Senin, 14 Oktober 2024
Davitt Matthew, seorang pengacara berkebangsaan Amerika yang sedang melakukan penelitian tentang ikan Hiu, mengirim email kepada saya, dan bertanya beberapa hal tentang puisi saya : Tempuling, Kemejan dan Pancang Nibung. Saya rasa dia seorang pejuang konservasi alam, yang sedang berjuang untuk menyelamatkan ikan hiu.
Dia tidak menjelaskan di mana dia membaca puisi saya itu, apakah melalui internet atau dari buku puisi saya. Tetapi saya senang puisi itu ada yang tertarik dan saya ingin menjelaskan berbagai latar penulisan puisi itu .
Pertama , yang dia ingin tahu adalah, apa makna dari prasa: Hanya waktu yang mencabut mu dari terumbu. Apakah itu petanda kemejan pindah ke tempat lain atau kepermukaan laut sehingga dengan mudah ditangkap nelayan ?
Tentang prasa , “ Hanya waktu yang mencabutmu dari terumbu “ dalam puisi Pancang Nibung ( satu ), saya katakan , Pancang nibung itu penanda lubuk dimana kemejan hidup dan berbiak pada musim tertentu. Karena itu hiu kemejan tidak ditangkap sepanjang musim, meskipun bisa saja dengan alat-alat tertentu. Sementara di mana tempat mencacak pancang nibung itu, hanya nelayan yang ahli yang tahu. Karena itu pancang dan lubuk itu hak pribadi nelayan yang menemukan lubuk dan mencacak pancangnya . Tak boleh nelayan lain mengail atau menangkap ikan di sana, tanpa izinnya. Di kampung kelahiran saya, Bakong, terkenal sebuah lubuk kemejan, namanya Lubuk Cuk Alek. Entah sudah berapa banyak kemejan yang ditangkap di situ.
Jika pancang nibung sudah tercacak di lubuk itu, maka sepanjang hayat pancang itu akan tetap di situ. Hanya waktu yang akan mencabutnya . Karena pancangnya tercacak dalam pada terumbu karang. Tak tercabut meski digoyang arus. Makin digoyang, makin dalam tertancap. Pancang di tengah laut itu seperti sebuah lukisan . Seekor camar hinggap dan kemudian pergi. Sebuah perahu bertambat di sana dan seorang pengail kemejan, melempat pancingnya dan menunggu kemejan menyambarnya. Berjam-jam, berhari-hari menunggu. Sebelum sebuah sentakan akan mengejutkan pengail, dan kemudian mereka akan bertarung, hidup dan mati. Sebelum salah diantaranya takluk dan menyerah.
Tak ada hubungan pancang nibung dengan berpindahnya kemejan ke permukaan atau ke bagian laut yang lain. Sebab kemejan ini hanya ada dan ditangkap di lubuk itu. Kalau pun dia akan mati, dia akan kembali ke lubuk itu juga. Kalau pun ada yang terdampar di pantai, tandanya kemejannya sudah mati lebih dahulu di lubuknya.Dikalahkan oleh pengailnya, dengan menikam tengkuk kemejan dengan tempulingnya. Dan kemejan akan menyeret perahu nelayan itu, ke tengah laut. Dan jadi kan dia kalah lelah, dia akan kembali ke lubuknya. Dan pengail akan menyeretnya menuju pantai. Se kampung akan berbagi daging kemejan, persediaan mereka menghadapi musim sakal.
Kedua, mengapa kemejan ditangkap ? Kemejan adalah jenis hiu terbesar di kawasan laut kepulauan Riau, di laut dalam yang berkarang. Seekor kemejan bisa lebih 100 kg beratnya . Kalau dapat menangkap seekor kemejan, maka berarti bisa mendapat persediaan makanan lebih 3 bulan untuk menghadapi musim pacakelik bagi nelayan, yaitu musim sakal ( oktober sampai desember ). Daging nya akan di potong kecil-kecil, selain untuk kepentingan sendiri, juga dibagi juga dengan tetangga lain, se kampung. Daging itu di salai di atas para ( ini cara dan tempat yang secara tradisional memanggang dan mengawetkan daging kemejan) . Nanti daging salai itu akan dimakan sedikit sedikit . Disayat dan digulai ( biasanya ditambah dengan daging pisang muda dan menjadi gulai lemak pusang muda ).
