RIAUPOS.CO - Menjadikan Indonesia sebagai salah satu poros maritim dunia, adalah keputusan yang visioner dan strategis, meskipun memerlukan waktu yang panjang, investasi yang besar dan konsistensi kebijakan pembangunan nasional.
Keputusan ini juga harus mengubah paradigma berpikir kita dari Indonesia sebagai negara agraris, menjadi Indonesia sebagai negara maritim.Kebijakan ini juga harus mengubah pendekatan pembangunan nasional kita dari populis sentris ke potensi wilayah sentris. Karena itu, perlu kebijakan pembangunan nasional jangka panjang, minimal 25 tahun, agar tidak ganti pemerintahan berganti pula kebijakan. Visi menjadikan Indonesia sebagai negara maritim ini harus dimasukkan ke dalam RPJP (rencana pembangunan jangka panjang), kalau dulu disebut ”GBHN” (garis-garis besar haluan negara) yang diputuskan oleh MPR-RI.
Indonesia sudah sangat terlambat menyadari kompetensi kemaritimannya, dan sudah 70 tahun merdeka, kemaritiman masih menjadi isu-isu parsial, dan hanya melintas dari satu seminar ke seminar lainnya, tapi belum diimplementasikan dalam kebijakan pembangunan nasional secara total. Syukurlah Presiden Jokowi mencanangkan strategi besar ini di awal pemerintahannya. Tapi perlu jalan pintas untuk mempercepat terwujudnya mimpi besar menjadi poros maritim dunia itu.
Perlu kebijakan dan keputusan yang sungguh-sungguh untuk menjadikan semua infrastruktur kemaritiman yang sudah wujud selama 70 tahun ini, sebagai modal dasar untuk membangun Indonesia sebagai negara maritim.
Perlu lompatan dan kebijakan-kebijakan jangka pendek, perlu percontohan proyek, perlu ditetapkan poros-poros maritim di Indonesia dengan menunjuk daerah-daerah maritim yang infrastruktur kemaritimannya sudah memadai, terutama infrastruktur keekonomiannya. Perlu kemauan politik yang kuat dengan mengutamakan masa depan Indonesia yang lebih baik melalui potensi kemaritimannya.
Provinsi Kepulauan Riau harus menjadi salah satu poros maritim Indonesia, karena: Pertama, Kepulauan Riau sudah diberi anugerah potensi kelautan yang melimpah ruah. Bukan hanya potensi perikanan ratusan juta ton yang bisa ditangkap, biota laut yang kaya, juga kekayaan tambang gas dan minyak yang besar.
Kalau dalam konteks ekonomi kemaritiman, pertahanan dan ketahanan wilayah, adalah sektor yang sangat strategis dan niscaya, maka potensi kelautan dan pertambangan itu memerlukan benteng pertahanan dan keamanan, dan itu adalah benteng masuk ke Indonesia karena Kepri adalah kawasan perbatasan terdepan dengan luas perairan dan garis pantai yang luar biasa panjangnya.
Kedua, Kepulauan Riau punya Batam, sebuah kawasan ekonomi yang sudah berkembang pesat, sudah menyerap triliunan dana pembangunan nasional, memiliki keistimewaan sebagai kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas atau free trade zone (FTZ).
Serta memiliki infrastruktur ekonomi kemaritiman yang memadai. Batam sudah dianggap Singapura-nya Indonesia. Hongkong-nya Indonesia. Sebuah pelabuhan bebas yang sudah berkembang. Punya pelabuhan laut yang cukup. Punya industri kemaritiman yang terbesar di Indonesia, seperti lebih 100 industri galangan kapal. Punya industri lepas pantai dan sudah memproduksi ratusan buah rig lepas pantai yang kini bertaburan di laut Cina Selatan. Lembaga keuangan dan dunia usaha yang sudah sangat maju, dan lain-lain. Ini kelebihan Batam dibanding pusat-pusat pertumbuhan ekonomi maritim lainnya di Indonesia.
Ketiga, Kepulauan Riau, meskipun dengan kemampuan dana pembangunan terbatas dan kebijakan kemaritiman yang belum konsisten dan masih parsial, sudah menciptakan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi berbasis maritim.
