Kamis, 12 September 2024
GAGASAN kemaritiman menjadi salah satu tema yang sering diangkat oleh penyair. Kuatnya semangat menghadapi kehidupan pada masyarakat maritim telah menginspirasi penyair untuk menulis gagasan tentang kemaritiman. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis gagasan kemaritiman yang terkandung dalam dua puisi karya Rida K Liamsi, yakni Laut dan Tempuling.
Indonesia yang memiliki potensi maritim yang besar. Potensi ini telah menghasilkan banyak puisi yang berkaitan dengan maritim. Salah seorang penyair Indonesia yang mengangkat semangat maritim dalam puisinya adalah Rida K Liamsi. Ia seorang penyair yang lahir dan hidup dalam ekosistem laut, yakni Kepulauan Riau. UU Hamidy (2010:15) mengakui bahwa Rida K Liamsi adalah “seorang budak Melayu yang dulu pada tahun 1940-an bermain-main mencari remis dengan temannya di bibir pantai Kepulauan Riau”. Tetapi menariknya, Rida K Liamsi tidak hanya seorang penyair tetapi ia juga seorang pengusaha sukses yang memiliki banyak perusahaan. Keberhasilan Rida K Liamsi dalam bidang kesusastraan tampaknya berbanding lurus dengan keberhasilannya dalam bidang bisnis. Semangat maritim dalam puisi-puisinya berkaitan dengan semangatnya untuk terus berkreasi dalam bidang bisnis.
Masyarakat Melayu yang menjadi latar belakang penciptaan puisi-puisi Rida K Liamsi memiliki kharakteristik yang khas. Kehidupan laut yang keras membangkitkan semangat perjuangan yang kuat pula dalam menghadapi kehidupan. Kusnedi (2010) menyatakan di antara ciri masyarakat pesisir atau kepulauan di Indonesia adalah tingginya etos kerja untuk memenuhi kebutuhan hidup, kompetitif, dan mengandalkan kemampuan diri untuk mencapai keberhasilan. Semangat etos kerja ini nampaknya tergambar dalam beberapa puisi yang ditulis oleh Rida K Liamsi. Kuat semangat Melayu dipertegas lagi oleh pernyataan bahwa kejayaan masyarakat Melayu ditentukan oleh ketekunan, kesungguhan dan kerja keras (Effendy, 2010: 148).
Gagasan-gagasan yang terdapat dalam puisi Rida K Liamsi dapat membangkitkan semangat kita untuk terus berjuang dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan. Berikut disampaikan hasil pembacaan secara mendalam terhadap keempat puisi karya Rida K Liamsi.
Puisi “Laut”
Kehidupan orang Melayu di wilayah kepulauan tidak bisa dipisahkan dengan laut sebab pulau-pulau tempat mereka tinggal dikelilingi laut. Laut adalah kehidupan mereka. Puisi “Laut” menegaskan bahwa kehidupan orang Melayu sangat berkaitan dengan laut. Sajak ini dibuka dengan gambaran aku lirik yang sedang berdiri di tebing laut dengan membawa sebatang tempuling: seperti mereka sediakala//akupun berdiri di tebingmu//dengan sebatang tempuling. Bait ini memberikan gambaran bahwa sudah sejak sekian lama laut menjadi bagian penting dari kehidupan orang Melayu. Bahkan dari perspektif sejarah orang Melayu di Kepulauan dikenal sebagai suku Laut (Dahlan, 2014: 32). Tempuling adalah sejenis tombak yang digunakan orang Melayu untuk menangkap ikan. Dalam puisi ini, tempuling menjadi lambang ketangguhan orang Melayu dalam menghadapi kehidupan di laut. Tempuling digunakan sebagai alat untuk mengandu nasib di laut. Kalah dan menang dalam pertarungan di laut ditentukan oleh kemahiran menggunakan tempuling.
Keberanian orang Melayu dalam menghadapi laut digambarkan dengan kemahiran orang Melayu menggunakan tempuling: Tikam!//Maka ku tikam jejak riakmu//yang ku tahu tak siapapun tahu//dimana tubirmu. Bait dari puisi ini menggambarkan laut dan orang Melayu hidup berdampingan dalam suasana indah dan lembut. Tetatapi pada bait kedua, suasana lembut berubah menjadi keras ketika tempuling digambarkan berfungsi untuk menikam ikan. Penggambaran tempuling yang digunakan untuk menikam ikan memberikan citra betapa kerasnya kehidupan orang Melayu yang setiap hari bertarung di laut. Laut yang luas seperti tak bertepian adalah tantangan bagi orang Melayu dalam menjalani kehidupan.
