Rabu, 19 Februari 2025
Berawal dari Puisi
Kata-kata puitis Tun Irang yang penuh dendam itu telah mengubah haluan sejarah. Kata-kata yang membakar gairah lima Bugis bersaudara untuk menyerang Raja Kecik. Dada para bangsawan Bugis yang duduk bersila berjejer dan seperti menempel di dinding papan selasar itu, tersirap. Semua wajah mereka selintas kelihatan memerah. Tubuh mereka meregang, menyaksikan adegan Tun Irang menyelak rambut, mengibas untai melati di sela-sela telinga, dan mengirim harum melati ke tengah ruangan, menjeling dan melepak subangnya. Cahaya lampu yang redup seakan mendedahkan helai-helai pembuluh darah yang mengalir di leher yang jenjang itu. Erotis dan eksotis, khas perempuan Melayu yang santun, namun tegar. (h. 71).
Tun Irang meraung karena merasa sangat terhina. Harkat dan martabatnya sebagai perempuan telah direndahkan. Bukan hanya soal aib pertunangannya yang telah dibatalkan, atau menjadi permaisuri, tetapi juga karena yang merebut calon suaminya itu adalah adiknya sendiri. Tun Irang merasa malu dan teraniaya. “Zalim … zalimmmm …”, begitulah agaknya dia meraung dan memekik melampiaskan rasa sakit hatinya. Dari sinilah bara dendamnya pada Raja Kecik berkobar. (h. 37).
Setelah itu, cerita-cerita tentang proses perjuangan menutup aib itu memang terjadi dalam bentuk perang dan pertarungan, serta intrik politik. Batu dadu telah dilemparkan Tun Irang (Alea Jacta Est, Julius Caesar saat menyeberangi Sungai Rubico). Batu dadu itulah yang kemudian melahirkan persemendaan berupa Sumpah Setia Melayu-Bugis di Kerajaan Riau, Johor dan Pahang, dan konflik politik dan perebutan kekuasaan di Kerajaan Riau yang berlangsung selama hampir 190 tahun itu. Pertarungan politik ini memang sebagian merupakan pertarungan politik di ranjang pengantin. Pengantin Melayu-Bugis. (h. 195).
Sejarah mencatat betapa tindakan berani yang muncul dari rasa luka, marah, dendam dan rasa cinta, itu menjadi perjalanan sejarah yang gemuruh, penuh warna dan cerita, darah dan juga bala. (h. 144). Ambisi politik dan panggilan sejarah terkadang memang sering membuat darah dan jejak zuriah selalu tenggelam dan hanya jadi bumbu sejarah. Kekuasaan itu sesungguhnya adalah zalim, begitu kata orang bijak. Persaudaraan terkadang harus disingkirkan demi ambisi dan kehendak akan kuasa itu. (h. 147).
Apakah ketika dendam telah terluahkan masalah akan selesai? Pernikahan Daeng Parani dengan Tun Irang, Daeng Celak dengan Tengku Mandak, Daeng Marewa dengan Tun Cik Ayu, Daeng Manampuk dengan Tun Tipah. Digelar pesta meriah tujuh hari tujuh malam. Peristiwa tersebut merupakan perkawinan politik paling bersejarah, dan kelak menentukan arah perjalanan sejarah kerajaan Melayu Riau. Perkawinan yang menempatkan Tun Irang dan dendam sejarahnya dalam percaturan politik di kerajaan. Perkawinan yang ujud setelah “Selak Bidai dan Lepak Subang Tun Irang” di tengah derai air mata luka dan dendam sejarahnya. (h. 92).
Mengupas Cerita
Novel ini harus diakui sebagai komitmen ke-Melayuan penulis yang dengan “istiqomah” selalu mengangkat tema-tema seputar kerajaan. Hal ini pula yang memberi kesan kalau “istanasentris” telah menjadi pilihan dalam berkarya bagi penulis. Senafas dengan novel yang telah terbit sebelumnya, Bulang Cahaya, Megat, dan Mahmud Sang Pembangkang, semuanya bermuara pada kehidupan seputar istana.
