Notice: Undefined offset: 4 in /home/u6048245/public_html/erdeka/metadata.php on line 20
Ketika Tumpukan Buku Menjadi Beban Keluarga - Rida K Liamsi
 

Oleh Fakhrunnas MA Jabbar

Ketika Tumpukan Buku Menjadi Beban Keluarga

Sastra Senin, 29 Juni 2015
Ketika Tumpukan Buku Menjadi Beban Keluarga

Fakhrunnas MA JabbarKENIKMATAN seseorang pada buku memiliki kadar yang berbeda-beda. Ada orang yang menikmati buku dengan cara membaca di perpustakaan. Namun tak sedikit pula para penikmat buku yang dengan susah payah membeli dan mengoleksi di rumah. Bahkan, banyak sekali perpustakaan-perpustakaan pribadi yang bertebaran di mana-mana. Inilah yang dominan dilakukan para intelektual dan pemikir yang menjadikan buku sebagai sumber referensi dan inspirasi dalam memperkaya wawasan. Bahkan, bisa jadi menghasilkan karya baru baik bernuasa ilmiah maupun non-ilmiah.

Kalangan intelektual yang biasanya mendirikan perpustakaan pribadi di rumah itu biasanya diperankan oleh dosen, ilmuwan, peneliti, pengamat, penulis dan seniman. Koleksi buku yang tersimpan di deretan rak atau lemari –bahkan akibat keterbatasan ruangan berubah jadi tumpukan buku- secara tak sadar telah membangun ‘hegemoni’ tersendiri di rumah. Sebagian besar para isteri yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga tidak terlalu bersepakat dalam ‘situasi’ pengelolaan  perpustakaan ini.

Bagi pencinta dan penikmat buku yang memiliki dana cukup tentu saja perpustakaan pribadi di rumah benar-benar terkelola secara rapi. Bahkan ribuan judul buku benar-benar dikodifikasi sesuai klasifikasi guna memudahkan pencarian buku di rak atau lemari pustaka. Bahkan, data dank kode buku disimpan di dalam computer dengan ‘mesin pencari’ yang bekerja cepat. Tentu saja, pengelolaan perpustakaan ini mempekerjakan satu atau dua orang pustakawan dengan gaji yang memadai.

Sementara pencinta dan pengoleksi buku yang lain –akibat keterbatasan dan kesederhanaan hidup- terpaksa mengelola perpustakaan pribadi apa adanya. Tak jarang, rak-rak buku berebut tempat di kamar tidur atau ruang tamu karena taka da ruangan lain yang dapat menampung buku-buku itu. Akibatnya ‘sengketa’ kecil di rumah tangga tak terhindarkan. Apalagi di saat sederetan buku dengan halaman terbuka yang terbengkalaikan oleh suami, biasanta disikapi dengan beragam cara. Persoalannya, kemauan baik isteri untuk merapikan ‘bengkalai’ buku itu justru dipandang bukan membantu malahan mengacak-acak pekerjaan atau membuyarkan inspirasi.

‘Hegemoni buku’ di rumah antara suami dan isteri –boleh jadi didukung oleh anak-anak yang cenderung membela ibunya- bisa terjadi bagi siapa saja. Apalagi, hegemoni itu diawali dengan alokasi dana beli buku yang secara tak langsung akan berpengaruh pada dana kebutuhan sehari-hari bagi penghasilan yang terbatas. Dengarlah perbincangan para isteri  bernasib sama yang mempersoalkan bagaimana tumpukan buku menjadi ‘beban’ yang tak bisa dihindari.

Situasi ini bakal bertambah runyam ketika si suami –penguasa utama deretan dan tumpukan itu- meninggal dunia. Banyak kisah duka yang menimpa para isteri yang harus mewarisi ribuan buku itu. Saudara sepupu saya, sastrawan Hamid Jabbar saat wafatnya meninggalkan tak kurang dari 5000 buku –mayoritas bidang sastra dan budaya- benar-benar menjadi ‘beban’ bagi keluarga yang ditinggalkan. Pasalnya, tak ada anak-anaknya yang tunak menggeluti dunia menulis yang sangat bergantung pada buku. Koleksi buku yang semula mengisi rak-rak di beberapa sisi dinding di ruangan keluarga dipandang makin mempersempit ruangan. Buku-buku itu pun dikemas dalam kardus yang ditawarkan kepada kolega Hamid semasa hidupnya.

