Asep Juanda

Kearifan Lokal Dalam Novel Hamidah Karya Datuk Rida K Liamsi

Sastra Selasa, 28 September 2021
Kearifan Lokal Dalam Novel Hamidah  Karya Datuk Rida K Liamsi
Buku Hamidah

KEARIFAN LOKAL DALAM NOVEL HAMIDAH
KARYA DATUK RIDA K LIAMSI

 

Asep Juanda

Provinsi Kepulauan Riau

Abstrak

Tulisan ini bertujuan untuk memeroleh jenis kearifan lokal yang terdapat dalam novel Hamidah karya Rida K. Liamsi. Pengkajian pada novel ini menggunakan metode deskriptif analisis. Hasil pengkajian mendapatkan beberpa jenis kearifan local, yaitu keraifan lokal peduli lingkungan, kearifan lokal pendidikan, kearifan lokal komitmen, kearifan lokal kedamaian, kearifan lokal komitmen dan disiplin, kearifan lokal kesehatan, kearifan lokal kesejahteraan, kearifan lokal kerukunan dan penyelesaian konflik dan kedamaian, kearifan lokal pelestarian dan kreativitas budaya/ peduli lingkungan, dan kearifan lokal rasa syukur.

 

Kata kunci: Novel Hamidah, Kerajaan Lingga, dan kearifan local

 

PENDAHULUAN

Novel merupakan salah satu karya sastra dalam bentuk prosa. Panjang cerita dan isi novel lebih panjang dan variatif jika dibandingkan dengan cerita pendek (cerpen). Penulis novel lebih leluasa dalam menuangkan ide dan gagasannya sehingga isi novel lebih kompleks dibandingkan dengan cerpen. Menurut Abrams (dalam Purba, 2010: 62) bahwa istilah novel dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Inggris. Sebelumnya istilah novel dalam bahasa Inggris berasal dari bahasa Itali, yaitu novella (yang dalam bahasa Jerman: novella). Novella diartikan sebuah barang baru yang kecil, kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa.” Novel mengungkapkan konflik kehidupan para tokohnya secara lebih mendalam dan halus. Selain tokoh-tokoh, serangkaian peristiwa dan latar ditampilkan secara tersusun hingga bentuknya lebih panjang dibandingkan dengan prosa rekaan yang lain. Novel pada hakikatnya adalah cerita karena di dalamnya terkandung tujuan untuk memberikan hiburan kepada pembacanya.

Selain sebagai salah satu media untuk hiburan untuk pembacanya, novel pun dapat berfungsi sebagai media penyampai pendidikan, sejarah, pewarisan adat-istiadat, dan hal-hal lainnya yang mengadung konotasi baik. Novel yang cenderung mengutamakan isi hiburannya dan tidak terlalu menguras daya intelektual pembacanya dapat dikatakan sebagai novel populer, sedangkan novel yang isinya cenderung menguras daya intelektual pembacanya daripada hiburan dinamakan novel serius. Novel populer maupun novel serius ada yang baik dan ada juga yang kurang baik. Hal itu sebagaimana pendapat Mahayana (2008) bahwa seperti juga novel serius, novel populer pun ada yang disajikan secara baik, ada pula yang tidak. Ada novel populer yang bagus, ada pula yang buruk. Meskipun demikian, menurut para pakar kebudayaan populer (popular culture), novel populer dan semua karya kebudayaan populer, berangkat dari niat komersial. Tujuan utamanya adalah menghasilkan sesuatu yang bersifat materi. Mengingat tujuan utamanya komersial maka karya-karya populer ditujukan untuk berbagai lapisan masyarakat. Guna mencapai sasaran itu, unsur hiburan menduduki tempat yang sangat penting.

Novel Hamidah termasuk novel serius, salah satu novel tetrologi karya Rida K Liamsi. Novel tersebut diluncurkan pada September di Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau sehingga novel itu merupakan karyanya yang termutakhir. Novel-novel sebelumnya yang dihasilkan oleh Rida K Liamsi, yaitu Bulang Cahaya (2007), Megat (2016), Mahmud Sang Pembangkang (2016), dan Selak Bidai, Lepak Subang Tun Iran (2018).

