Oleh : Rida K Liamsi

Kesultanan Melayu Riau, Bagian dari Sejarah Indonesia Atau Malaysia?

Tulisan Kamis, 11 November 2021
Kesultanan Melayu Riau, Bagian dari Sejarah Indonesia Atau Malaysia?
Rida K Liamsi

November 2021, adalah tarikh ingatan  bersejarah bagi Provinsi kepulauan Riau, karena 299  tahun lalu, atau November  1722, adalah tarikh berdirinya Kesultanan Melayu Riau , yang berpusat di Ulu  Riau, di hulu Sungai Carang . Dari kesultanan yang jatuh bangun selama 190 tahun inilah (1722-1912)  lahir bahasa Melayu. Dan bahasa Melayu itu kemudian menjadi teras bahasa Indonesia, bahasa kebangsaan Indonesia .

Pengakuan bahwa bahasa Melayu adalah  cikal bakal  bahasa Indonesia itu, bagi masyarakat Kepri sangat penting, karena pengakuan itu secara implisit berarti juga pengakuan tentang  adanya satu pusat kekuasaan yang telah memberi ruang dan kesempatan bahasa dan sastra Melayu itu tumbuh dan berkembang sehingga menjadi saatu warisan budaya yang tinggi nilainya. Itu juga berarti kesultanan Melayu Riau lah yang menjadi pusat kekuasaan dan pendorong pertumbuhan budaya besar itu , terutama bahasa Melayu tersebut. Hanya negeri yang  besar dan makmurlah yang dapat  mewariskan tamaddun yang besar.

Bagi masyarakat Melayu, di Riau dan Kepulauan  Riau dan bahkan di rantau Melayu ini, pengakuan itu sangat penting dan melibatkan emosi. Sebab bagaimanapun selama ini, sekalipun bahasa Melayu diakui telah memberikan sumbangan yang tidak ternilai harganya terhadap pengembangan kebudayaan nasional, namun induk yang  membesarkannya hampir tak mendapat tempat yang wajar. Kesultanan Riau nyaris dilupakan sejarah, sejarah Indonesia.

Contohnya tak begitu sulit untuk dicari, dan orang cukup melihat buku sejarah nasional Indonesia (Nugroho Notosusanto, Dkk, 1975) yang dianggap sebagai buku babon (standar) bagi penulisan sejarah Indonesia. Di situ peranan dan kedudukan Kerajaan Melayu Riau nyaris tak pernah disentuh dan disebut-sebut, bahkan tenggelam dalam kebesaran kekuasaan lain, seperti Aceh dan Siak atau Palembang. Padahal dari kesultanan ini, telah lahir  3 orang Pahlawan Nasional. Raja Haji Fisabilillah, Raja Ali Haji dan Sultan Mahmud Riayat Syah. Masih ada sejumlah tokoh sejarah lainnya yang juga pantas menjadi Pahlawan  Nasional, seperti Engku Puteri Raja Hamidah, Mahmud Muzaffar Syah,  Raja Ali Kelana dan lainnya.

Luputnya kerajaan Melayu Riau dari catatan sejarah Nasional itu, kemudian tentu saja menurun ke buku-buku pelajaran sekolah-sekolah yang bersumber dari buku babon tersebut. Di SMP atau SMA atau  yang sederajat misalnya, buku pelajaran sejarah Nasional tak sempat menyebut-nyebut Kerajaan Melayu itu. Apalagi buku pelajaran IPS di sekolah dasar, kecuali yang dipakai di Riau dan Kepri sebagai muatan lokal .

Mengapa hal demikian bisa terjadi? Apakah sejarah kebudayaan Melayu Riau yang jatuh bangun selama hampir 200 tahun itu bukan merupakan bagian sejarah nasional Indonesia, tetapi menjadi bagian sejarah Johor  atau Malaysia ? Atau ada faktor lain dan merupakan kelalaian para sejarawan dan penyuka sejarah di Indonesia, khususnya di Riau dan kepulauan  Riau ?