Paling tidak ada tujuh daerah pertumbuhan ekonominya yang berbasis maritim, dan itu ada di kabupatennya, daerah-daerah kepulauan yang dalam masa reformasi dan era otonomi ini, tumbuh dan berkembang cukup pesat dengan memanfaatkan potensi kemaritimannya.
Pertama, Tanjungpinang sebagai Ibu Kota Provinsi Kepri. Lalu Batam, pusat ekonomi/FTZ, lalu ketiga Bintan, keempat Karimun, kelima Lingga, keenam Anambas, dan ketujuh Natuna.
Dengan kemampuan anggaran yang terbatas, apa yang dianggap sebagai tol laut itu, sebagian telah terwujud. Dan menjadi modal awal yang sangat berarti. Kapal-kapal roro misalnya yang menjadi jantung tol laut itu, secara kontiniu sudah membangun jalan laut yang menghubungkan Tanjungpinang, ibu kota provinsi, dengan Karimun, dan dari Karimun roro itu kemudian menyeberang ke daratan Sumatera melalui Pelabuhan Tanjung Buton di Kabupaten Siak, Provinsi Riau.
Dari Tanjung Buton ini, akses ke seluruh Sumatera terbuka. Bahkan ke Jawa dan Bali. Ini bisa dianggap sebagai tol laut lintas Sumatera. Kapal roro juga secara tetap telah menghubungkan Tanjungpinang dengan Kota Jagoh di Pulau Singkep di Kabupaten Lingga. Satu tahapan lagi, kapal roro dari Singkep bisa menyeberang ke Pulau Bangka dan Belitung. Dari sini kemudian menyeberang ke Tanjungpriok Jakarta. Maka akses ke Jawa pun terbuka. Ini bisa dianggap tol laut lintas Jawa.
Kapal-kapal roro yang berbasis di Batam, sekarang juga sudah menyeberang ke Bintan melalui Pelabuhan Tanjung Uban. Rute ini akan terkoneksi melalui jalan darat ke Kota Kijang. Dari Kijang, selangkah lagi akan bisa menyeberang ke Pulau Tambelan. Dari pulau ini, kapal roro akan bisa terus ke Kota Sintete di Kalimantan Barat. Tol laut ini menjadi jalur lintas Kalimantan. Selama ini rute tersebut dilayari oleh kapal perintis. Dari rute tol laut jalur ini, maka akses ke Malaysia melalui Serawak sudah terbuka dan menjadi mata rantai ke Entekong. Kapal-kapal roro yang berpangkalan di Batam, juga dapat digerakkan untuk melayari kawasan Siantan dan Natuna, dua kabupaten yang posisinya di utara Kepri. Rute ini selama ini dilayari oleh 4 kapal perintis yang berpangkalan di Kijang dan Tanjungpinang. Hanya faktor cuaca dan musim sajalah yang mungkin akan jadi penghambat tol laut Natuna ini akan berfungsi maksimal. Tapi bagaimanapun, jalur-jalur lintasan kapal roro berporos di Kepri, dapat menjadi pilihan Indonesia memulai pembangunan kawasan maritimnya.
Dengan satu perencanaan yang lebih terarah dan dukungan dana pembangunan yang lebih memadai, bisa dibangun tol laut yang menghubungkan Kepri sebagai poros maritim Indonesia ini dengan Singapura, dengan daratan Sumatera, dengan daratan Kalimantan, dan tentu saja dengan semua kabupaten yang ada di Kepulauan Riau.
Tol laut lintas Sumatera, tol laut lintas Kalimantan, tol laut lintas Jawa, dan tol laut lintas Asean melalui Singapura, yang bersumbu di Batam, Kepulauan Riau bukan mustahil segera terwujud sebagai bagian dari visi Indonesia untuk menjadi poros maritim dunia. Keberadaan Batam sebagai salah satu pusat perkembangan ekonomi Indonesia yang selama ini cenderung diabaikan, harus dimanfaatkan secara maksimal. Baik sebagai pelabuhan bebas, maupun sebagai kawasan yang sudah memiliki infrastruktur ekonomi yang memadai.
