Oleh : Dr. Sudirman Shomary, M.A.

Bedah Novel Megat karya Rida K. Liamsi di Auditorium H. Zaini Kunin Gedung C FKIP Universitas Islam

Sastra Rabu, 29 Maret 2017
Bedah Novel Megat karya Rida K. Liamsi di Auditorium H. Zaini Kunin Gedung C FKIP Universitas Islam


“Novel Megat karya Rida K. Liamsi: Suatu Kajian Intertekstualitas”

Oleh : Dr. Sudirman Shomary, M.A.
Dosen FKIP Universitas Islam Riau
sudirmanshomary.gmail@edu.uir.com



1.    Pendahuluan
Julia Kristeva, murid Roland Barthes di Sorbone Universitie (Perancis), percaya tidak ada teks yang ”original” karena setiap teks saling terkait dengan teks lainnya. Oleh karena itu, pemaknaan suatu teks selalu terkait dengan pemaknaan teks-teks yang mempengaruhinya. Hal ini dimungkinkan karena suatu teks hadir dengan adanya pengaruh atau inspirasi dari teks yang lain. Hal ini menyebabkan suatu teks dapat menjadi referensi dari teks lainnya atau dapat ditemukan suatu teks yang mengutip suatu gagasan dari teks lain.

Apalagi bagi teks/karya sastra kontemporer. Untuk menunjukkan hubungan (relasi) antara satu teks dengan teks lainnya, diperlukan langkah-langkah yang menunjukkan relasi antara teks-teks tersebut. Langkah-langkah tersebut merupakan langkah-langkah yang membandingkan. Dengan perbandingan itu akan terkuak kaitan yang erat antara kedua teks sehingga dapat sampai pada kesimpulan ada tidaknya relasi antara teks-teks itu.

Selain itu, perbandingan yang dilakukan akan menguak hal-hal yang berbeda dari kedua teks itu sebagai bentuk kreativitas penulisnya. Namun perbedaan itu tentu saja masih mempertahankan  struktur teks yang mempengaruhinya sehingga kaitan antara keduanya masih dapat terlihat.  Sejauh mana suatu teks dipengaruhi  dapat pula dilihat pada unsur-unsur  yang dikembangkan atau diubah dari teks sebelumnya yang mempengaruhinya.  Dengan demikian, upaya membandingkan  kedua teks tersebut akan memperlihatkan pembahasan yang lebih lengkap.

Terkait dengan hal di atas, tulisan ini menganalisis keterkaitan antara sebuah karya sastra berupa novel Megat karya Rida K. Liamsi dengan karya sastra sejarah (historiografi) tradisional Melayu, terutama Hikayat Siak karya Tengku Said, Tuhfat al-Nafis karya Raja Ali Haji, Sulalatus Salatin susunan Tun Seri Lanang, Sejarah Johor, dan Silsilah Melayu dan Bugis karya Raja Ali Haji.



2.    Konsep Teori Intertekstualitas

Teori ini merupakan pengembangan konsep ‘dialogis’ Mikhail Bakhtin, sebagaimana yang ditulis teorikus Rusia itu dalam The Dialogic Imagination (1976). Intertekstualitas diperkenalkan oleh Julia Kristeva yang meyakini bahwa suatu teks selalu terkait dengan teks yang lain. Hal ini diyakini karena suatu teks tidak muncul tiba-tiba, tetapi dipengaruhi oleh teks-teks lain yang ada sebelumnya. Ringkasnya, setiap teks terbina dari hasil kutipan, peresapan dan transformasi dari teks-teks lain baik sejarah, kedudayaan, sosial, agama yang berbeda yang saling bertemu dan berdialog (Sikana, 2005: 105). Lanjutnya lagi, sewaktu pengarang berkarya, dia akan mengambil, meminjam atau mentransformasikan teks lain sebagai bahan dalam suatu karya baik teks dalaman maupun teks luaran. Semuanya disusun dan diberi warna menurut kesesuaiannya bahkan menambahkannya dengan hal-hal baru supaya menjadi karya yang bermutu.

Dalam menerapkan kajian intekstualitas, terdapat tiga langkah, yaitu: perbandingan, hipogram dan penafsiran (Endaswara, 2002). Perbandingan dilakukan dengan mencari persamaan dan perbedaan dari kedua teks yang dibandingkan. Dengan melihat persamaan akan membawa pada kesimpulan  ada tidaknya relasi atau erat tidaknya kaitan antara kedua teks. Makin banyak persamaan  antara kedua teks ini ditemukan, makin kuat kesimpulan yang mengarah kepada keterkaitan dan relasi antara kedua teks tersebut. Sedangkan perbedaan yang ditemukan dalam perbandingan ini akan memperlihatkan bagaimana  teks yang dipengaruhi oleh teks sumber menampilkan sesuatu yang baru sebagai bentuk kreatifitas pengarangnya. Oleh karena itulah, setelah menampilkan perbedaan-perbedaan tersebut, perlu ditafsirkan motif yang menyebabkan perbedaan itu.