Itulah antara lain pertanyaan-pertanyaan menarik yang sudah bergaung sejak kama.
Bahkan  Totok Suprapto , Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya ( BPNB ) Tanjungpinang yang membawahi wilayah kerja Provinsi Kepri, Riau, Jambi dan Bangka Belitung pernah  menyatakan kerisauannya, ketika belum lama ini mengantar seminar tentang peran  Sungai Carang sebagai  salah satu  melting point jalur rempah nusantara. Risih katanya, karena sebuah kerajaan  besar yang jejak sejarahnya begitu cemerlang, dan sudah ada  3 Pahlawan Nasional yang berasal dari kerajaan itu , tapi jejak sejarahnya hanya ada satu alenia di dalam buku sejarah  nasional. Karena  itu, Totok dan tim kerjanya berusaha keras agar segera ada revisi buku sejarah  nasional  dan memberi tempat dan narasi yang layak tentang masa dan jejak Kesultanan Riau, meskipun diakui nya memang tidak mudah dan memerlukan kesabaran  dan strategi yang jitu untuk meujudkan nya.

Salah  satu langkah strstegis yang dilakukan pihak Kantor BPNB Tanjungpinang adalah dengan menulis secara parsial jejak sejarah kerajaan Melayu Riau itu dari sudut pandang Indonesia, dan menegaskan  bahwa Kesultanan  Melayu  Riau yang eksis sejak tahun 1722 sampai 1913 itu, adalah bahagian dari sejarah Nasional Indonesia. Ini misalnya dibuktikan keterliban mereka dalam penulisan buku Sejarah Natuna sebagai kawasan terdepan dan paling utara Indonesia. Meskipun  buku ini diterbitkan oleh Departemen Pendidikan  , Kebudayaan dan Riset melalui  Direktorat sejarah Ditjen Kebudayaan , tapi ada satu bab tentang sejarah Kesultanan Riau, yang ditulis oleh Dr Anastasia Wiwik Swastiwi , salah seorang peneliti senior di BPNB Tanjungpinang ( sekarang Dr Wiwik sudah pindah ke Umrah ) . Bab ini menunjukkan posisi  dan keberadaan  kesultanan  Melayu Riau sebagai bahagian dari sejarah nasional Indonesia Apalagi buku Sejarah Kawasan Natuna  sebagai gerbang utara Indonesia itu mendedahkan tentang asfek strategis  kawasan itu sebagai ujung tombak pertahanan Indonesia  dan bagaimana keberadaan kawasan ini ujud dan berkembang sejak zaman Sriwijaya , dan Mojopahit . Bahkan dalam buku ini penggunaan istilah  Kesultanan Melayu Riau dipakai secara konsisten dan bukan lagi Kerajaan Melayu Riau, apalagi sebutan Kerajaan Johor, Pahang, Riau dan Lingga, sebagai mana banyak digunakan buku buku teks sejarah.

Kesadaran tentang eksistensi Kesultanan  Meiayu Riau ( 1722-1912 ) sebagai bahagian dari sejarah nasional  Indonesia inilah yang kemudian menjadi kebijakan strategis pemerintah Daerah, terutama Pemda KeprI dalam berbagai program mereka untuk meluruskan jejak sejarah . Hal itu antara lain dengan rencana  penerbitan buku buku sejarah tentang Provinsi Kepulauan melalui program kerja Dinas Kebudayaan Kepulauan Riau, termasuk misalnya sejarah pulau Penyengat Inderasakti, pulau bersejarah, tetapi catatan dan jejak sejarahnya yang selalu dikutip dari dari berbagai media online , cendrung menyesatkan .