Judul novel “Selak Bidai Lepak Subang Tun Irang” telah membuat pembaca bertanya-tanya dan penasaran apa maksud dari judul tersebut. Kita coba artikan perkata arkhais Melayu ini agar kita mendapat pemahaman awal maksud dari novel ini. Selak: membuka. Bidai: jalinan bilah (rotan, bambu) sebagai kerai (untuk tikar, tirai penutup pintu, belat, dsb). Lepak: melepas. Subang: anting-anting. Kata-kata arkhais itu nampaknya sengaja dipilih penulis untuk pembaca menjadi pembaca yang “cerdas”. Pembaca diminta untuk rajin menyusuri kata-kata, dengan harapan terbuka kata-kata lain yang ditemukan dari hasil penelusuran tersebut.
Aporismus tua pernah mengatakan, “Di setiap peristiwa besar, di situ selalu ada peranan perempuan”. Cherchez La Femme! Dalam sejarah Melayu Riau setidaknya ada tiga perempuan perkasa yang mewarnai takdir sejarah: Tengku Tengah (Tun Irang), Raja Hamidah, dan Tengku Embung Fatimah. Perempuan-perempuan yang akan menjadi karya fiksi sejarah berikut setelah Tun Irang ini. Penulis dengan ketekunannya mempelajari setiap lembar sejarah dari naskah-naskah Melayu berhasil mengambil sosok perempuan tersebut untuk dihadirkan sebagai tokoh utama dalam fiksi dan sejarah pergulatan politik kerajaan ini.
Taufik Ikram Jamil dalam pengantar novel ini mengatakan: Tidak ada sesuatu yang omong kosong dalam sebuah karya sastra termasuk novel. Imajinasi harus dipandang bukan sebagai rekaan tanpa dasar, tetapi adalah upaya membangun kembali suatu ingatan dalam tatanan tertentu. Novel ini wujud karena telah ada wujud-wujud yang lain dalam suatu jalinan sesuai kehendak penulisnya.
Menurutnya penulis sangat cerdik memilih sosok penderitaan. Penulis menghadirkan seseorang sebagai pusat penderitaan yang dalam sejarah Melayu hanya dipandang sekilas. Di sini, penulis memainkan kepekaan jurnalistiknya untuk melihat sisi lain dari peristiwa yang sebenarnya mendalam. Novel ini dapat kita kelompokkan dalam novel fiksi sejarah. Apakah novel fiksi sejarah itu?
Perasaan nostalgia yang romantis dan tragedi yang terjadi di masa lalu adalah hal yang menarik yang dapat kita temukan dalam fiksi sejarah. Sehingga genre ini akan selalu mendapat tempat bagi para pembaca. Di sinilah letak kekuatan penulis mengambil sosok Tun Irang sebagai sosok sentral yang melahirkan dan menganakkan sejarah masa lalu dalam suasana bangga, pilu, dan dendam. Novel fiksi sejarah ini dapat menjadi referensi “wajib” bagi guru-guru sejarah daerah ini bila ingin mendapatkan rasa lokal dalam pembelajarannya.
Catatan Kecil
Novel ini banyak bicara tentang silsilah keturunan, nama bangsawan kerajaan yang memiliki kemiripan antara satu nama dengan nama yang lain. Bila tidak dikemas dengan apik akan menjadi sangat membosankan. Namun penulis memiliki cara tersendiri membuat pembaca tertaris untuk mengikuti narasi sejarah dalam novel ini dengan menghadirkan tokoh Mur. Siapapun Mur itu, yang jelas pembaca seperti diajak membaca surat panjang tentang curahan hati dan kegelisahan akan masa lalu. Teks sejarah yang kronologis dibuat seperti bertutur.
Membaca karya novel dan buku sejarah karya penulis kita diajak kilas balik yang saling berkelindan. Mulai dari novel Bulang Cahaya, Megat, dan Mahmud Sang Pembangkang, pembaca diajak menarik benang merahnya sebagai episode berkelanjutan. Setidaknya novel sejarah ini banyak menitipkan momen-momen sejarah penting terkhusus tentang muasal dan kemelut dari hadirnya Sumpah Setia Melayu dan Bugis. Sumpah yang muncul karena dendam dan luka sejarah Tun Irang.
Disampaikan dalam acara bedah novel "Selak Bidai Lepak Subang Tun Irang" karya Rida K Liamsi di SMK Labor Pekanbaru, 28 Juli 2019 oleh Forum Lingkar Pena Riau. Pengurus Forum Lingkar Pena Riau.