Selanjutnya adalah menemukan hipogram. Istilah hipogram diperkenalkan oleh  Riffaterre. Hipogram merupakan usaha untuk mencari teks sumber yang memperlihatkan adanya hubungan. Menemukan hipogram adalah untuk membuktikan apakah sebuah teks dipengaruhi oleh teks yang lain, teks yang mempengaruhi teks yang mana (which inluences which). Dalam menemukan hipogram ini terdapat tiga hal yang menjadi perhatian yaitu: ekspansi, konversi dan modifikasi. Ekspansi merupakan perluasan atau penambahan unsur-unsur baru yang disisipkan dalam teks yang ditulis yang membedakannya dari teks sebelumnya yang telah mempengaruhinya. Unsur-unsur yang diubah ini menyebabkan unsur-unsur yang ada menjadi lebih kompleks. Ekspansi ini dilakukan dengan sengaja untuk mengembangkan sebuah teks. Konversi merupakan pembalikan (twisting). Dalam hal ini unsur-unsur yang terdapat dalam teks sumber dibalikkan dalam teks yang kedua. Walaupun unsur-unsur tersebut dibalik, namun unsur-unsurnya masih memiliki struktur yang sama.  Modifikasi adalah perubahan. Perubahan ini dimaksudkan dengan pergantian, dimana terdapat unsur yang diganti dengan unsur yang lain. Unsur-unsur yang diganti ini bisa jadi seluruhnya atau hanya sebagian saja. Pergantian ini akan menciptakan sebuah estetika yang baru. Namun modifikasi ini juga dapat menimbulkan distorsi atau penyimpangan, manipulasi ataupun hanya menyisipkan unsur-unsur yang dianggap perlu.

Konsep intertekstualitas ini dipertegas oleh Cortius yang mengatakan, “Sebuah teks merupakan kompilasi atau koleksti teks-teks.” Dalam menafsirkan intertekstualitas antara dua teks atau lebih, akan ditemukan perubahan-perubahan baik perubahan dalam pilihan kata,  kalimat, struktur karya atau isi.

Intertekstualitas merupakan salah satu konsep yang dapat digunakan dalam kajian sastra banding karena itulah bila kita menerapkan intertekstualitas ini berarti kita melakukan suatu kajian sastra banding. Sastra Banding merupakan studi tentang teks secara lintas budaya. Kajian ini bersifat interdisipliner yakni melampaui batas area dengan mengungkapkan persamaan dan perbedaan antar teks atau antar pengarang dari teks budaya yang berbeda (Mahayana, 2009).

Mengikut Mana Sikana (2005: 120), dalam kajian intertekstualitas terdapat beberapa prinsif yang perlu dipedomi dalam mengkritik karya sastra seperti transformasi, modifikasi, ekspansi, haplologi, ekserp, konversi, eksistensi, defamiliarisasi dan paralel. Berikut dijelaskan prinsif tersebut secara ringkas.

Transformasi bermakna pemindahan, penjelmaan dan penukaran suatu teks kepada teks yang lainnya. Modifikasi ialah penyesuaian, perubahan, pembetulan terhadap suatu teks dalam sebuah teks. Manakala ekspansi berarti perluasan atau pengembangan terhadap suatu teks. Haplologi pula bermakna proses pengguguran dalam masa berlakunya kehadiran teks-teks ke dalam terhadap sebuah teks. Ekserp merupakan penggunaan teks lain sama, mungkin sama dengan intisari teks baik sebahagian, suatu petikan, suatu episode, suatu aspek dari hipogram atau induk teks. Konversi adalah pemutarbalikkan tiap induk atau hipogram atau penentangan terhadap teks yang diambil atau yang digunakan.Eksistensi yaitu unsur-unsur yang diwujudkan  atau diadakan dalam sebuah karya berbeda dengan teks hipogramnya.Defamiliarisasi berarti upaya luar biasa pengarang untuk melakukan perubahan terhadap teks yang telah dibacanya seperti penyimpangan dari segi makna atau perubahan peranan tokoh dan perwatakan cerita dalam sebuah karya sastra.Terakhir, paralel yaitu apabila antara suatu teks dengan teks lainnya terjadi persamaan atau kesetaraan.



3.    Pembahasan

3.1 Analisis Tiga Langkah Intertekstualitas


Membaca novel Megat karya Rida K. Liamsi serasa memasuki lorong waktu masa lalu (baca: sejarah bangsa Melayu) dalam konteks kekinian. Sebagai pembaca, penulis memasuki masa lalu dengan dua cara: melalui pengarang secara analitik dan dramatik deskriptif dan melalui tokoh cerita yaitu Megat Ismail dan Tengku Adinda. Kedua tokoh cerita inilah yang membawa pembaca keluar-masuk antara masa lalu (abad ke-17 – abad ke 18) dan masa kini (abad ke-21).