Sebagai seorang sastrawan atau budayawan nasional, khususnya sebagai sastrawan ternama di Kepulauan Riau dan sekaligus sebagai kebanggaan masyarakat Tanah Bunda Melayu, dengan ketokohan dan kedatukkannya, Rida K Liamsi berupaya mengeksplorasi keunggulan yang dimiliki Kepulauan Riau (Kepri), di antaranya alam berupa kemaritiman dan kebudayaan yang bersumber dari kerajaan yang pernah berjaya di Tanah Melayu, yaitu Kerajaan Lingga. Hal tersebut dapat saja sebagai salah satu upaya menanamkan pewarisan kemelayuan yang berada di Riau Kepulauan dari seorang tokoh kepada masyarakat Kepri, khususnya kepada generasi penerusnya melalui karya sastra. Pada akhirnya pewarisan pengetahuan, sejarah, budaya, dan segala hal yang menyangkut kemelayuan tersebut dapat dinikmati juga oleh masyarakat luas (penikmat karya sastra di luar Kepri).

Dalam karya sastra, khususnya dalam novel Hamidah--yang berbasis sejarah, kebudayaan, dan kerajaan--tentu di dalamnya terdapat kearifan lokal atau pandangan hidup yang dapat digali dan dimunculkan sehingga dapat menjadi salah satu sumber pegangan dalam kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi bagi masyarakat. Menurut Fananie (2001: 133), bahwa karya sastra seringkali tampak terikat dengan momen khusus dalam sejarah masyarakat. Dalam hal ini, karya-karya mempunyai suatu fungsi pewahyuan dalam pengertian mencakup aspek-aspek kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya.

Kearifan lokal atau local genius merupakan istilah yang diperkenalkan oleh Wales (Ayatrohaedi, 1986:30), yaitu the sun of the cultural characteristics which the vast majority of a people have ini common as a result of their experiences in early life. Sementara itu menurut Fazarani (2014:123) kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Dalam bahasa asing sering juga dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat (local wisdom) atau pengetahuan setempat (local knowledge) atau kecerdasan setempat (local genious). Sejalan dengan itu menurut Alfian (2013:238) bahwa kearifan lokal merupakan pandangan hidup, pengetahuan, dan berbagai strategi kehidupan yang dilakukan oleh masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhan mereka. Adapun menurut Sibarani (2014: 115) bahwa kearifan lokal (local wisdom) adalah nilai budaya lokal yang dapat dimanfaatkan untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat secara arif atau bijaksana.

Kearifal lokal menurut Pudentia (2013:11) bahwa kearifan lokal merupakan pengetahuan tradisional yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya dan pada umumnya diwariskan dalam lingkungan keluarga secara lisan, baik dengan tuturan maupun melalui ritual, upacara, dan sarana lainnya. Selain itu, Wibowo (2015:17) menyatakan bahwa kearifan lokal adalah indentitas atau kepribadian sebuah bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap atau mengolah kebudayaan dari luar sebagai bagian dari muatan lokal. Identitas atau kepribadian tersebut dapat berfungsi sebagai akar dalam kehidupan masyarakat untuk membentengi diri dari pengaruh buruk kekuatan asing. Demikian juga menurut Wales kearifan lokal adalah kemampuan kebudayaan setempat dalam Menghadapi pengaruh kebudayaan asing pada waktu kebudayaan itu berhubungan (Rosidi, 2011:29).

Menurut Sibarani (2014: 130), kearifan lokal adalah nilai dan norma budaya yang menjadi acuan tingkah laku manusia untuk menata kehidupan. Sementara itu dalam menata kehidupan tentunya harus mempunyai sikap hidup sehingga kehidupannya mempunyai makna yang lebih baik dan lebih tertata. Untuk lebih jelasnya mengenai sikap hidup ini dapat dilihat pada pendapat Pranowo(2003:280) yang menyatakan bahwa sikap hidup adalah cara seseorang memberi makna terhadap kehidupannya. Sikap hidup ini diperlihatkan untuk diri sendiri atau untuk orang lain yang berstatus sosial lebih tinggi, seperti pimpinan, atasan, atau orang tua.