Sebenarnya, informasi kesejarahan tentang Kesultanan Riau itu, sudah cukup baik ditulis oleh Ahmad Dahlan Phd dalam bukunya “ Sejarah Melayu “ ( 2014), atau buku “ Sejarah Riau “ ( Mukhtar Lutfi dkk 1977 ), hanya saja tetap saja ada pihak pihak tertentu  yang terus menyeret nya untuk menjadikannya  sebagai bahagian dari Sejarah Johor atau sejarah Malaysia. Bahkan baru baru ini ada klaim bahwa Natuna  itu adalah wilayah  dan milik Malaysia.
 
Sekitar tahun 2016, pernah berlangsung sebuah seminar tentang kebudayaan Melayu  di Pekanbaru. Sayang selama seminar empat hari itu, pertanyaan pertanyaan krusial tersebut hampir tak terjawab. Meskipun hal tersebut bisa dimaklumi, terutama karena seminar itu bukanlah seminar tentang sejarah, tetapi tentang budaya yang merangkum  berbagai hal secara umum. Sehingga, sekalipun dalam kelompok seminar tersebut ada juga kertas kerja tentang sejarah, tetapi permasalahan yang dibicarakan sangat beragam dan tidak merupakan suatu  pembicaraan khusus tentang sejarah politik dan kekuasaan kerajaan-kerajaan yang pernah ada dan memainkan peranannya di kawasan ini. Apalagi cakupan Melayu dalam pengertian seminar tersebut, bukanlah semata-mata terpusat pada Riau dan Kepulauan Riau, tetapi sedaya upaya ingin merangkum semua kawasan di Indonesia yang merupakan pendukung dari kebudayaan ini. Melayu diaspora.

Dari sebelas makalah tentang aspek sejarah yang diperbincangkan, hanya empat makalah yang secara langsung menyinggung tentang sejarah politik dan kekuasaan kerajaan Melayu di semenanjung, terutama berkaitan dengan Kesultanan Melayu Riau. Salah satu yang cukup mengelitik adalah makalah Dr Onghokham ( UI-Jakarta) yang berjudul “Pemikiran Tentang Sejarah Riau”, sebuah makalah yang tebalnya sembilan halaman yang coba membahas tentang eksistensi kesultanan Melayu Riau.

Dr Onghokham, seperti kebanyakan sejarahwan dari luar Riau, memang masih belum bersedia untuk menegaskan  mana yang dimaksud dengan kesultanan Riau itu. Akibatnya selain acuan ruang dan waktu menjadi sering tidak jelas, juga pengistilahan yang persis tentang kesultanan Riau itu pun sering berganti-ganti. Kadang-kadang dipakai istilah Kesultanan Riau, kadang-kadang kerajaan Bintan.

Kekaburan itu, sama juga dengan penegasan ahli sejarah itu tentang jejak paling jelas dari kesultanan Riau yang dikatakan eksis abad ke-15, berarti adalah bahagian dari sejarah Melaka, karena eksistensi kesultanan Riau itu  bersamaan dengan masa keemasan kerajaan Melayu Malaka (1400-1528). Padahal , dalam berbagai penulisan sejarah, terutama oleh sejarawan Riau termasuk Kepri , pengertian dan nama Riau itu sendiri baru ada sekitar tahun 1673  , ketika Sultan Johor Ibrahim Syah ( 1675 -1685) memindahkan ibukota kerajaannya dari Batu Sawar (Johor) ke Ulu  Riau, di hulu Sungai Carang.

Bagi kalangan sejarawan di Riau dan Kepri sekarang ini, Kesultanan Riau baru terwujud tahun 1722, ketika Tengku Sulaiman putera mantan Sultan  Johor, Abdul Jalil Riayat Syah ( 1699-1719 )  , dilantik sebagai Sultan. Tengku Sulaiman  bersaudara dengan bantuan Upu Upu Bugis Lima Bersaudara ( Daeng Perani bersaudara ), berhasil menyingkirkan Raja Kecik, Sultan Johor ketika itu , ke Siak. Dan Tengku Sulaiman mendirikan kerajaan baru di Ulu Riau, yaitu kerajaan melayu Riau.

