Rabu, 30 April 2025
Meskipun setiap tanggal tanggal 17 Mei kita, negara, memeringati Hati Buku Nasional, namun mengajukan pertanyaan—yang menjadi judul tulisan ini—tersebut agaknya menjadi naif. Apa boleh buat, masyarakat kita lebih sering mengalami demam-demam lain ketimbang demam buku. Kita lebih akrab dengan demam berbagai goyangan, demam foto selfie, demam k-pop, dan yang masih berlangsung; demam batu akik.
Dalam sebuah kesempatan tahun lalu, sebelum terpilih menjadi presiden, Joko Widodo pernah mengatakan bahwa beliau sepakat dengan pendapat budayawan Mochtar Lubis tentang ciri-ciri manusia Indonesia (Tempo.co 19/8/2014). Ciri-ciri manusia Indonesia yang dingkapkan Muchtar Lubis tersebut adalah: munafik, enggan bertanggung-jawab, berjiwa feodal, percaya takhayul, dan berwatak serta berpendirian lemah.
Jika dilihat, ciri-ciri yang disebutkan memang tidak jauh meleset dengan kenyataan yang ada. Tak ayal jika Joko Widodo sepakat. Di samping itu, gagasan revolusi mental yang menjadi jargonnya sejak awal, jika dilihat sepintas memang relevan untuk mengatasi berbagai karakteristik tersebut.
Melihat fenomena saat ini, di mana masyarakat sedang gandrung batu akik, agaknya apa yang diungkapkan Muchtar Lubis tersebut mendapatkan bukti. Kegamangan dan mudahnya masyarakat larut dalam suatu tren, mengindikasikan lemahnya watak atau pendirian. Batu akik yang terus diburu dengan beragam pamrih—estetis, ekonomis, magis, spriritual—lagi-lagi, sejalan dengan salah satu ciri tersebut; percaya takhayul.
Karakter atau watak bermakna sifat batin yang mempengaruhi segenap pikiran, perilaku, budi pekerti, dan tabiat yang dimiliki manusia atau makhluk hidup lainnya. Jika watak seseorang lemah, pikiran dan perilaku juga mudah dipengaruhi. Agaknya ini yang terjadi dengan masyarakat kita. Kita mudah hanyut, larut dalam kekaguman semu akan berbagai hal tanpa memikirkannya dengan mendalam. Kita terlalu mudah larut dalam emosi kolektif, tanpa memiliki pegangan atau pandangan pribadi yang kuat dan berfikir jernih dan rasional.
Dari sini muncullah berbagai tren yang kerap disebut demam; mulai dari demam goyangan, demam foto selfi, demam k-pop, sampai demam batu. Kita menjadi bangsa yang konsumtif, mudah demam atau cenderung mudah dipengaruhi. Bukan bangsa yang produktif, bermental kuat, dan cenderung memengaruhi.
Demam Buku?
Minimnya minat baca masyarakat kita, bisa dikatakan sebagai salah satu sebab lahirnya masyarakat bermental lemah tersebut. Tidak perlu jauh-jauh membandingkan dengan negara-negara besar di Barat atau penjuru dunia yang lain. Di kawasan Asia Tenggara pun, Indonesia berada di peringkat bawah jika bicara soal minat baca. Kita lebih gemar menonton televisi daripada khusyuk membaca buku. Kita lebih gandrung dengan aktivitas-aktivitas konsumtif yang “menghibur” daripada memeras otak memikirkan bagaimana menambah kualitas diri dengan banyak-banyak membaca.
Agaknya tak mudah membuat masyarakat gandrung terhadap buku, apalagi sampai demam buku. Laku membaca, seakan hanya dilakukan kalangan intelek dan akademisi. Budaya berliterasi, masih menjadi pekerjaan yang terkesan elite, pekerjaan para kaum elite intelektual. Jelas anggapan ini keliru. Membaca buku bermanfaat bagi semua orang. Petani, pedagang, nelayan, tukang becak, tukang ojek, semua bisa menemukan banyak informasi, pengetahuan, dan pengalaman dari membaca.
Apa yang dilakukan oleh kelompok-kelompok baca, atau klub-klub buku di berbagai daerah dengan beragam program dan kegiatannya, harus diapresiasi dan ditingkatkan. Kegiatan-kegiatan seperti membuka taman baca, perpustakaan keliling, atau pelatihan-pelatihan menulis untuk para pelajar maupun masyarakat umum, merupakan langkah-langkah positif mengenalkan masyarakat dengan buku, dengan membaca dan menulis. Mereka bergerak di lapangan, berhadapan langsung dan mengenalkan masyarakat dengan buku dari yang sebelumnya sama sekali belum pernah melakukannya.
Hal-hal tersebut jelas membantu pemerintah dalam upaya meningkatkan minat baca masyarakat. Karena selama ini pemerintah relatif hanya mengandalkan adanya perpustakaan, baik perpustakaan daerah, perpustakaan provinsi, dan perpustakaan nasional lewat penyediaan koleksi buku perpustaan maupun lewat program-programnya dalam menumbuhkan minat baca masyarakat.
Tentu, hal tersebut masih memerlukan pemantik agar masyarakat berinisiatif mendatanginya. Masyarakat perlu diperkenalkan, dihampiri, agar terlebih dahulu merasakan manfaat membaca. Ketika masyarakat sudah merasakan manfaatnya, selanjutnya mereka baru akan memiliki motivasi yang tumbuh dari dalam diri masing-masing untuk membaca. Dari sini, baru kemudian mereka akan menghampiri perpustakaan-perpustakaan tersebut.
Kritis, Kreatif, dan Produktif
Membaca menjadikan orang berfikir. Beragam pengetahuan yang terserap dalam pikiran, pada akhirnya menjadikan orang tersadar dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Untuk mencapai tahap kesadaran itu, seseorang terlebih dahulu melalui tahapan mengetahui, memahami, baru kemudian menyadari. Ketika aktifitas membaca telah mengantar seseorang pada tahap menyadari, mental pun mulai terisi. Lambat laun, seiring dengan semakin beragam bacaan yang dikonsumsi, pengetahuan pun semakin luas dan ketajaman berfikir akan terasah.
Ketajaman ini pada gilirannya membuatnya menjadi seseorang yang kuat secara mental, memiliki pemahaman dan pandangan yang luas dan mendalam, dan tidak mudah goyah dan larut dengan tren atau fenomena yang terjadi dengan sekitarnya (lingkungan). Mental sendiri bermakna kekuatan diri dalam mengadapi sesuatu. Seseorang yang bermental kuat, cenderung teguh dengan pendirian, tidak mudah putus asa menghadapi berbagai persoalan.
Di samping itu, laku membaca menjadikan orang kratif. Ia tumbuh menjadi seseorang yang berfikir bagaimana cara menghasilkan sesuatu (produktif), bukan melulu menggunakan sesuatu (konsumtif). Jiwa kreator akan bersemi seiring dengan makin luasnya pengalaman membaca yang telah dilalui. Jika seseorang sudah bermental kuat dan berjiwa kreator, jelas ia memiliki kualitas yang lebih dari orang lain. Ia tumbuh menjadi manusia berkualitas, yang memiliki mental, watak dan karakter yang kuat, kratif dan produktif. Bukankah ciri-ciri tersebut yang kita harapkan ada pada masyarakat kita? Jadi, kapan kita demam buku?***