Dari berbagai pendapat mengenai kearifan lokal di atas, dapat diartikan pula bahwa kearifan lokal merupakan pandangan hidup, norma-norma, budaya, dan nilai-nilai yang dihasilkan oleh masyarakat setempat yang diwariskan turun temurun dengan secara lisan kepada generasi penerusnya untuk memeroleh kehidupan yang baik, dapat memertahankan budaya yang berkonotasi atau mempunyai tujuan yang baik, dan menangkal pengaruh-pengaruh asing yang dianggap dapat merusak tatanan kehidupannya yang dainggap telah baik.

Melalui kearifan lokal akan terbangun budaya secara individual dan sosial di masyarakat yang pada akhirnya dapat mewujudkan watak kebudayaan suatu bangsa atau jati diri bangsa yang pada akhirnya akan terlihat sebagai karakter bangsa. Sejalan dengan ini sebagaimana pendapat Lubis (2008:40) bahwa jati diri bangsa adalah watak kebudayaan (cultural character) yang berfungsi sebagai pembangunan karakter bangsa. Kearifan lokal merupakan gagasan konseptual yang hidup dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang secara terus menerus dalam kesadaran masyarakat dari yang sifatnya berkaitan dengan kehidupan yang sakral sampai dengan kehidupan yang profan.

Menurut Sibarani (2014: 135) bahwa jenis-jenis kearifan lokal itu antara lain (1) kesejahteraan, (2) kerja keras, (3) disiplin, (4) pendidikan, (5) kesehatan, (6) gotong royong, (7) pengelolaan gender, (8) pelestarian dan kretivitas budaya, (9) peduli lingkungan, (10) kedamaian, (11) kesopansantunan, (12) kejujuran, (13) kesetiakawanan sosial, (14) kerukunan dan penyelesaian konflik, (15) komitmen, (16) pikiran positif, dan (17) rasa syukur.

Berdasarkan hal-hal di atas maka makalah ini akan mencoba mengungkap jenis-jenis kearifan lokal yang terdapat dalam novel Hamidah karya Rida K Liamsi.

 

PEMBAHASAN

Beberapa kearifan lokal yang terdapat dalam novel Hamidah dapat dibahas sebagai berikut.

  1. Keraifan lokal peduli lingkungan. Keberadaan pulau Lingga sudah lama dikenal banyak orang baik oleh masyarakat di Nusantara maupun para pendatang dari luar Nusantara, di antaranya panglima Chengho dari Cina. Hal itu sebagaimana pada kutipan berikut.

“Lingga ini memang pulau yang bersejarah. Sudah lama dikenal orang, terutama para pelayar dan saudagar yang berlayar membawa dagangan mereka dari Pulau Jawa di arah selatan menuju negeri Siam atau Cina di Utara. Pulau Lingga dengan Gunung Daiknya itu menjadi semacam mercu penunjuk arah perjalanan. Nama Gunung Daik pun dahulu disebut Gunung Lengge atau gigi naga karena gunung itu bercabang tiga, seperti gigi naga. Konon dahulunya Laksmana Chengho yang sangat tersohor dari Kerajaan Cina pernah singgah di pantai Lingga dan memerintahkan anak buahnya untuk mencari gamat (teripang) emas di laut Lingga itu untuk berobat Kaisar Cina.” Begitu cerita Raja Tua Andak. (Hal. 8).

Pulau Lingga dengan ciri khas alamnya, yaitu gunung Daik dan laut membuat para pelaut untuk singgah. Di antaranya panglima Chengho dari Cina, seorang panglima Cina yang terkenal sampai saat ini.

Gunung Daik dan kekayaan alam di laut menjadi daya tarik tersendiri di pulau Lingga. Jika kearifan lokal kepedulian terhadap lingkungan tersebut terus dijaga bahkan ditingkatkan, dimungkinkan dapat membantu meningkatkan perekonomian, kesejahteraan, dan keeksisan pulau Lingga.

 

  1. Kearifan lokal pendidikan.

Raja Tua Andak sebagai pemangku adat di kerajaan Lingga mempunyai wawasan yang sangat luas. Pengetahuannya tersebut tentunya diperoleh melalui proses pendidikan. Pendidikan sesuai zamannya. Hal itu dapat diketahui sebagaimana dalam kutipan berikut.