Dalam konteks pengertian penerus kerajaan  Johor ( Pahang dan Terengganu ) yang  runtuh tahun 1719, maka kerajaan  Siak Sri Inderapura  yang didirikan Raja Kecik tahun 1721 di Sungai Siak itulah yang patut  disebut sebagai penerus Johor, bukan kerajaan Riau. Karena  Raja Kecik , bukan saja wilayah kekuasaan yang dikuasainya adalah bekas kerajaan Johor ( meskipun hanya sebahagian karena sebahagian lainnya , berdasar perjanjian damai mereka telah diserahkan  kepada  Tengku Sulaiman  ), Raja Kecik tetap memakai gelar Sultan Abdul Jalil  Rahmat Syah, gelar yang disandangnya setelah merampas tahta  Sultan Johor dari tangan Sultan  Abdul Jalil   Riayat Syah. Sedangkan Tengku Sulaiman  menggunakan gelar Badrul Alam Syah dan gelar itu belum pernah  dipakai di masa kerajaan  Johor.

Bahwa dalam perkembangan   kemudian kesultanan  Riau yang berpusat di Ulu Riau ( Bintan ) itu disebut sebagai Kerajaann Johor  , Pahang, Riau dan Terengganu dalam berbagai dokumen  dan perjanjian  politik, tapi itu karena maunya Belanda yang sudah bertapak di  Melaka sejak tahun 1641, yang  ingin memasukkan Riau sebagai bahagian  dari  percaturan politik mereka di kawasan semenanjung, dan menjadi  tanggung jawab Gubernur Belanda di Melaka. Sedangkan Siak. dimasukkan dalam urusan dan peta politik Batavia sebagai pengendali, meskpun secara kekuasaan Siak menjadi negeri merdeka dan Suak berada di mukut selat Melaka .

Anggapan bahwa Kesultanan Riau yang  bukan bahagian dan penerus Johor itu , bukan hanya  karena gelar Sultannya tidak meneruskan tradisi  Johor , tetapi juga karena struktur pemerintahannya sangat berbeda. Dengan adanya jabatan  Yang Dipertuan  Besar untuk Sultan dan Yang Dipertuan Muda untuk Wakil Sultan, jelas bahwa itu bukan teadisi atau penerus Johor. Sebuah tradisi  baru , tradisi Melayu  Bugis. Berbeda dengan kerajaan  Siak, dimana Raja Kecik atau Abdul  Jalil Rahmat Syah, tetap mengekalkan tradisi Johor. Menggunakan sebutan Sultan untuk rajanya, dan Raja Muda untuk wakil Sultan. Meskipun kemudian pada perkembang sesudahnya di Siak ada pengaruh dan tradisi Minangkabau.

Belanda , melalui tangan Gubernur Melaka dengan segala  cara  tetap mengaitkan dan menasukkan Kesultanan  Riau itu dalam  peta pengaruh politik mereka. Apalagi setelah perang Riau ( 1782-1784 ), dimana Kesultanan Riau kalah dan menjadi negeri taklukan Belanda ( VOC ). Itulah mengapa  Kesultanan  Riau ini dalam sistim administrasi  dan dokumen politik selalu disebut sebagai  Kerajaan Johor, Riau dan Pahang ( Terengganu menjadi kerajaan sendiri sejak 1724.) Meskipun pusat pemerintahan kesultanan ini ada di Riau, dan  tidak pernah lagi pindah ke Johor. Karena itu dalam penulusan  buku sejarah di Riau dan Kepulauan Riau , kesultanan ini  sejak tahun  1724, disebut sebagai  Kerajaan ( Kesultanan  ) Riau, Lingga , Johor dan Pahang. Meskipun tahun 1787 ibukota penerintahannya pindah ke Lingga, tetapi karena Yang Dipertuan Muda nya tetap ada di Riau ( Ulu Riau, Pulau Bayan, Penyengat  ) kerajaannya tetap disebut sebagai kerajaan  Riau, Lingga, Johor  dan Pahang. Baru tahun  1819, karena Singapura  dan Johor memisahkan diri dan berdiri sendiri, kerajaan  ini disebut Kerajaan Riau, Lingga dan  Pahang. Tahun 1889, ketika Pahang menjadi kerajaan  sendiri, maka kerajaan ini disebut kesultanan  Riau Lingga, meskipun sejak  1900 ibukotanya  pindah ke Penyengat . Belanda baru mengubah  semua administrasi dan dokumen politiknya dan menyebut kerajaan  ini sebagai  kerjasn Riau Lingga, sejak tahun 1824 karena ada traktat  London, dan Belanda angkat kaki dari semenanjung Melaka.