Suasana pertarungan antara orang Melayu dengan laut semakin terasa keras ketika tempuling yang telah tertancap disentak dengan keras: Sentak!// Maka ku sentak tancap harapku//Yang ku tahu tak siapaun tahu/Dimana palungmu. Tempuling yang telah ditancam tadi kemudian disentak atau ditarik kembali. Ini menggambarkan kerasnya perjuangan orang Melayu untuk mendapatkan ikan di laut. Sentakan ini merupakan sebuah harapan bagi orang dalam kehidupannya. Kerasnya kehidupan di laut tidak membuat orang Melayu takut atau berputus asa untuk menghadapi laut. Orang Melayu memiliki keberanian yang tinggi dalam menghadapi laut. Orang Melayu pantang menyerah dalam menghadapi keras kehidupan di laut. Nenek moyang orang Melayu sejak dahulu terbiasa melawan ganasnya laut dan tampaknya keberanian ini telah diwariskan kepada orang Melayu saat ini: Seperti mereka sediakala// akupun tak pernah menyerah//pada keluasan//pada kebiruan//pada untung nasib//yang hanyut dari teluk ke teluk//yang terumbang ambing di pundak//ombakmu.
Orang Melayu percaya bahwa perjuangan untuk mendapatkan rezeki di laut memerlukan semangat yang kuat dan pantang menyerah sebab tantangan yang besar di laut tidak selalu memberikan keberuntungan kepada manusia. Luasnya laut dan cuaca yang ekstrem tidak menjadi hambatan dalam mengarungi laut. Semangat untuk terus berjuang dan tidak mudah menyerah kepada untung dan nasib dijadikan asas dalam menghadapi kehidupan. Sehingga perjuangan untuk mendapatkan ikan di laut terus dilakukan meskipun ombak besar terus menghadang.
Suasana pertarungan untuk mendapatkan ikan di laut digambarkan lagi dengan penggunaam kata “tikam’ dan “sentak” secara berulang-ulang dan dikuatkan lagi dengan penggunaan tanda seru empat kali dalam puisi ini: Seperti mereka sediakala// Akupun senantiasa//Tikam!// Sentak!//Tikam!//Sentak!//Tikaaaaammm!//Sentaaaakkk:
Tindakan menikam dan menyentak tempuling dengan sekuat tenaga semakin menegaskan bahwa diperlukan energi atau semangat tarung yang kuat untuk hidup di wilayah laut. Laut harus ditaklukkan dan jangan sampai manusia ditaklukan laut sebab manusia memiliki strategi untuk menang di laut seperti strategi memainkan tempuling dengan teknik tikam dan sentak.
Puisi ini ditutup dengan bait yang menggambarkan bahwa perjuangan hidup yang dilakukan manusia berhadapan juga dengan takdir dengan penggambaran tempuling menjadi asin dan adanya permainan musim: Tempulingku//Asinmu//Hanya musim//Yang bermain. Sekeras apapun perjuangan yang dilakukan manusia maka ia akan berhadapan juga dengan takdir seperti asinnya tempuling oleh air laut akibat permainan musim. Takdir tidak bisa dielakkan manusia dan itu urusan Tuhan. Tugas manusia adalah berjuang dengan sekuat tenaga karena manusia tidak pernah tahu kapan datangnya takdir. Kepercayaan orang Melayu terhadap takdir tidak menyurutkan keberaniannya untuk terus berjuang menghadapi kehidupan ini.
Puisi “Tempuling”
Dalam puisi yang berjudul “Laut” digambarkan kemahiran dan keberanian orang Melayu dalam menggunakan tempuling. Sedangkan dalam puisi yang kedua ini judulnya “Tempuling”. Ini menunjukkan bahwa betapa pentingnya makna tempuling bagi kehidupan orang Melayu. Dalam puisi Rida K Liamsi, tempuling tidak hanya sebatas senjata untuk mencari ikan, tetapi tempuling adalah semangat orang Melayu dalam menghadapi kehidupan. Puisi ini dibuka dengan gambaran tempuling yang ditemukan di pantai setelah badai oleh seorang anak setelah pulang sekolah: Sebatang tempuling tersadai di gigi pantai//sehabis badai//Seorang bocah menemukannya//sehabis sekolah. Bait ini mencitrakan bahwa tempuling yang menjadi simbol semangat orang Melayu menghadapi cobaan. Tersadainya tempuling memberikan kesan bahwa perjuangan manusia untuk melawan lautternyata dikalahkan badai. Kekuatan alam, yakni badai yang ada di laut telah menghambat manusia untuk berjuang dalam kehidupan ini. Namun kekuatan alam itu tidak menjadi penghalang bagi orang Melayu untuk terus berjuang dalam kehidupannya. Semangat pantang menyerah menjadi prinsip bagi orang Melayu seperti digambarkan dalam bait berikut: Tuhan// Siapa lagi yang kini telah menyerah?//tak terlihat tanda-tanda//tak tercium anyir nasib//tak tercatat luka musim//kecuali tangis ombak//pekik elang// yang jauh dan ngilu//di antara cuaca// dan gemuruh karang. Bait ini menegaskan bahwa kuatnya semangat orang Melayu sehingga orang Melayu tidak boleh menyerah. Orang Melayu tidak menujukkan tanda-tanda menyerah dan tidak mau mempertaruhkan hidupnya dengan nasib. Hidup adalah perjuangan yang tidak pernah berhenti. Kehendak alam seperti ombak dan badai tidak menyurutkan semangat orang Melayu.