  1. Raja Tua Andak ini punya pengetahuan yang luas dan banyak tahu tentang sejarah kerajaan-kerajaan yang ada di kawasan semenanjung itu. Karena selain keturunan dari bangsawan Bugis yang telah datang ke Kerajaan Riau Lingga sejak awal bersamaan dengan berdirinya kerajaan ini, dia juga seorang yang punya pergaulan luas dan rajin bertanya ke mana-mana. Menguasai masalah adat-istiadat, terutama dalam hal pemerintahan. (Hal 9).
  2. Di sebelah hulu, ada bekas istana Kota Piring, istana tempat Yang Dipertuan Muda Raja Haji Fisabilillah bersemayam, sebelum terjadi perang besar melawan Belanda. Di istana itulah Hamidah dan adik beradiknya lahir dan dibesarkan sampai dia berusia 16 tahun. Gadis muda yang cerdas. Pandai mengaji. Belajar cara hidup dalam istana. (Hal. 40).

 

Sebuah peribahasa menyatakan bahwa malu bertanya sesat di jalan. Salah satu makna dari peribahasa tersebut tentunya luas, tidak hanya bertanya untuk memperjelas arah tujuan suatu perjalanan agar tiba dengan baik di tempat tujuan. Namun, segala hal yang berkaitan dengan kehidupan, salah satunya mengenai adat-istiadat dan pemerintahan. Hal itu tentunya agar tercipta kehidupan di masyarakat dan pemerintahan yang lebih baik daripada sebelumnya. Bertanya merupakan salah satu metode pendalaman sebuh ilmu pengetahuan (point a).

 

Pendidikan nonformal menjadi salah satu alternatif transfer ilmu yang masih diperhitungkan dari dahulu--masa kerajaan di Nusantara--sampai dengan sekarang. Pada masa kerajaan Lingga pun demikian sebagaimana yang terdapat pada kutipan di atas (pada point b).

 

  1. Kearifan lokal komitmen

Tapi beberapa tahun kemudian, Sultan Mansyur telah menghukum putera tertuanya Raja Muhammad dan menyingkirkannya ke Pahang. Karena anaknya ini meskipun sangat disayanginya, tetapi telah bersalah, membunuh anak Tun Perak, bendahara Paduka Raja Melaka yang sangat disegani oleh Mansyur Syah. Raja Muhammad dijadikan Sultan di Pahang, tetapi harus tunduk kepada Malaka. ( Hal. 10).

Sebuah keputusan yang sangat berat hati bagi orang tua untuk menghukum kesalahan dari anaknya. Namun, keputusan itu harus dilaksanakan juga, keadilan harus tetap ditegakkan. Hal itu sebagai komitmen seorang petinggi dalam menegakkan yang salah harus dihukum salah dan mendapatkan sanksi. Yang benar dihukum benar dan mendapatkan perlindungan keamanan, bahkan mendapatkan kebaikkan. Terlebih jika kesalahan yang sangat besar berupa menghilangkan nyawa orang. Petinggi Sultan Mansyur sebagai petinggi Melayu melaksanakan komitmen terhadap hukum tersebut walaupun terhadap anak kandungnya.

  1. Kearifan lokal kedamaian

Ketika Kerajaan Riau kalah perang melawan Belanda dan Belanda terus menerus mengancam keselamatan Ibu Kota Kerajaan Riau di Ulu Riau, maka Sultan Riau Mahmud Riayat Syah, cicit dari Sultan Abdul Jalil Riayat Syah, memindahkan Ibu kotanya ke Lingga, karena Lingga lebih aman dan sulit dimasuki armada perang musuh. “ begitu Raja Tua Andak bercerita nyaris sepanjang malam menjelang keberangkatan Raja Hamidah ke Lingga. (Hal. 11).

