RIDA K LIAMSI

Pria dengan Tiga Label Kesuksesan: Wartawan, Sastrawan dan Usahawan

Profil Selasa, 02 Februari 2010
Pria dengan Tiga Label Kesuksesan: Wartawan, Sastrawan dan Usahawan
Rida K Liamsi

Sulit untuk mendefinisikan siapa Rida K Liamsi. Mengingat pria kelahiran Dabo Singkep, 17 Juli 1943 ini berbilang sukses. Tak hanya sukses sebagai seorang wartawan ataupun sastrawan yang terus berkarya, tetapi juga seorang usahawan yang terus berekspansi mengembangkan sayap bisnisnya.

Saat pertama kali mendengar nama Rida K Liamsi, selintas orang akan berpikir CEO (Chief Executive Officer) Riau Pos Group ini adalah pria keturunan Tionghoa. Namun ternyata, dia adalah orang Melayu tulen. Nama Rida K Liamsi yang kini disandangnya adalah kebalikan dari nama aslinya yaitu Ismail Kadir. Cerita pertukaran namanya itu bermula dari kisahnya sebagai seorang guru SD Negeri di Tanjung Pinang tetapi punya hobi menulis sastra. Sebagai penulis sastra dia haruslah memiliki nama pena. Awalnya dia memakai nama Iskandar Leo. Namun kemudian bersamaan dengan saat beralih profesi menjadi wartawan, dia mengganti nama penanya dengan Rida K Liamsi. Nama itulah yang kemudian melekat dalam identitas dirinya hingga kini.

Karir sebagai seorang wartawan dilakoni pria ini setelah lima tahun berprofesi sebagai seorang guru, tepatnya tahun 1972. Untuk pertama kali dia tercatat sebagai wartawan Mingguan Pelita. Setahun kemudian pindah menjadi redaktur budaya pada Mingguan Angkatan Bersenjata di Tanjung Pinang. Dua tahun kemudian dia pindah lagi bekerja sebagai wartawan Majalah Berita Mingguan Tempo. Kepindahannya bekerja di Majalah Tempo itu sekaligus mengakhiri profesinya menjadi seorang guru yang telah dilakoninya selama sebelas tahun.

"Waktu itu, saya ingin lebih fokus dalam menulis dan menjalani profesi kewartawanan. Itulah sebabnya saat pulang dari Job Training Jurnalistik oleh Majalah Tempo di Jakarta, saya memutuskan untuk berhenti menjadi guru dan full sebagai wartawan Tempo," ujar ayah enam anak ini tentang ihwal alih profesinya dari guru menjadi wartawan sejati.

"Gaji guru dan honor koresponden waktu itu sama saja. Bahkan gaji guru lebih pasti, tiap bulan gajian. Sementara koresponden tergantung berita yang dimuat. Namun enjoy saja jadi wartawan. Bisa kemana-mana dan bebas ketemu siapa saja. Kalau jadi guru, mau jumpa bupati saja sulit bangetkan" jelasnya dengan tersenyum.

Delapan tahun bekerja di Tempo (1975-1983), dia terayu dengan tawaran menangani Mingguan Genta oleh Tabrani Rab, Pimpinan Umum Genta saat itu. Dia diberi jabatan sebagai Wakil Pimpinan Redaksi Mingguan Genta. Namun hanya bertahan dua tahun, karena sebuah ketidaksepahaman idealisme, membuatnya memutuskan berhenti bekerja.

Berhenti dari Genta tak membuat Rida berhenti menjadi wartawan. Dia kembali aktif sebagai koresponden walaupun harus memulai dari nol kembali di Harian Suara Karya. Saat bekerja di harian ini, tepatnya 1989 dia sempat di pindah tugaskan di Surabaya, Jawa Timur. Di tempat itulah, setahun kemudian dia bertemu dengan Dahlan Iskan, teman lamanya di Tempo yang tengah sukses membangun Harian Jawa Pos. Dari pertemuan itu, Rida ditantang untuk mendirikan koran di Pekanbaru Riau. Rida tak melewatkan kesempatan itu dengan perjanjian dia dibekali dengan mesin cetak koran. Dengan dukungan penuh Gubernur Soeripto, maka 17 Januari 1991 terbitlah surat kabar Riau Pos.

Rida mungkin telah ditakdirkan menjadi Raja Media di Sumatera Bagian Utara. Pasalnya, di tangannya Riau Pos berkembang pesat luar biasa. Bahkan akhirnya bisa membentuk group media bernama Riau Pos Group yang membentang dari Riau hingga Aceh. Meliputi lima provinsi yakni Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Aceh. Di tangannya kini ada 14 surat kabar, enam percetakan, satu majalah, lima televisi, 15 koran online, empat news portal dan satu radio (dalam proses on air).