Di bidang pariwisata misalnya, kecuali Jakarta dan Bali, maka Batam adalah tujuan wisata utama Indonesia. Batam sebagai pelabuhan transhipment sudah sangat berperan penting dan mengambil alih sebahagian peran Singapura dan Jakarta.
Dalam konteks menjadikan Kepri sebagai salah satu poros maritim Indonesia, maka Batam harus jadi pusat pengembangan dan pengendalian ekonomi kemaritimam Kepulauan Riau dan kawasan sekitarnya.
Batam harus berperan sebagai bandar tempat semua kekuatan dan keperluan ekonomi kemaritiman kawasan ini bermula, tersedia, dan dikembangkan. Jika puluhan tahun lalu Singapura dan Hongkong menjadi kiblat ekonomi dan kemaritiman Indonesia, maka peran itu harus segera diambil alih.
Tol laut Indonesia harus bermula dari Batam, khususnya di kawasan barat ini. Dari Batam lah semua armada transportasi, perdagangan, dan lintas laut digerakkan, dan menjadi sebuah mata rantai hubungan yang bersinergi dengan kawasan lain.
Pikiran tentang Jembatan Selat Malaka (Dumai-Malaka), sebagai gagasan Asean highway, bisa saja dilupakan untuk sementara waktu, karena jalan masuk dari Indonesia semenanjung Asean, tidak harus lewat jembatan yang sangat mahal investasinya, tetapi bisa melalui armada roro. Pintu masuk Sumatera ke daratan semenanjung, bisa bermula dari Tanjung Buton, di Siak (Riau) di daratan Sumatera, menuju Batam dan dari Batam menuju Singapura, dan seterusnya bisa sampai ke daratan Asia lainnya. Atau dari Kalimantan, bisa bermula dari Sentete (Kalimantan Barat), melalui tol laut ke Tambelan (Natuna), lalu ke Batam, dan dari sini masuk ke Singapura.
Tol laut berbasis roro ini akan menjadi kekuatan jaringan ekonomi maritim Indonesia untuk membuka pintu bagi masuk dan keluarnya potensi ekonomi Indonesia.
Batam sesungguhnya adalah titik pusat ekonomi maritim Indonesia. Batam adalah poros ekonomi maritim Indonesia di kawasan barat. Batam telah menjadi pusat industri maritim moderen dan telah ikut menggerakkan semua wilayah kemaritiman di Indonesia, meskipun belum maksimal. Batam telah menjadi Singapura-nya Indonesia, telah menjadi Hongkong-nya Indonesia, yang benar-benar setara dan telah diberi keistimewaan untuk berkembang dan bukan sekadar keputusan sebagai perdagangan dan pelabuhan bebas (FTZ) yang setengah hati.
Di sektor wisata, misalnya, Batam dengan seluruh kawasan sekitarnya dapat menjadi pelopor wisata maritim (bahari) yang berbasis 3c (culture, coast and cullinery) menggantikan wisata Batam yang selama ini berbasiskan 3s (sex, shopping and Singapore). Batam dengan segala keunggulanya sekarang, tidak boleh lagi dipandang dengan sebelah mata. Harus jadi kekuatan yang menggerakkan.
Membangun potensi ekonomi baru, termasuk ekonomi maritim, baik perikanan, pelayaran, perdagangan, maupun industri, memang memerlukan keterlibatan dan campur tangan pemerintah. Bukan hanya dana pembangunan infrastruktur, tetapi juga investasi dunia usaha. Tidak mudah mengajak investor untuk membangun pusat perikanan dan dan industri kelautan, wisata, dan lainnya di Natuna, di Tarempa, atau di Lingga dan lainnya. Bahkan di Batam sendiri, karena masih penuh tantangan. Maka pemerintah Kepulauan Riau, perlu memiliki sebuah BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) yang kuat, dan memadai dari aspek permodalan dan lainnya untuk menjadi kekuatan penggerak pasar.