Salah satu peran petinggi kerajaan adalah memastikan pemerintahan dalam keadaan stabil dan masyarakat dalam keadaan aman. Jika kerajaan dalam kondisi stabil maka dapat dipastikan keadaan masyarakatpun akan merasa tentram karena ada “payung” untuk melindungi hidupnya. Hal itu pula yang dilakukan oleh Sultan Mahmud memindahkan pusat pemerintahan ke pulau Lingga. Akases masuk ke Lingga harus melalui beberapa pulau. Pulau-pulau tersebut dijadikan Sultan Mahmud sebagai benteng alam dan disediakan parajurit persenjataan yang diperlukan. Oleh sebab itu, pihak-pihak yang akan menyerang pusat pemerintahan Kerajaan Lingga semakin sulit untuk memasukinya.

 

  1. Kearifan lokal komitmen dan disiplin.
  1. Hamidah bergolek resah. Sesekali matanya menyambar peti-peti kayu jati yang berjajar di belakang dipannya. Peti-peti berisi barang pusaka, keramat. Regalia Kerajaan Lingga, Riau, Johor, dan Pahang. Mahkota, sirih besar, gendang nobat, serunai, pedang, selempang, dan rantai sandang. Itulah Regalia pusaka kerajaan, perangkat sakral bila seorang raja akan ditabal atau upacara kebesaran kerajaan lainnya yang mengharuskan semua perangkat keramat itu dikeluarkan. Takkan sah secara adat jika tidak memakai Regalia. Cacat, sumbang dan kualat!(Hal. 14).

 

  1. Di negeri Melayu, gendang, nobat, dan serunai bila dibunyikan maka semua rakyat akan tunduk dan menyembah. Siapapun yang memegang nobat, dialah raja, dialah sultan. Dialah penguasa yang berdaulat dan disembah rakyat.(Hal 15).

 

  1. Tentang bala dan petaka yang melekat pada regialia itu. Pada sumpah setia orang Melayu, seperti diijabahkan Sang Sapurba dan Demang Lebar Daun, di Bukit Siguntang:

“Barang siapa hamba Melayu derhaka, mengubah janjinya dengan rajanya, dibalikkan oleh Allah Ta’ala bumbung rumahnya ke bawah dan kaki tiangnya ke atas…” demikian juga, jikalau Raja Melayu mengubah janjinya dengan hamba Melayu, dibinasakan Allah Ta’ala negeri dan tahta kerajaannya…” (Hal 16).

 

Dalam suatu pemerintahan atau kerajaan sangat penting adanya komitmen dan disiplin, baik pengelolanya/pemerintahnya maupun rakyatnya. Satu hal yang tidak dapat dilupakan adanya pegangan atau pedoman yang harus dilaksanakan dengan komitmen tertentu, baik undang-undang berupa dokumen ataupun melalui peralatan tertentu di sebuah kerajaan, misalnya benda-benda yang dianggap sakral dan diyakini masyarakatnya sebagai simbol pemerintahan. Pada Kerajaan Lingga terdapat itu, di antaranya yang dinamakan ­Regalia Pusaka Kerajaan. Masyarakatnya mempunyai komitmen terhadap regalia tersebut dan melaksanakannya secara disiplin walaupun dalam keadaan perang. Komitmen dan disiplin tersebut telah disepakati bersama antara pemerintah kerajaan dan rakyatnya melalui sebuah perjanjian atau sumpah.

 

  1. Kearifan lokal kesehatan.

“Itulah sebenarnya yang ingin Kakanda sampaikan” lanjut Raja Ali perlahan. Melipat sirih. Mengunyahnya. Dan berdehem. Membetulkan silanya. Meneguk kopi Kelantan yang kental dan pahit, minuman kesukaannya, yang dihidangkan isterinya, di samping secangkir air putih. (Hal. 30).

Secara medis banyak dibuktikan bahwa daun sirih mempunyai dampak yang baik untuk kesehatan. Hal itupun telah terbukti dari zaman dahulu, termasuk pada masa kerajaan Lingga. Dengan cara dikunyah, yaitu dengan melipat daun sirih yang sudah dibersihkan dan disertai sedikit kapur kemudian dikunyah dan sisa-sisa kunyahan tersebut dibuang pada tempat tertentu. Hal itu diyakini mempunyai dampak yang baik bagi kesehatan gigi dan lambung.