Saat saya bertamu di hari lebaran tahun lalu, Meuthia Aulia Jabbar, anak sulung Hamid menunjukkan tumpukan-tumpukan kardus buku yang tetap menjadi ‘beban’ baru. Menurut Meuthia, memang ada salah seorang kerabat ayahnya yang akan mengambil dan memanfaatkan koleksi buku tersebut, namun entah karena apa, sampai saat itu tak kunjung diambil. Malah Meuthia menawarkan  buku-buku itu pada saya.  Namun persoalannya saya pun juga cukup diresahkan oleh ‘beban’ koleksi buku dalam jumlah yang sama karena keterbatasan ruangan penempatannya.

Nasib hampir sama semula dialami oleh isteri budayawan Hasan Junus. Dua tahun setelah wafatnya Hasan, perpustakaan pribadi yang terdiri lebih 5000 buku –sebagian terdapat naskah-naskah kuno Melayu yang selalu diburu dan diincar para pengoleksi naskah kuno di antaranya dari Malaysia- koleksi buku itu benar-benar menjadi beban bagi isteri dan seorang anak yang ditinggalkan. Belum lagi, sejumlah naskah buku yang ditulis Hasan semasa hidupnya namun belum sempat diterbitkan tersimpan di dalam hardisk komputernya. Salah satu naskah buku itu tentang Ensiklopedia Sastra Riau dengan tebal hampir 500 halaman.

Semula isteri Hasan berusaha menawarkan koleksi buku dan naskah-naskah sastra-budaya itu. Salah satu pihak yang berminat dengan koleksi Hasan Junus itu adalah Yayasan Sagang, sebuah yayasan kebudayaan yang prestisius di Riau, didirikan oleh sastrawan yang juga ‘Raja Media’ Rida K. Liamsi. Informasi yang saya peroleh dari Kazzaini Kz (Ketua Yayasan Sagang) menyebutkan koleksi Hasan Junus itu ‘diselamatkan’ oleh Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau dengan kompensasi dana yang cukup memadai bagi keluarga Hasan.

Hamid Jabbar dan Hasan Junus, tentu hanyalah segelintir kecil pencinta buku yang meninggalkan ‘beban’ buku bagi keluarga. Ribuan bahkan jutaan pencinta dan pengoleksi buku yang boleh jadi meninggalkan ‘beban’ yang tak terselesaikan. Persoalannya, dilema yang selalu muncul terkait  dana kompensasi yang layak diberikan apabila buku-buku itu ‘diselamatkan’ untuk kepentingan perpustakaan yang  bisa dimanfaatkan oleh masyarakat luas.

Bila koleksi buku itu akan diambil oleh seseorang secara pribadi tentu sulit diprediksi kemungkinan adanya dana kompensasi yang memadai. Andai pun buku-buku itu dimanfaatkan oleh badan swasta atau yayasan, selalu terkendala soal tersedianya dana. Sementara untuk berharap pada  pihak pemerintah provinsi atau kabupaten, tak mudah untuk mengharapkan tingkat apresiasi terhadap koleksi buku yang hampir semuanya tidak baru. Hal ini biasanya akan terkendala proses proyek yang penuh liku-liku berbau ‘transaksional.’

Dalam hal ini, ada solusi lain yang bersifat moderat. Sepantasnya pihak Badan Perpustakaan Provinsi atau Kabupaten/ Kota proaktif untuk ‘menyelamatkan’ koleksi buku perpustakaan pribadi yang tak terurus itu untuk melakukan pendekatan pada pewaris buku-buku tersebut. Proses negosiasi dapat dilakukan dengan sistem ‘hibah-pinjam’ di mana koleksi buku ‘dititipkan’ di gedung perpustakaan dengan memberikan nama pemilik koleksi buku pad arak tertentu. Ini sekaligus dapat mengabadikan nama tokoh bersangkutan sekaligus menjadi amal ibadah bagi yang sudah wafat. Tentu saja, pihak perpustakaan harus mempersiapkan dana kompensasi yang dapat dibicarakan secara manusiawi dengan pihak ahli waris.***


Fakhrunnas MA Jabbar adalah sastrawan dan pencinta buku, tinggal di Pekanbaru.