Sebagai pengarang, Rida K. Liamsi sudah sangat berpengalaman dalam menulis cerita dengan latar dan tokoh sejarah dan budaya Melayu. Sebut saja novel awalnya Bulang Cahaya yang bercerita tentang Kerajaan Johor Riau Lingga dan percintaan tokoh sejarahnya Raja Jaafar,Tengku Buntat dan Raja Husin pada masa  Yang Dipertuan Besar Mahmudsyah. Apalagi dengan latar belakang sebagai guru, wartawan, pengarang, pengusaha dan aktivis sosial dan budaya Melayu, latar belakang ekstrinsik dan sosiologi pengarang tersebut memantapkan lagi sebagai novelis sejarah.

Hubungan intertekstualitas dalam novel ini dapat dilihat dari judul Novel Megat, dan tokoh-tokoh cerita seperti Megat Ismail, Laksemana Megat Seri Rama/Serama, Sultan Mahmud Syah II/ Sultan Abdul Jalil Syah, Bendahara Tun Abdul Jalil, Tun Habib Abdul Majid, Tun Sri Lanang, Panglima Seri Bija Wangsa, Laksemaan Wan Ahmad, Demang Lebar Daun, Penghulu Istana, Cik Pong, Raja Negeri Selat, Raja Kecik, Nakhoda Malim, Yamtuan Sakti Pagaruyung, Puteri Jailan, Orang Kaya Tun Abdul Jamil, Temenggung Tun Mahmud, Sultan Mansyur Syah, Puteri Candera Kirana, Tun Perak, Hang Tuah, Tun Teja, Sultan Yahya Siak, Parameshwara, Tengku Sulaiman, Upu Daeng Berlima, dan lain-lain.

Bagi saya, judul novel ini cukup inspiratif dan menantang. Judul ini mewakili tokoh Melayu masa lalu (Megat Seri Rama, Laksemana Johor-Riau yang membunuh Sultan Mahmudsyah II, Marhum Mangkat Dijulang tahun 1699 di Kota Tinggi Johor karena menentang kezaliman Sultan dan menuntut bela atas kematian isterinya Wan Anom dan anaknya) mewakili masa kini (Megat Ismail, seorang wartawan dan novelis dari Tanjung Pinang Pulau Bintan Kepulauan Riau, yang mengaku keturunan Megat Seri Rama) dan mungkin tokoh Melayu masa depan (Megat Akhir, putera Megat Ismail dan Tengku Adinda).

Membaca novel Megat, dengan menerapkan kajian intekstualitas, pertama membuat perbandingan dengan beberapa teks yang sangat berdekatan dari berbagai unsur terutama penokohan, latar dan peristiwa. Teks yang dimaksud adalah Hikayat Siak dan Tuhfat al Nafis. Sangat jelas sekali pengarang novel terinspirasi dari teks Hikayat Siak karena ketika membaca novel dan Hikayat Siak sama-sama mendedahkan cerita pendurhakaan  Laksemana Megat Seri Rama yang membunuh Sultan Mahmud Syah II, tahun 1111 H atau 1699 M di Kota Tinggi Johor. Malahan novel Megat sangat detil dan dramatik menceritakan tahap pendurhakaan tersebut, tentu hal ini merupakan imajinasi pengarang.

Pendurhakaan Megat Seri Rama terhadap Sultan Johor, Sultan Mahmud Syah II karena kezaliman dan kesalahan yang dilakukan oleh baginda. Suatu ketika baginda mendapatkan hadiah senapan dari nakhoda kapak dagang Inggeris bernama Alexander Hamilton, dan langsung menembakkannya ke kepala seorang biduanda/pelayannya sambil tertawa-tawa. Baginda melakukan hal kejam tersebut untuk mengetahui kehebatan pistol tersebut jika mengenai manusia. Sesudah itu terdapat beberapa peristiwa kezaliman Sultan kepada bawahan dan rakyatnya. Hal lain karena baginda tidak memperdulikan takhta dan kerajaannya karena sibuk melayani isterinya dari bangsa peri, makhluk halus. Peristiwa pembunuhan Wan Anom, isteri  Laksemana Megat Seri Rama dengan cara membelah perutnya yang sedang hamil tua dan mengidam makan buah nangka, merupakan “penamat cerita dan retak membawa belah”. Ditambah lagi dengan ambisi Tun Abdul Jalil, bendahara Johor yang ingin berkuasa dan membuat sejarah baru: Sultan Johor dari turunan Tun Habib Padang Saujana. Bertemulah buku dengan ruas: ambisi berkuasanya bendahara dan dendam/menuntut belanya laksemana.