Pada bait berikutnya digambarkan keluh kesah karena tersadainya tempuling di pantai: tuhan// Diakah yang kini telah menyerah?// Telah kalah?/ tuhan//Dia memang telah berbisik// Pindahkan pancang// Sebelum pasang. Bait ini mencitrakan bahwa orang Melayu harus terus bangkit meskipun banyak tantangan yang dihadapi. Ungkapan “pindahkan pancang sebelum pasang” memberikan motivasi bagi manusia untuk terus bangkit dari kesulitan yang dihadapi. Kesulitan yang dihadapi harus dihadapi dengan menggunakan strategi agar manusia bisa terus menang dalam kehidupan ini.
Cobaan dan hantaman gelombang membang telah membuat tempuling tersadai di pantai. Ini tidak dipungkiri bisa menimbulkan rasa sedih karena kegagalan untuk mendapatkan ikan dilaut. Aku lirik mengungkapkan rasa kesedihannya karena kalahnya manusia dalam bertarung melawan laut dengan mengungkapkan gambaran sehelai daun yang gugur: Hatiku memang telah terusik//ketika sehelai waru//gugur//lesap//lewat tingkap//tersuruk//di antara tungku//menunggu gelap. Gambaran ini menjelaskan bahwa dalam perjuangan untuk menghadapi kehidupan manusia akan berhadapan dengan berbagai cobaan yang bisa mengalahkan manusia. Kekalahan itu sendiri adalak konsekuensi yang harus diterima. Tetapi bagi orang Melayu kalah itu bukan berarti menyerah. Kalah bisa diterima tapi jangan pernah menyerah.
Pada bagian akhir puisi ini digambarkan lagi tempuling yang ditemukan di pantai oleh seorang anak dengan perasaan sedih: Sebatang tempuling tersadai di gigi pantai//sehabis badai//Seorang bocah merasakan pelupuknya//Telah basah. Kesedihan anak ini bermakna bahwa adanya perasaan cemas apabila orang Melayu menyerah karena kekuatan alam. Gambaran ini mengingatkan kita bahwa jangan pernah menyerah meskipun telah kalah karena semangat yang kuat akan dapat membuat kita bangkit lagi.
Puisi ini ditutup dengan satu bait yang berisikan kesedihan seorang anak terkait keberadaan tempuling di pantai. Terlihat ratapan aku lirik kepada Tuhan dengan harapan ada orang yang menemukan tempuling dan menguburkannya di pantai dengan memberikan tanda. Sang anak berharap bahwa tempuling itu tidak dihilang dibawa arus laut sehingga ia perlu diselamatkan dan diberikan tanda: Tuhan// Bawahlah seseorang menemukannya// Menguburkannya di antara pantai// Memberikan satu tanda// Dan jangan biarkan arus// membawanya jauh ke lubuk dalam// yang aku pun tak tahu// dimana akan kutuliskan// rinduku.
Bait penutup ini menyiratkan makna bahwa alam memang telah mengalahkan perjuangan hidup menusia. Meskipun perjuangan dikalahkan alam, perjuangan tetap dikenang dan akan menjadi semangat bagi orang lain. Ini bermakna kekalahan dalam perjuangan bukanlah sia-sia. Kekalahan bukanlah sesuatu yang hina. Perjuangan yang yang gigih akan terus dikenang sepanjang masa.
Pembacaan secara mendalam terhadap dua puisi karya Rida K Liamsi menyimpulkan bahwa kehidupan orang Melayu di wilayah maritim penuh dengan tantangan dan orang Melayu memiliki semangat yang kuat untuk menghadapi kehidupan. Puisi “Laut” menggambarkan kuatnya perjuangan orang Melayu dalam melawan laut. Orang Melayu harus bekerja keras agar bisa bertahan hidup. Dalam puisi “Tempuling” perjuangan keras orang Melayu untuk mengalahkan laut ternyata mengalami cobaan. Laut dengan ombak dan badai telah menghempaskan tempuling sehingga manusia dikalahkan alam. Tetapi dalam kekalahan itu tetap ada semangat untuk terus berjuang sebab orang Melayu berpandangan bahwa hakekat kehidupan adalah perjuangan. Pantang bagi orang Melayu untuk menyerah kepada nasib.
Dr. Junaidi, Wakil Rektor I Unilak, Budayawan dan Anggota Dewan
Pendidikan Riau