Indonesia sudah membuktikan lebih 40 persen PDB-nya disumbangkan oleh BUMN-BUMN-nya. Indonesia menjadi negara yang tidak mudah terjun ke dalam krisis karena peran BUMN-nya yang menjadi pilar ekonomi Indonesia.Latar belakang ini dapat dipakai sebagai dasar pembentukan BUMD yang kuat dan moderen di kawasan poros maritim Indonesia, di mana pemerintah daerah mengambil peran penting. Dengan BUMD ini, pemerintah daerah menjamin bahwa ekonomi kerakyatan akan tetap diberi tempat dan kesempatan berkembang di era poros ekonomi maritim ini. Kegagalan BUMN perikanan karya mina beberapa puluh tahun lalu di Kepulauan Riau, harus jadi bahan pelajaran berharga, agar ke depan BUMD yang didirikan tidak lagi mengulangi kesalahan yang sama.
Membangun kawasan ekonomi baru juga memerlukan sikap pionir, karena itu juga memerlukan proteksi agar sang pionir dan investasi yang ditanam, bisa dijamin dan terlindung, dan bisa kembali dan memberi keuntungan. Jika kebijakan me-too diberi peluang dan tidak selektif, maka semangat menjadikan Kepri sebagai poros maritim Indonesia akan pudar dan dilupakan oleh dunia usaha. Perlu kebijakan ”benteng” dalam mengembangkan kawasan ekonomi maritim Indonesia ini.
Jangan bersedih karena 70 tahun waktu terbuang, dan kita masih berkelahi dengan kapal ikan nelayan asing. Tak ada kata terlambat, jika kita masih punya mimpi.
Menjadikan Kepulauan Riau sebagai salah satu poros maritim Indonesia, memerlukan komitmen semua pihak. Perlu kemauan politik, dan kesadaran visioner, terutama dari pemerintah pusat dan para perencana pembangunan. Kepulauan Riau, 90 persen wilayahnya adalah laut. Dengan jumlah penduduk belum sampai 5 juta.
Jika pendekatan dana pembangunan daerah yang dialokasikan pusat berbasis pada jumlah penduduk, dan daratan yang dianggap wilayah utama, maka visi menjadikan Kepri sebagai salah satu poros maritim Indonesia, akan sangat sulit terwujud, dan memerlukan waktu yang lama. Maka pendekatan itu harus diubah. Pendekatannya haruslah mengacu pada luas wilayah dan potensi pembangunannya. Laut dengan semua kekayaannya, harus menjadi dasar perhitungan dan ratio pengalokasian dana pembangunan di daerah.
Kontribusi pendapatan Kepri dari hasil migas yang disumbangkan sebagai pendapatan nasional, haruslah diberi kompensasi yang memadai untuk menjadi modal bagi membangun instruktur dasar kemaritimannya.
Kepri memerlukan pelabuhan, listrik, armada perlayaran (roro, dan lain-lain), kapal-kapal perintis, bandara, kapal-kapal penangkap ikan yang sama besar dan canggihnya dengan kapal ikan nelayan asing dan tentu saja angkatan laut yang kuat dan berpangkalan di Kepri.
Di tujuh pusat pertumbuhan ekonomi kepri itu, harus ada pusat armada penangkapan ikan. Harus ada pabrik dan cold storage. Di Batam sebagai pusat kekuatan ekonominya, harus ada pabrik pengalengan ikan, dan industri berbasis kemaritiman lainnya. Pendekatan baru dan kebijakan khusus lainnya yang menjamin visi ini terwujud secara cepat, perlu diciptakan. Tidak perlu membentuk otorita baru, tetapi cukup memperluas wewenang dan hak untuk membuat keputusan kepada daerah, agar daerah ini bisa lebih cepat bersaing dan memiliki keunggulan ekonomi kewilayahannya.
Bagi Kepulauan Riau, inilah momentumnya untuk membangkitkan kembali kekuatan ekonomi dan kejayaan Bunda Tanah Melayu ini. Selamat berjuang.***
Tulisan ini disampaikan pada seminar ”The First International Conference On Maritime Development”, di Tanjungpinang pada 5 September 2015.