 

  1. Kearifan lokal kesejahteraan.

Raja Ali lama terdiam. Ruang tengah istana senyap. Istana itu dibangun dari kayu resak. Rumah panggung beratap sirap. Bertingkap banyak seperti rumah-rumah bangsawan Bugis di Luwu. Ruang tengan itu tampak lengang. ( Hal. 32).

Status kepemilikan rumah dan jenis bangunan rumah dapat menjadi sebuah tanda kesejahteraan tertentu suatu masyarakat. Hal itu paling tidak sebagaimana yang terdapat pada kutipan di atas.

 

  1. Kearifan lokal kerukunan dan penyelesaian konflik dan kedamaian.

“Jangan pikirkan perkawinan itu,” kata Raja Ali lagi,” Soal bahagia atau tidak bahagia. Berserah diri sajalah kepada Allah. Ini nikahul siasah. Kita pihak Bugis memberi amanah kepada Adinda untuk menjadi penjaga keselamatan pihak Bugis.

Jangan sampai kita hanya dipandang sebelah mata. Jangan pihak Bugis disia-sia. Di tangan adinda nasib kita pihak Bugis dan saudara maranya, diletakkan agar terus ditimang dan ditimbang dan diperhitungkan.”Suara Raja Ali terdengar keras dan tegas, sekan sebuah perintah. (Hal. 37).

Pernikahan tidak hanya untuk menyatukan dua orang yang berbeda jenis ke dalam suatu hubungan yang dipandang sah dalam pandangan masyarakat beragama dan taat kepada peraturan negara. Namun selain itu, dapat menjadi salah satu cara untuk mempererta hubungan baik dua kelompok masyarakat, bahkan dapat menyatukan dua kelompok masyarakat yang bertikai. Hal itu pula yang dilakukan keluarga besar dari pihak keturunan Melayu Riau dan Bugis. Untuk menjaga keharmonisan hubungan kedua etnis ini salah satu hal yang dilaksanakan adalah dengan pernikahan, walaupun itu disukai atau tidak disukai oleh kedua calon mempelainya.

  1. Kearifan lokal pelestarian dan kreativitas budaya/ peduli lingkungan.
  1. Pulau Pasir yang ditumbuhi hanya sebatang pohon perepat. Pohon perepat selalu jadi isyarat, jika berdaun lebat maka rakyat dan Kerajaan Riau, makmur. Sebaliknya kalau pohon itu meranggas, maka kerajaan Riau, penuh kesusahan dan dikepung bahaya. Rajanya, saling bertikai dan berebut kuasa. ( Hal. 41).
  2. Pukul gong dan beri tahu kabar duka ini, biar rakyat tahu,” perintah Engku Puteri. Bentara Dalam, Raja Ya’kub berlari menembus subuh, ke pintu istana, memerintahkan pegawai memukul gong.

Suara gong bertalu-talu. Panjang. Terus menerus, petanda ada kabar duka. Raja mangkat. ( Hal.156).

  1. Mengapa dinamakan Penyengat?” Tanya Hamidah menyela. “Konon kabarnya ada pelaut yang sedang mengambil air perbekalan mereka, di pulau ini, dan kemudian diserang ratusan ekor penyengat, yang kemudian mengigit mereka sehingga muka dan badan mereka bengkak-bengkak. Bisa dan merekapun demam. Sesudah itu kalau mereka akan mengambil air lagi ke pulau ini, mereka menyebutnya pergi ke pulau penyengat.”Cerita Raja Tua Andak. (Hal. 195).

 

Pada konteks tertentu, alam dapat memberikan pemberitahuan secara tidak langsung mengenai keadaan sesuatu. Dipercaya atau tidak, bagi masyarakat terrtentu mempunyai suatu keyakinan kepada hal tersebut, misalnya akan datangnya musim kemarau, musim hujan, arah perjalanan, dan sebagainya. Pada kutipan di atas, tampak bahwa petinggi kerjaan Lingga atau sebagian masyarakat menemukan tanda alam mengenai kondisi kerajaan. Sebagaimana pada kutipan poin a.