Terdapat hal yang menarik setelah membaca Megat dan membandingkannya dengan kedua historiografi tradisional Melayu yang dibahas adalah alasan Megat Seri Rama mendurhaka. Dia melakukan pendurhakaan bukan semata-mata untuk melampiaskan dendamnya karena terbunuh isterinya, tetapi membuat sejarah.



Bendahara Tun Abdul Jalil tahu kemana arah ucapan Megat Seri Rama. “Hemm, ..., Jadi Laksemana sudah memutuskan untuk tetap mendurhaka? Sudah berpikir panjang segala buruk baiknya?” .....  

“Bukan hanya mendurhaka, tapi membuat sejarah. Patik hendak mengubah sejarah. Patik akan memindahkan tahta Johor ini kembali ke Bentan, ke tempat asalnya...” Megat Seri Rama seperti mengerang menyampaikan kata-kata yang penuh emosi (Liamsi, 2017: 4).



Alasan tersebut tidak dijumpai dalam Hikayat Siak dan Tuhfat al Nafis karena keduanya ingin memperlihatkan bahwa Megat Seri Rama seorang pendurhaka. Hal tersebut sangat dipantangkan dalam kehidupan sosial politik bangsa Melayu, sebagaimana persumpahan setia Demang Lebar Daun ketika mengangkat Sang Nila Utama/Sang Sapurba bergelar Seri Teri Buana sebagai Duli Yang Dipertuan, seperti kutipan Sulalatus Salatin/Sejarah Melayu (Ahmad, 1996: 25-26) berikut ini.


Maka sembah Demang Lebar Daun, “Sungguh tuanku seperti khabar orang itu; jikalau tuanku berekhendak patik itu, patik sembahkan, lamun mahu duli tuanku berjanji dahulu dengan patik.” Maka titah baginda, “Apa janji paman hendak diperjanjikan dengan hamba itu”. ...


“Seperkara lagi, perjanjian patik mohonkan anugerah ke bawah Duli Yang Maha Mulia, segala hamba Melayu jikalau ada dosa ke bawah duli, patik pohonkan jangan difadihatkan, dinista yang keji-keji, jikalau patut pada hukum syarak bunuh, tuanku; jangan duli tuanku aibi.”


Maka titah Seri Teri Buana, “Kabullah hamba akan janji paman itu; tetapi hamba pun hendak minta janji juga pada paman.” Maka sembah Demang Lebar Daun,” Janji yang mana itu, patik pohonkan titah duli Yang Maha Mulia.” Maka titah Seri Teri Buana, “Hendaklah oleh segala anak cucu hamba, jikalau ada salahnya sekaipun, atau zalim jahat pekertinya, jangan segala hamba Melayu itu derhaka dan menitikkan darahnya ke bumi, dan jikalau mereka akan cedera, berundur hingga takluk negerinya juga.”      Maka sembah Demang Lebar Daun, “Baiklah tuanku, tetapi jikalah anak cucu duli tuanku dahulu yang mengubahkan, anak cucu patik pun berubahlah tuanku.” Maka titah  Seri Teri Buana,”Baiklah paman, kabullah hamba akan waad itu.





Laksemana Megat Seri Rama  sangat mengetahui sumpah setia antara hamba dengan raja itu dan tahu pula akibatnya. Oleh karena keagungan Raja-raja Melayu berasal dari Raja Iskandar Zulkarnaen, maka anak cucunya pun (Raja-raja Melayu) mempunyai daulat dan tuah, bagi rakyat yang durhaka akan mendapat tulah. Itulah sebabnya, pengarang/penyusun sejarah tradisional Melayu meyakini bahwa setelah Megat Seri Rama menikam/memarang Sultan Mahmud Syah II, baginda sempat juga membalasnya dengan cara menikam kerisnya yang bernama Keris Sempana Johor yang sangat berbisa, sehingga Megat Seri Rama lumpuh dan akhirnya tewas  (Hooker, 1991: 176);  bahkan tumbuh rumput di celah luka kakinya dan menderita selama empat tahun, sebelum meninggal dunia (Hashim, 1992: 112). Hal itu merupakan tuah dan daulat raja, dan Megat Seri Rama menerima tulah akibat pendurhakaannya.

Walaupun terdapat perbedaan penyebutan nama Sultan Johor karena dalam Hikayat Siak, nama Sultan Johor tersebut adalah Sultan Abdul Jalil Syah. Manakala dalam novel, Sultan Johor yang dibunuh bernama Sultan Mahmud Syah II, sedangkan bendaharanya bernama Tun Abdul Jalil, yang kemudian menjadi Sultan Johor karena Sultan Mahmud Syah II tidak berputra, dengan gelar Sultan Abdul Jalil Syah. Hal ini sama dengan yang diceritakan oleh Tuhfat al Nafis. Akan tetapi, kedua sumber sastra sejarah Melayu ini sama-sama menceritakan awal pendurhakaan itu yaitu cerita pembunuhan isteri Megat Seri Rama secara zalim oleh Sultan karena seulas nangka.

