggan mereka umumnya adalah orang-orang yang sudah mereka kenal. Kontak “pemesanan” biasanya dilakukan lewat telepon atau perantara tukang ojek. Jika sepi panggilan, NL Cs mencari tamu di tempat-tempat karaoke. NL mengaku sebagian uang yang ia dapat dari melacurkan diri, diberikan kepada orang tuanya. "Kalau ditanya, uang dari mana sebanyak ini, saya bilang dari pacar saya orang Tionghoa yang kaya. Ibu percaya saja," katanya.

Ojek yang mengantar NL, Sabtu malam itu, berhenti di depan Hotel Bintan Plaza. Ia bergegas ke kamar 360. Di sana telah menunggu Rm, pria yang sehari-hari adalah pegawai honorer Kantor Camat Jemaja Timur, Anambas. Ketika hendak melayani Rm, NL mengaku baru saja melakukan aborsi. Karena kurang nyaman, akhirnya keduanya sepakat kencan hanya menggunakan tangan.

Ketika keduanya masih ngobrol-ngobrol di tempat tidur, sebuah ketukan di pintu kamar membuyarkan rencana panjang mereka malam itu. Serombongan polisi dari Satuan Reserse dan Kriminal Polres Tanjungpinang menggelandang NL dan Rm. Kepala Sat Reskrim AKP Nur Santiko mengatakan, penangkapan NL mengakhiri episode gelap hidup empat sekawan ini.

***

HOTEL Shangrilla di Batu 2, Gudang Minyak, Tanjungpinang, suatu siang awal Mei 2009.

Seorang pria paruh baya dengan dandanan rapi duduk di tempat tidur sebuah kamar. Raut wajahnya tampak gelisah. Sebentar-sebentar ia melihat layar handphone di tangan kanannya.

Sejurus kemudian, seorang perempuan muda berkaos dan bercelana jeans masuk ke kamar dan bergegas menemuinya. "Gimana," kata Hendi, pria paruh baya yang duduk gelisah itu.

"Aman, Pak. Bentar lagi datang," jawab Nota Afianti, perempuan muda berkaos oblong dengan wajah sumringah.

Nota melangkah ke pintu kamar, matanya tertuju ke arah luar. Sambil menjentikkan jempol dan jari tengah, ia memanggil seorang gadis remaja yang berdiri tak jauh dari pintu kamar. "Ini, Pak, orangnya," kata Nota pada Hendi, sambil mendorong gadis remaja yang ia panggil tadi untuk bersalaman dengan Hendi. "Oh, bagus, bagus," Hendi tersenyum.

"Silakan ngobrol-ngobrol dengan om ini," kata Nota pada gadis remaja itu. Ia pamit dari kamar hotel.

Ea, 14 tahun, gadis remaja itu tampak malu-malu. Hendi terus mengajaknya bicara. Ia bertanya tentang hobi dan sekolah Ea.

Setelah satu jam berbincang Ea pamit. Sebelum beranjak dari kursinya, Hendi menjulurkan segepok uang. "Ambillah, terima kasih sudah temani saya ngobrol," katanya. Di halaman hotel, ia menghitung uang itu. Ea kaget, jumlahnya Rp1 juta. Tapi Nota merampasnya. "Separo buat saya," katanya pada Ea, pelajar kelas 2 SMP.

Sepekan setelah itu, Nota mengontak Ea lagi. Katanya, Om Hendi ingin ditemani ngobrol lagi. Seperti pertemuan pertama, pulangnya Ea dikasih uang Rp1 juta, yang lagi-lagi setengahnya diambil Nota. Pada pertemuan keempat belang Hendi baru kelihatan. Ia mulai berani merayu dan memegang Ea.

Meskipun awalnya menolak. Tapi perjuangan Hendi meruntuhkan pertahanan Ea. Ia dibujuk akan diberikan uang lebih besar dari sebelumnya. Selain itu, Ea ditawari akan dibawa belanja. Ea pun tergoda dan rela ditiduri oleh Hendi yang berpostur gempal. Saat itu Ea mengaku masih perawan. Pada peristiwa pertama itu, Ea mengeluh kesakitan. ”Jadi nggak dilanjuti lagi sama om itu," ujar Ea. Meskipun begitu, Ea mendapat Rp3 juta untuk perawannya, tapi langsung dipotong Nota Rp700 ribu.

Selain Ea, ternyata ada delapan remaja lain yang jadi korban Hendi dan Nota. Tiga di antaranya berhasil ditiduri Hendi, yakni Ri, 14 tahun, dengan bayaran Rp1,5 juta; Li, 17 tahun, dibayar Rp1 juta; dan Si, 14 tahun, dengan bayaran Rp1 juta. Sedangkan lima remaja lainnya, menolak kemauan Hendi untuk berhubungan badan.

Uniknya, sembilan orang korban itu seluruhnya berasal dari Kampung Bugis, sebuah perkampungan nelayan dengan jarak tempuh 10 menit perjalanan laut dari Tanjungpinang.

"Karena Nota satu kampung dengan kami," kata Ha, salah seorang korban, sembari menunjuk rumah orang tua Nota, ketika Batam Pos berkunjung ke sana.

Setiap kali berhasil membawa perempuan ke Hendi, Nota mendapat upah Rp1. Nota juga memotong uang yang diberikan Hendi pada remaja yang dikencaninya. ”Mereka sendiri yang mau, saya tidak maksa," ujar Nota membela diri, setelah ia digelandang ke Markas Polsek Tanjungpinang Kota, Kamis (21/6) lalu. Ketua LSM Bina Kaumku Anis Anorita Zaini mengungkapkan, terbongkar jual beli perawan di Kota Gurindam itu, bukanlah sesuatu yang mengejutkan.

Menurut  dia, tahun 2008, LSM yang dipimpinnya pernah melakukan mini riset terhadap pelajar di  Tanjungpinang. Dari sekitar 8.000 pelajar Tanjungpinang, 4.000 di antaranya adalah remaja putri. Dari jumlah 4.000 tersebut, ia menyebarkan kuisioner pada 400 pelajar di 25 sekolah. "Ini mini riset saja," ungkap Anis.

Dari hasil kuisioner yang disebarkan, diketahui 4,6 persen remaja di Tanjungpinang tidak perawan lagi. "Kami tidak melakukan pemeriksaan fisik apakah dia perawan apa tidak, tapi berdasarkan kuisioner yang mereka isi tersebut menunjukan seperti itu," terang Anis.

Anis menunjukan kuisioner yang disebarkan saat melakukan mini riset itu. Di situ terdapat beberapa pertanyaan seputar pemahaman remaja putri terhadap haid dan pengalaman pertama yang dialaminya. Dalam kuisioner itu juga ditanyakan, sejauh mana mereka mengetahui bagian organ intim yang paling perlu dijaga. Ada juga pertanyaan  apakah mereka sudah pernah melakukan hubungan intim. "4,6 persen diketahui ternyata sudah tidak perawan lagi," terang Anis.

Yuliana Dewi adalah wartawan Batam Pos. Tulisan ini masuk nominator Rida Award III 2009 yang dimuat di Batam Pos, Minggu 21 Juni 2009