Dari Penulis

Perjalanan Kelekatu

Buku Selasa, 20 Oktober 2009
Perjalanan Kelekatu

Alhamdulillah,
kumpulan puisi ini akhirnya berhasil diterbitkan.


Kumpulan ini adalah kumpulan puisi  saya yang ketiga, yang pertama “Ode X” (stensilan-1971), kedua TEMPULING terbit tahun 2003. Kumpulan ketiga ini diberi nama PERJALANAN KELEKATU, yang diambil dari judul dua puisi yang ada di dalamnya, PERJALANAN dan KELEKATU. Nama ini dipilih, karena memang hampir sebagian besar puisi-puisi dalam kumpulan ini adalah  hasil renungan dan catatan-catatan perjalanan. Baik perjalanan fisik saya ke berbagai negeri, termasuk perjalanan ke Nangroe Aceh Darussalam, 10 hari setelah tragedi dahsyat Tsunami di penghujung tahun 2004, maupun perjalanan bathin. Puisi-puisi perjalanan itu, lebih merupakan rekaman seorang jurnalis, rasa yang bangkit dari terkaman kenyataan dan gelombang cemas dan empati yang menyertai. Mungkin bukan sebuah perenungan yang dalam, dan karenanya belum tentu menyisakan puisi-puisi yang kekal. Menumental. Renungan dan catatan perjalanan itu, mungkin beberapa waktu kemudian, sudah sangat berubah. Kecemasan dan kegelisahan yang tertangkap dalam lanskap puisi-puisi ini mungkin sudah tidak lagi seperti itu. Di Tapaktuan, misalnya, suatu waktu kelak, tidak lagi terasa kecemasan penghuninya atau sesiapapun yang sampai di sana, saat-saat  menunggu malam. Hidup telah mengubahnya, dan waktu membuat bathin mereka menjadi lebih tangguh. Akhirnya puisi hanyalah sebuah catatan sejarah, catatan suatu ketika, catatan sebuah luka.

Kesadaran lain pada sebahagian lain  puisi dalam kumpulan ini, adalah perjalanan hidup yang semakin capas dan kehilangan pesonanya. Bagai seekor kelekatu yang terbang dari satu cahaya ke cahaya lain, kita pergi mencari makna, mencari suatu tempat untuk pulang. Tetapi gemuruh waktu dan hidup, membuat kita berjalan sendiri, mencari sendiri, dan mungkin tak lagi saling perduli. Kita memang akhirnya seperti seekor Kelekatu yang pergi mencari jalan pulang, mencari makna keberadaan kita. Pertanyaan visioner tentang menjadi apa kita, menjadi siapa kita, adalah pertanyaan seekor Kelekatu yang menembus waktu. Menunggu resa angin, menjadi isyarat musim. Atau kita seperti seekor burung Kedidi, berlari sepanjang pantai, tak tahu kapan akan sampai, atau ke mana akan sampai.

Puisi-puisi dalam kumpulan ini memang ada yang berasal dari beberapa puisi di tahun-tahun awal kepenyairan saya, yang belum dimasukkan dalam kumpulan pertama. Masih ada yang ditulis  tahun 80-an. Saya  juga ternyata masih tetap kurang konsisten, dan terus menerus menyempurnakan  sajak-sajak yang ditulis. Menambahnya dengan renungan-renungan baru, membuang bagian-bagian yang terasa kurang utuh, dan memberikannya sentuhan-sentuhan diksi yang lain, saat  saya membaca ulang, dan merenungkannya kembali. Karena itu, beberapa sajak mempunyai tahun penulisan lebih dari satu, dan jaraknya kadang-kadang cukup panjang. Saya memang terkadang menulis ulang, menyempurnakannya, dan berharap sajak-sajak itu akan menjadi lebih baik. Lebih terasa geliat putikanya.

Kumpulan ini,  seperti kumpulan pertama, hanya berisi  sekitar 30 puisi. Saya masih tetap kurang produktif. Banyak ide, banyak sketsa-sketsa yang sudah disiapkan, terutama di sela-sela perjalanan dan kerja sebagai pengusaha surat kabar, tapi sulit sekali menyelesaikannya sebagai sebuah puisi. Beberapa puisi  akhirnya kembali masuk ke dalam file, dan menunggu resa baru, kalau-kalau kelak akan selesai dan menjadi puisi-puisi baru. Di dalam kumpulan ini, memang terdapat sejumlah puisi yang sudah pernah dipublikasi di dalam majalah budaya Sagang, sebuah majalah sastra dan budaya yang terbit di Pekanbaru, Riau, terutama pada edisi khusus ulang tahunnya. Tetapi, beberapa yang lainnya memang belum pernah dipublikasi, meskipun beberapa di antaranya ada yang sudah pernah dibacakan di berbagai event baca puisi.

Saya kembali sangat berterimakasih kepada sahabat saya Armawi KH, yang pada kumpulan inipun menjadi peran-cang artistiknya. Baik isi, kulit, tipographi, dan meleng-kapkannya dengan vignet yang seperti buku puisi yang pertama, telah menjadi puisi-puisi sendiri, dan berbicara dengan indah dan menggetarkan. Untuk  itu saya sangat ber-hutang budi atas apa yang sudah dia lakukan, dalam semangat persahabatan sangat tulus ini.

Saya juga ingin berterimakasih kepada semua pihak yang telah ikut serta membantu hingga kumpulan ini dapat diterbitkan. Mereka telah membantu mengelola waktu yang saya miliki, sehingga dapat memenuhi jadwal penerbitan. Kepada Yayasan Sagang, yang kembali menjadi penerbit kumpulan puisi saya ini, saya menyampaikan terimakasih yang dalam, terutama kepada saudara Kazaini Ks, Ketuanya, yang  telah menyiapkan banyak hal pada saat-saat terakhir proses penerbitan ini.

Akhirnya, kumpulan ini saya didikasikan kepada Ayah dan Ibunda saya yang telah lama mendahului saya sebagai bahagian dari cara saya mengingat mereka, dan berdoa  agar apa-apa yang telah mereka lakukan, telah mereka berikan, mendapat balasan yang setimpal dari Allah yang Maha Pengasih. Didikasi yang penuh juga  untuk Isteri, anak, cucu, dan keluarga saya yang selama ini telah memberi ruang bagi saya untuk tetap bekerja dan bekarya. Spesial untuk si bungsu, Shanti Novita, yang ketika catatan ini selesai ditulis, merayakan hari ulang tahunnya yang ke-26.

Pekanbaru,  11 September 2008