Mengenai kisah Cik Pong/Encik Apung yang mengandung benih Sultan Mahmud Syah IIyang konon melahirkan Raja Kecik, yang kemudian mendirikan Kerajaan Siak terdapat khilaf. Menurut versi  Hikayat Siak diungkapkan sebagai berikut:



Dan kepada itu malam, baginda hendak beradu, lalu memanggil Encik Apung, anak Laksemana, disuruh memicit kaki baginda.

Kepada masa itu, bini peri itu sudah pergi, diketahuinyalah akan baginda mangkat. Dan kepada waktu dinihari, baginda datang berahi, maka terpancarlah mahnikam itu ke tikar. Dan baginda bertitah, “Hai Apung, jikalau engkau hendak berputera dengan kita, telanlah olehmu, dan kandunglah rahasiaku, supaya adalah benih Raja Iskandar Zulkarnain di dalam Tanah Melayu ini, jangan putuslah nasabku.” Maka diambillah oleh Encik Apung itu akan mahnikam itu, lalu ditelannya. Dengan Takdir Allah Taala berlaku kepada hamba-Nya dengan seketika, Encik Apung pun hamillah (Hashim, 1992: 111-112).


Manakala Tuhfat al Nafis menjelaskan peristiwa tersebut sebagai berikut:

(Syahdan) maka adalah  satu malam baginda itu berahi isterinya peri itu, konon.   Maka terpancarlah mahnikamnya itu ke tikar peraduannya itu lalu disuruhnya  telan kepada gundiknya, anak laksamana bernama Encik Pung. Maka Encik Pung pun buntinglah konon (Hooker, 1991: 176).




Pengarang menjelaskan sedikit berbeda. Melalui email Tengku Nizami dari Siak, seorang datuk Tengku Adinda, mahasiswa Ph.D Universiti Durian Daun Melaka, diceritakan:


Ok. Cunda, kita kembali ke Raja Kecik. Pada umur berapa  Raja Kecik itu ketika ayahnya dibunuh Megat Seri Rama? Dia belum dilahirkan, dan bondanya sedang hamil tua. Setelah dia dilahirkan dan pada usia sekitar 7 tahun, dia dititipkan pada Nakhoda Malim dan dia dibawa ke Minangkabau (Liamsi, 2017: 224).  

Apabila dibandingkan ketiga karya sastra ini terdapat sedikit perbedaan. Jika Hikayat Siak dan Tuhfat al Nafis menjelaskan ketika Sultan Mahmud Syah II mangkat, istrinya/gundiknya Encik Pung baru hamil melalui persetubuhan yang tidak wajar. Walaupun Raja Ali Haji, penyusun/pengarang Tuhfat al Nafis meragukan fakta itu karena itu dia menggunakan dua kali kata “konon”.Selain itu, dalam teks yang sama diceritakan pula ketika Sultan Mahmud Syah II mangkat, zakarnya masih berdiri karena baginda. Menurut orang tua-tua, baginda berahikan Encik Pung karena itu disuruhlah ia bersetubuh dengan baginda. Kemudian barulah Encik Pung hamil (Hooker, 1991: 144-145). Sedangkan dalam novel Megat diceritakan bahwa Encik Pung sudah hamil tua, mengandung Raja Kecik.

Mengenai peristiwa selanjutnya setelah pembunuhan Sultan Mahmud Syah II terdapat persamaan. Oleh karena baginda tidak berputera, ketiga teks menjelaskan bahwa tahta Johor Riau kemudian diduduki oleh Bendahara Tun Abdul Jalil dengan menggunakan gelar Sultan Abdul Jalil Riayat Syah. Setelah itu Encik Pong diselamatkan oleh orang suruhan Laksemana Wan Ahmad, suruhan ayahandanya. Setelah melahirkan, Encik Pong dan puteranya dibawa kepada Temenggung Muar. Selanjutnya ketika berumur 7 tahun, Tuan Bujang dibawa ke Jambi dan terus ke Pagaruyung/Minangkabau oleh Nakhoda Malim.

    Di istana Pagaruyung, Tuan Bujang memperlihatkan keistimewaannya sehingga Yamtuan Sakti menyukai putera Sultan Johor itu dan langsung membawa kepada bundanya Puteri Jilan. Maka dididiklah Tuan Bujang sebagaimana layaknya putera Raja. Setelah berumur 13 tahun, Tuan Bujang (Raja Kecik) dibawa berlayar dan berniaga ke Jambi, Rawas, Lemabang dan Palembang. Bukan hanya itu, Raja Kecik juga mengabdi kepada Sultan Lema Abang sebagai penjawat tepak sirih, terjadilah beberapa peristiwa aneh yaitu Sultan Lema Abang merasa badannya sakit. Hal ini diyakini karena tuah dan daulat yang dimiliki oleh Raja Kecik lebih tinggi dari Sultan Lema Abang  (Hooker, 1991: 145-146); (Hashim, 1992: 111-112).