Sukses dengan bisnis media, Rida seperti menggelinding ke dunia bisnis. "Setelah jadi pimpinan redaksi, pimpinan umum, lalu mau jadi apalagi ? Kan harus jadi penerbit, punya koran sendiri. Setelah punya satu dan berkembang, lalu bagaiman lagi ? Kan kepingin punya dua, tiga, dan akhirnya jadi group. Dari koran pindah ke percetakan, tambah TV, tambah yang lain. Menggelinding" ujarnya bercerita tentang mengapa akhirnya mantan Ketua PWI Cabang Riau ini kini tidak saja menjadi pengusaha media tetapi juga membangun berbagai bisnis lainnya.

Pada tahun 1998 dia menjadi Direktur Utama Nagoya Plaza Hotel di Batam dan kini dia menjabat sebagai Presiden Komisaris di hotel tersebut. Dia juga tercatat sebagai Direktur Pengembangan Investasi Riau (PIR) dari tahun 2003 hingga saat ini. Di BUMD milik Riau ini dia mengembangkan bisnis kelistrikan, produksi beras, dan lain sebagainya. Selanjutnya pada tahun 2008 awal, dia kembali dipercaya Dahlan Iskan memimpin PT Jawa Pos Pos National Network (JPNN).

Dari mana suami dari Asmini Syukur ini belajar menjadi pengusaha? Rida menjawab entrepreneurship itu nggak ada sekolahnya. Tempat latihannya hanyalah dalam kehidupan sehari-hari. Belajar dari kesalahan, belajar dari orang lain, baca buku dan kursus. Menurutnya belajar dari orang sukses adalah tempat belajar yang paling baik. Tiap hari dia memupuk mimpi dan menentukan mau sukses bisnis seperti apa?

?Apa mau seperti Ciputra, Murdoch, Bakri, atau siapa? Terpenting kalau ingin menjadi pengusaha maka harus belajar serba sedikit tentang arus kas, laba rugi, dan neraca. Biar tidak dibohongi bawahan. Tapi, yang utama adalah neraca. Bisnis itu dimulai dari neraca dan diakhiri dengan neraca,? paparnya.

Meski begitu sibuk degan berbagai kegiatan kewartawanan dan juga bisnisnya, ternyata Rida tak pernah lepas dari dunia kesusastraan dan perhatiannya terhadap pelestarian dan pengembangan budaya Melayu. Pria yang karya sastranya pernah dimuat di majalah Horison ini terus aktif sebagai sastrawan hingga saat ini. Tak hanya sekedar aktif membacakan puisi-puisinya di berbagai tempat, termasuk di Taman Ismail Marzuki, tetapi dia juga aktif menulis. Terakhir dia merampungkan kumpulan puisinya berjudul Perjalanan Kelekatu (2008). Setelah setahun sebelumnya merampungkan novel Bulang Cahaya (2007) dan tahun 2003 menerbitkan Kumpulan Puisi Tempuling.

Dia juga berhasil menggagas dan mendirikan Yayasan Sagang yang menjadi wadah berbagai karya sastra Melayu lewat majalahnya dan juga penghargaan lewat anugerahnya. Anugerah Sagang yang diberikan yayasan ini telah bertahan hingga 13 tahun, sejak pertama kali diberikan tahun 1996.

Keseriusannya di bidang sastra dan budaya itulah yang akhirnya mengantar pria ini menyandang gelar kehormatan Seniman Perdana (SP) di pangkal namanya. Sebuah anugerah prestesius yang diberikan oleh Dewan Kesenian Riau (DKR) kepada seseorang yang dinilai tunak, kreatif, mandiri dan karya seninya memiliki pengaruh secara nasional.

Tak pernah berhenti berkarya dan berekspansi nampaknya sudah menjadi sifat dasar Rida. Desember 2009, dia kembali membuat gebrakan dengan menggagas dan bersama dengan puak Melayu lainnya mendirikan Gerakan Sejuta Melayu (Genta Melayu). Sebuah gerakan masif yang bertujuan untuk membangun budaya dan bisnis Melayu di Riau.

"Mimpi itu kan terus bersambung. Orang kan selalu kepingin berbuat sesuatu yang lebih baik dari kemarin. Hidup ini kan harus dinamis, supaya tetap ada gairahnya. Supaya hidup ini tetap punya manfaat," begitulah jawabnya saat ditanya mengapa obsesinya tidak berhenti-henti bahkan setelah serangkaian mimpi telah berhasil digapainya.