Artinya, Belandalah yang dengan segala cara tidak mau kerajaan ini disebut sebagai keksuktanab Riau, Lingga , Johor dan Pahang, karena tak ingin pengaruh dan kuasa  Gubernur Melaka diambil alih Batavia. Dan ketika  Belanda  angkat kaki, catatan sejarah dan eksistensi kesultanan Riau ini tetap diakui dan dimasukkan dalam jejak sejarah Malaysua.

Sikap demikian ini dilakukan secara sadar oleh sementara sejarawan di  Malaysia . Misalnya dalam penulisan nama  Sultan nya, mereka memasukkan  semua nama Sultan yang  namanya Mahmud secara berseri.  Misalnya  Mamud Syah I atau Mahmud Melaka ( 1477-1526 ), Mahmud Syah  II atau Mahmud  Johor atau mangkat di julang ( 1685-1699 ), Mahmud Syah III atau Mahmud Riau atau Mahnud Riayat  Syah  ( 1761-1812 ) dan Mahmud Syah IV atau Mahmud Lingga atau  Manuh Muzaffar  Syah ( 1843-1857 ), padahal Mahmud Riayat Syah dan Mahmud Muzaffar Syah itu adalah Sultan di Riau. Dan mereka tidak pula mau menyebut Mahmud Siak atau Tengku Buang Asmara sebagai Mahmud  V , karena Mahnud yang satu ini berkuasa di kerajaan Siak dan berdarah Melaka dan Siak adalah oenerus Johor.

Kesadaran kesejarahan yang demikian yang ingin meluruskan pemahaman tentang jejak sejarah yang pernah ada di kawasan Kepulauan Riau , terutama bahwa jejak Kesultanan Risu sejak Nivember 1722 itu menjadi bahagian dari sejarah nasional Indonesia, sudah waktunya lah diperjuangkan  secara maksimal . Dan sudah waktunya, traktat London  tahun 1824 tidak dijadikan dasar pemisah  antara sejarah  kawasan semenanjung ( Malaysia sekarang ) dengan Riau dan Kepulauan Riau. Tak ada airmata 1824. Yang  ada adalah tragedi 1819, saat Tengku Long ( Tengku Husin ) merajakan  dirinya sebagai Sultan Singapura dan Johor meskipun dengan bantuan tangan Inggeris, dan .wilayah kesultanan Riau dibagi dua . Tahun  1885, bermula era Johor yang baru sebagai kerajaan baru setelah Singapura ditelan habis oleh Inggeris. Kerajaan Johor yang baru staubdisebut juga Joho moderen yang baru itu  yang bermula tahun 1885 kemudian menjadi emberio dari era Malaysia yang eksis sejak tahun 1968.

Wilayah Kepulauan Riau  sekarang ini, yang sejak tahun 2003 menjadi provinsi sendiri,   mewarisi secara admintratif sebahagian wilayah eks kesultanan  Riau itu, jelas jejak sejarahnya adalah bahagian dari sejarah nasional Indonesia. Dan berdasarkan berbagai catatan yang ada, ternyata jejaknya cukup panjang, dan tidak hanya bermula dari tahun  1722. Dapat dikatakan dimulai dari era kerajaan  melayu Bentan yang sudah eksis  sejak 1260, sebagai mandala Sriwijaya. Kemudian tahun 1299, pecah dua dengan berdirinya kerajaan  Singapura.