Kedua, analisis hipogram
. Dari beberapa analisis perbandingan di atas, jelas terlihat dan terdapat hubungan yang kuat antara novel Megat dengan Hikayat Siak. Kehadiran tokoh Tengku Adinda yang menyakini sebagai keluarga keturunan Raja Kecik dari jalur Sultan Yahya (Siak) yang mangkat di Dungun Terengganu, memperkuat tesis tersebut. Hal tersebut secara deskriptif tersurat dari email Tengku Nizami dari Siak. Malahan terlihat sekali sikap Adinda tidak menyukai sumber Tuhfat al-Nafis karena selalu menggunakan kata “konon” ketika membicarakan Raja Kecik.



“Oh, buku itu lagi.Ok, asalkan bukan Tuhfat al-Nafis versi Riau,” sambar Adinda sambil tertawa lebar.” ...

Bagi Adinda, soal Raja Kecik putera Minangkabau atau bukan, baginya sama urgennya dengan apakah Mahmud Syah berdarah Melaka atau tidak, karena itulah inti disertasinya.

“Dia ingin membantah pendapat tentang Raja Kecik bukan putera Mahmud Syah, dan Mahmud Syah bukan berdarah Melaka murni itu, karena pendapat itu masih banyak dipakai sebagai sumber sejarah di Malaaysia, dan penulis-penulis asing dari Belanda dan Australia juga.” 


“Tuhfat al-Nafis, tidak eksplisit mengatakan Raja Kecik keturunan  Minangkabau,” Megat mencoba meluruskan kesimpulan Adinda (Liamsi, 2017: 117-118).

Dari penjelasan dan kutipan di atas, terdapat hipogram di antara novel Megat dengan Hikayat Siak dan Tuhfat al-Nafis dalam tiga hal yang menjadi perhatian yaitu: ekspansi, konversi dan modifikasi.



Ketiga, penafsiran
. Besar kemungkinan naskah Hikayat Siak yang dirawikan oleh Tengku Said sekitar tahun 1856 atas suruhan von de Wall, ketika itu sebagai Penolong Residen Komisi di Sukadana, Kalimantan Barat (Hashim, 1992: 7) lebih tua jika dibandingkan dengan Tuhfat al-Nafis ditulis sejak masa Raja Ahmad Engku Haji Tua, dan diselesaikan oleh anandanya Raja Ali Haji tahun 1860-an (Hooker, 1991: 6). Hal tersebut juga diungkapkan oleh Raja Ali Haji ketika beliau menyusun kitab sejarah Riau Johor Lingga Pahang tersebut bersumber kepada kitab sejarah dan siarah Johor-Riau-Pahang, Bugis dan sebelah Pulau Perca (Siak dan Minangkabau) (Hooker, 1991: 128-129). Oleh karena itu, besar kemungkinan Raja Ali Haji terpengaruh sedikit sebanyaknya dengan Hikayat Siak. Sebagai seorang yang intelektual dan pengarang yang keturunan Melayu-Bugis nan kritis, beliau meragukan beberapa fakta dalam Hikayat Siak dengan membubuhkan kata “konon” pada ungkapan yang berkaitan dengan Raja Kecik, yang mendakwa sebagai putera Sultan Mahmud Syah II Marhum Mangkat Dijulang.

Berdasarkan kenyataan tersebut, ramai pakar sejarah dan sastra di Malaysia (Hashim, 1992), Belanda (Andaya), Amerika Serikat (seperti Barnard, 1991; 1994)  dan Australia (Hooker, 1991) yang memperkuat fakta tersebut, malahan membuat tesis baru yaitu Raja Kecik merupakan putra Raja Pagaruyung, bukan putra Sultan Mahmud Syah II. Menurut mereka, dia menggunakan silsilah Marhum Mangkat Dijulang untuk mempermudahnya menguasai tahta Johor-Riau.Termasuk merayu puak Suku Laut di Johor Riau.

Dari penjelasan tentang pendurhakaan Megat Seri Rama di Johor dapat dikatakan bahwa pembunuhan Sultan Mahmud Syah II merupakan kudeta terselubung Bendahara Tun Abdul Jalil yang disokong oleh mayoritas pembesar Johor melalui balas dendam dan tangan  Megat Seri Rama.Cara kudeta ini sangat halus, seperti pepatah Melayu, “Orang lain yang makan nangka, kita dapat getahnya.” Bendahara Tun Abdul Jalil dan kerabat beserta penyokongnya yang mendapatkan hasilnya berupa tahta Johor Riau, Megat Seri Rama yang tertuduh sampai sekarang sebagai pembunuh Sultan Mahmud Syah II dan pendurhaka. Walaupun sebenarnya beliau seorang laksemana pemberani dan pembuat sejarah baru bagi bangsa Melayu, sebagaimana tesis dan pemikiran Tengku Adinda dan Megat Ismail.