Atas daya cipta kearifan lokal yang dimiliki manusia, dapat dibuat juga alat pemberitahuan, di antaranya gong. Dengan memukul gong beberapa kali yang telah disepakati atau diketahui bersama sehingga memunculkan jenis bunyi atau jumlah bunyinya maka masyarakat yang mendengar akan mengetahui tujuan jenis pemberitahuan dari jumlah bunyi gong tersebut. Hal itu sebagaimana pada kutipan di atas pada poin b.

Pada poin c, kutipan tersebut memberitahukan asal-usul nama pulau yang dihadiahkan oleh Sultan Mahmud kroada Engku Puteri Hamdidah.

 

  1. Kearifan lokal rasa syukur.

Engku puteri tersenyum di sisi kanan Sutan Mahmud. Setelah selesai upacara tepung tawar dan doa selamat, Engku Puteri pun dipersilakan ke luar, ke beranda depan istana, berhadapan dengan rakyat banyak yang memenuhi halaman istana, meskipun berada di balik pagar besi yang kukuh.

Hamidah terus melakukan upacara berbagi rezeki dan kasih saying dengan rakyatnya. Di pelataran halaman istana, Raja Hamidah menaburkan beras kunyit dan uang-uang logam ke tengah halaman tempat rakyat berkumpul, dan anak-anak bertepuk sorak. (Hal. 78).

 

 

SIMPULAN

Novel Hamidah karya Rida K. Liamsi termasuk novel serius. Novel tersebut berlatar sejarah. Bagi pembaca yang tidak mengenal sejarah kerajaan Lingga dapat dipastikan bahwa ketika mulai membacanya akan mengalami kesulitan untuk memahaminya. Pada novel tersebut banyak disebut nama dan hampir-hampir mirip. Terlebih banyak gelar yang disematkan ke pada beberapa nama: ada sultan, raja, engku, dsb. Namun bagi pembaca yang sudah mempunyai pengetahuan dasar mengenai kerajaan Lingga, kesulitan tersebut dapat terhindari.

Novel sebagai salah satu karya sastra dapat memberikan suatu ajaran bagi pembacanya, Salah satunya mengenai pandangan hidup atau kearifan lokal. Hal itu baik disadari secara langsung maupun tidak. Terlebih pada novel serius sebagaimanapada novel Hamidah karya Rida K. Liamsi. Di antara kearifan lokalnya sebagai berikut: keraifan lokal peduli lingkungan, kearifan lokal pendidikan, kearifan lokal komitmen, kearifan lokal kedamaian, kearifan lokal komitmen dan disiplin, kearifan lokal kesehatan, kearifan lokal kesejahteraan, kearifan lokal kerukunan dan penyelesaian konflik dan kedamaian, kearifan lokal pelestarian dan kreativitas budaya/ peduli lingkungan, dan kearifan lokal rasa syukur.

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Alfian, M. (2013). “Potensi Kearifan Lokal dalam Pembentukan Jati Diri dan Karakter

Bangsa”. Jurnal International Conference on Indonesian Studies, (daring).

Ayatrohaedi. 1986. Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Pustaka Pelajar

Fajarini, U. (2014). Peranan Kearifan Lokal dalam Pendidikan Karakter. Jurnal Didaktika

(daring).

Liamsi, K Rida.2021. Hamidah (Sebuah Novel). Tanjungpinang: Milaz Grafika.

Lubis, B. Z. 2008. “Potensi Budaya dan Kearifan Lokal sebagai Modal Dasar Membangun

Jati Diri Bangsa”. Dalam Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial. Vol 9.

M.P.S.S., Pudentia 2013. “Kearifan Lokal Sebagai Kekuatan Kultural Membentuk

Peradaban” dalam prosiding Mengoptimalkan Potensi Kearifan Lokal dalam Pembelajaran Bahasa, Sastra, Seni, dan Budaya. Pontianak: STAIN Pontianak Press.

Mahayana, Maman. 2008. Novel popular dan novel serius. https://sastra- indonesia.com/2008/12/novel-populer-dan-novel-serius/ diakses tanggal 17

September 2021.

 

Purba, Antilan. 2010. Sastra Kontemporer. Yogyakarta: Graha Ilmu.

 

<< UNDUH VERSI POWER POINT >>