Tahun 1444, kerajaan Bentan direbut Kerajaan Melaka dan kemudian hanya dijadikan negeri pegangan Bendahara. Tahun 1513  Bentan menjadi pusat pemerintahan sementara  Kerajaan  Melaka karena tahun 1511 Melaka direbut Portugis dan Sultan Melaka , Mahmud Syah menyingkir ke Bentan , sampai tahun 1526, sebelum Bentan direbut Portugis dan Mahmud  menyingkir lagi ke  Pekantua di Kampar, dan Bentan kembali menjadi daerah pegangan Melaka.

Tahun 1528, ketika berdiri kerajaan Johor , Bintan menjadi daerah pegangan  Temenggung Johor. Tahun 1673 Sultan Johor Abdul Jalil Syah III, mememerintahkab  laksamana Tun Abdul Jamil Paduka Raja , untuk membangun ibukota Johor yang baru karena ibukota Johor di Batu Sawar dihancurkan Jambi. Tahun 1675,Sultan Johor Ibrahim Syah pindah ke Pangkalan  Rama atau Ulu Riau dan nenjadikan nya  ibukota  kerajaan.Tahun 1688 pindah kembali ke Kota Tinggi di Johor.

Tahun 1709 Ulu Riau pernah  jadi ibukota sementara Johor ketika Sultannya  Abdul Jalil Riayat Syah memindahkan ibukotanya ke Ulu Riau  karena menghindar dari pemberontakan lawan politiknya, yang menolaknya sebagai Sultan karena dianggap tidak berdarah Melaka. Tahun tahun 1714 pindah kembali ke Johor.  

Tahun 1719 sultan Johor Abdul Jalil
Rahmat Syah ( Raja Kecik ) kembali menjadikan  Ulu Riau  sebagai ibukota kerajaannya . Tapi tahun 1721, Raja Kecik disingkirkan okeh Tengku Sulaiman anak Abdul Jalil Riayat Syah dengan bantuan orang  Bugis. Tahun 1722, Tengku Sulaiman mendirikan kerajaan Riau.

Tahun 1787 ibukota kerajaan Riau pindah ke Daik Lingga sampai tahun  1900. Kemudian ibukota Riau pindah ke pulau Penyengat Inderasakti sampai tahun 1913, ketika kesultanan Riau ini dibubarkan Belanda. Dan eks kesultanan Riau ini okeh Belanda dijadikan bahagian dari  Keresiden Riau dengan ibukotanya di Tanjungpinang.

Masih ada satu jejak sejarah penting, dimana Kepulauan Riau menjadi pusat pemerintahan  sementara kerajaan Johor. Tahun 1618 , Sultan Johor Abdullah Muayat Syah memindahkan ibukotanya  dari Johor  ke Lingga karena menghindar dari serangan  Kerajaan Aceh . Tahun 1623 Abdullah Muayat Syah menyingkir dan pindah ke pulau  Tambelan di
Laut  Cina Selatan ( Laut Natuna Utara sekarang )  dan wafat di pulau ini tahun 1626.

Tahun 1640  Sultan Abdul Jalil Syah III pengganti Abdullah Muayat Syah dengan dujungan Belanda mengirimkan angkatan perangnya dipimpin Laksamana Paduka Raja Tun Abdul Jamil dari Tembelan menyerang dan merebut Melaka dari tangan Portugis. Ibukota Johor kemudian kembali ke Batu Sawar, di Johor sebelum diserang Jambi, dan tahun 1675 ibukota Johor pindah kembali Sungai Carang .

Demikianlah siklusnya. Artinya kedudukan dan peran strategis Kepulauan Riau  dalam bentangan sejarah Indonesia memang cukup penting dan panjang. Tidak pantaskah jejak sejarah ini menjadi bahagian dari sejarah  nasional Indonesia dan tidak ditulis hanya  satu alenia ? Itulah tantangannya.

November  2021