3.2 Analisis Konsep Intertekstualitas


Novel Megat tersusun dari berbagai teks, baik teks lisan maupun tulisan. Namun, penulis tidak mendalami kaitannya dengan teks lisan seperti mitos dan legenda di sekitar Gunung Bentan. Kajian ini fokus kepada studi hubungan interteks antara Novel Megat dengan Hikayat Siak dan Tuhfat al-Nafis.
 
Novel ini banyak menggunakan konsep intertekstualitas. Pertama, menggunakan ekspansi, dalam penjelasan drama pembunuhan dan pendurhakaan terhadap Sultan Mahmud Syah II. Jika dalam Hikayat Siak episode  ini memerlukan + 4 halaman dan Tuhfat al-Nafis hanya memerlukan +2 halaman saja untuk menceritakan peristiwa bersejarah tersebut. Manakala novel Megat pula menjelaskan cerita tersebut dalam 24 halaman, dari halaman 3-26. Banyak sekali penyisipan dan penambahan cerita sehingga sangat dramatik sekali. Ekspansi ini dilakukan dengan sengaja untuk mengembangkan sebuah teks.

Selain itu, ekspansi terdapat dalam alasan Megat Seri Rama mendurhaka. Dalam Hikayat Siak, selain untuk melaksanakan balas dendamnya karena baginda membunuh istrinya yang sedang hamil, dan alasan untuk merajakan Bendahara Tun Abdul Jalil. Dalam Tuhfat al-Nafis tidak dijumpai penjelasan detail alasan pendurhakaan itu kecuali balas dendamnya karena baginda membunuh istrinya.Manakala dalam novel Megat, selain alasan di atas terdapat alasan lain yaitu untuk membuat sejarah baru yaitu mengembalikan daulat Johor ke Bentan, sebagaimana asalnya. Dari Sang Tri Buana yang menjadi raja di Bentan, sebelum berpindah ke Temasik (Singapura), Melaka dan Johor.

Novel ini menerapkan konsep ekserp karena menggunakan teks lain, mungkin sama dengan intisari teks baik sebahagian, suatu petikan, suatu episode, suatu aspek dari hipogram atau induk teks. Seperti yang telah dijelaskan, novel ini mengacu kepada  Hikayat Siak sebagai teks induknya, tetapi supaya lebih rencam dan komplit, juga mengambil teks lain yang berkenaan seperti Tuhfat al-Nafis, Sulalatus Salatin Sejarah Johor, dan Silsilah Melayu dan Bugis. Selain teks tradisional, pengarang juga menggunakan teks/penelitian modern sebagai pembanding seperti penelitian Haji Buyong Adil tentang Sejarah Melaka, Johor-Riau dan Pahang, Virginia Matheson Hooker tentang Tuhfat al-Nafis,Muhammad Yusoff Hashim tentang Hikayat Siak, Timothy P. Barnard tentang Raja Kecil, Abdullah Zakaria Gazali tentang Sejarah Johor-Riau-Pahang dan Mardiana Nordin dengan bukunya Politik Kerajaan Johor 1718-1862.

Penelitian sarjana-sarjana tersebut untuk memperkuat pendapat Tengku Adinda yang sedang menyiapkan desertasinya tentang “Pendurhakaan Laksemana Megat Seri Rama dan Berakhirnya Dinasti Melaka” di bawah penyeliaan Prof. Datuk Dr. Abdul Latif Abu Bakar di Universiti Durian Daun, Melaka. Selain itu, untuk menyelesaikan novel tentang Megat Seri Rama yang ditulis oleh wartawan yang mengaku keturunan Laksemana Johor itu yang bernama Megat Ismail yang berasal dari Tanjung Pinang, Provinsi Kepulauan Riau. Oleh karena kedua proses itulah, pengarang membawa kita ke pelbagai seminar, dialog dan wacana, terutama Dialog Selatan yang merupakan kegiatan Dewan Bahasa dan Pustaka (Malaysia), Seminar dan Konvensyen Dunia Melayu Dunia Islam, proyek berkala Kerajaan Negeri Melaka dan Pemda yang peduli kepada budaya Melayu Serantau seperti Riau dan Kepulauan Riau, berbagai wacana lainnya.

Pembaca dibawa berkenalan dengan pemikir Melayu kontemporer seperti Prof. Tan Sri Dr. Ismail Husein, Prof. Dr. Zainal Keling, mantan Perdana Menteri Malaysia Tun Dr. Mahathir Mohammad, Dr. Suratman Markasan, Prof. Dr. Zainal Borhan, dan lain-lain. Hal yang menarik juga, sebagai pembaca kita dibawa pengarang menelusuri jejak-jejak sejarah Johor-Riau-Pahang baik yang  ada di Pulau Bintan, Tanjung Pinang, Melaka dan Johor dengan berbagai bumbu-bumbu kontemporer dengan objek wisata, budaya, pusat bisnis, hospital dan lain-lainnya.



4.    Kesimpulan

Setelah membaca novel Megat karya Rida K. Liamsi seorang guru, wartawan, pengusaha media, pengarang sastra yang asalnya bernama Kadir Ismail, aktivis sosial budaya di Indonesia terutama di Riau dan Kepri, tak pelak lagi menampilkan karya novel sejarah yang sangat rencam dan bervariasi. Secara intertekstualitas novel ini memenuhi persyaratan. Kaya dengan sumber sejarah dan maklumat kontemporer tentang Dunia Melayu terutama Riau, Johor, Melaka dan Malaysia secara umum.

Dari kajian intertekstualitas yang telah dilakukan dengan menggunakan teks Hikayat Siak yang dirawikan oleh Tengku Said susunan Muhammad Yussof Hashim  dan Tuhfat al-Nafis karya Raja Ahmad Engku Haji Tua dan anandanya, Raja Ali Haji yang diselenggarakan oleh Virginia Matheson Hookerterdapat beberapa langkah dan konsep intertekstualitas yang digunakan pengarang. Jika dibandingkan dengan Hikayat Siak dan Tuhfat al-Nafis, terdapat banyak persamaan dan perbedaan terutama penokohan dan peristiwa yang dijumpai dalam novel Megat.

Mengenai pembunuhan dan pendurhakaan terhadap Sultan Mahmud Syah II yang dilakukan oleh Laksemana Megat Seri Rama merupakan kudeta terselubung Bendahara Tun Abdul Jalil yang disokong oleh mayoritas pembesar Johor melalui balas dendam dan tangan  Megat Seri Rama.

Novel ini digerakkan oleh cerita Tengku Adinda yang sedang menyiapkan desertasinya tentang “Pendurhakaan Laksemana Megat Seri Rama dan Berakhirnya Dinasti Melaka” dan  penyelesaian novel tentang Megat Seri Rama yang ditulis oleh wartawan yang mengaku keturunan Laksemana Johor itu yang bernama Megat Ismail yang berasal dari Tanjung Pinang, Provinsi Kepulauan Riau. Mereka juga terlibat percintaan sampai perkawinan yang belum direstui kedua orang tua mereka sampai Megat Ismail meninggal dunia karena batuk darah. Mungkin kena sumpah Sultan Mahmud Syah II.  Wallahu ‘alam bissawaf.







Daftar Pustaka


Ahmad, A. Samad (pngr.).1996. Sulalatus Salatin Sejarah Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Barnard, Timothy P.1994. Raja Kecil dan Mitos Pengabsahannya. Seri Marpoyan 2. Pekanbaru: Pusat Pengajian Melayu Universitas Islam Riau.



Becker-Lekrone, Megan.2013. Teori Sastra dan Julia Kriteva. Terj. Sunaryono Basuki. Denpasar: CV Bali Media Adhikarsa.

Endraswara, Suwardi. 2002. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Med Press.

Hashim, Muhammad Yusoff (pngr.).1992. Hikayat Siak Dirawikan oleh Tengku Said. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Hooker, Virginia Matheson.1991. Tuhfat Al-Naifis: Sejarah Melayu Islam. Terj. Ahmad Fauzi Basri.Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Hussin, Nordin (pngr).2013. Sadjarah Riouw Lingga dan Daerah Taaloqnya. Bangi: UKM Press.

Liamsi, Rida K.2007. Bulang Cahaya. Surabaya: JP Books dan Yayasan Sagang . 

Liamsi, Rida K.2016. Megat Sebuah Novel. Pekanbaru: PT Sagang Intermedia Pers.

Md. Nor, Mohd. Yusof. (pngr).1984. Salasilah Melayu dan Bugis. Petaling Jaya: Fajar Bakti Sdn. Bhd.

Nordin, Mardiana.2008. Politik Kerajaan Johor 1718-1862. Johor Bahru: Yayasan Warisan Johor.

Ratna, Nyoman Kutha.2013. Glosarium: 1,250 Entri Kajian Sastra,Seni, dan Sosial Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sikana, Mana.2005. Teori Sastera Kontemporari. Bandar Baru Bangi: Pustaka Karya.

Thukiman, Kassim.2011. Sejarah Johor dalam Pelbagai Perspektif. Johor Bahru: UTM Press.