Menangkap Kemejan merupakan perburuan, meskipun hiunya tidak sebesar paus. Tapi kalau kail ditariknya , sampan nelayan bisa berputar-putar dan terseret jauh ke tengah lautan. Nah untuk menaklukkannya harus ditombak dengan tempuling. Tombak bermata satu. Seperti novel “ The old man on the seanya “ Hamingway . Banyak nelayan tak pulang dan tewas di laut , meskipun akhirnya nelayan, temupuling, kemejan dan sampannya terdampar di pantai. Seperti puisi saya “ Tempuling “ :
Sebatang tempuling tersadai di gigi pantai sehabis badai. Seorang bocah menemukannya sehabis sekolah. Tuhan, siapa lagi kini telah menyerah ......dst
Ketiga, apakah para pengail kemejan itu orang suku Laut ? Penangkap atau pengail kemejan, bukan orang suku Laut , tapi Orang Sekanak. Orang Melayu tua. Orang suku laut adalah bahagian dari orang Sekanak . Mereka berasal dari Palembang, dari sebuah tempat di sungai Musi. Dan sudah terkenal sejak zaman Sriwijaya dan kerajaan Melayu Bukit Siguntang. Tugas mereka adalah pengawal kerajaan, sebagai lasykar angkatan laut , orang kerahan, dan para pendekar. Ceritanya bisa ditemukan dalam buku “ Early Kingdom nya Paul Michael Munoz “. Sekarang mereka bermukim di pulau Singkep, Posek , Alang Tiga, Sebangka dan lainnya. Dalam peta tua Belanda ada yang namanya Teluk Sekanak. Teluk di utara pulau Singkep yang bentuknya seperti sebuah poci ( klik Jantungmelayu.co cari tulisan sejarawan Aswandi Syahri )
Keempat, Apakah hiu kemejan itu memang mempunyai taring ? Tidak, Dalam pengertian taring runcing seperti taring harimau. Tapi gigi runcing sebagai taring, seperti ikan hiu lainnya , memang ada. Diksi taring dalam puisi saya, lebih pada simbol perjuangan kemejan mempertahankan dirinya . Tapi gigi Kemejan, tulang kemejan dan semuanya bagian tubuhnya, berguna. Tulang nya , untuk dibuat pipa rokok, cincin, dan handy craft lainnya. Ada antioksidannya di serat dan tulang kemejan. Sama seperti ikan duyung (dugong).
Tentang prasa “amis musim“ pun hanya penanda isyarat. Amis memang bau anyir laut, anyir ikan, anyir musim. Di masarakat suku Sekanak mereka akan menemukan firasat pada musim. Bau laut. Pada musim sakal , laut sangat berbahaya dan kotor karena ada biota laut yang tercerabut lalu hanyut dan menimbulkan bau. Tapi amis musim dalam puisi saya adalah isyarat tentang bahaya, bala, kematian dan kekalahan. Hanya nelayan yang piawai yang tahu isyarat musim. Tentang anyir dan amis musim.
Setiap mereka turun ke laut bersama sampannya, melempar kailnya ke lubuk kemejan, mereka akan memandang ke langit . Melihat awan, menangkap tanda-tanda alam. Apakah kemejan akan menyambar kail, apakah kemejan akan menyeretnya ke laut dalam, apakah dia akan memenangkan pertarungan dalam perburuan itu. Alam akan memberi isyarat, termasuk bau anyir musim. Dan mungkin saja dia kalah :
“ Sebatang tempuling tersadai di bibir pantai, sehabis badai. Seorang bocah merasakan pelupuknya basah . Tuhan, kirimkanlah sesorang untuk menemukannya, menguburkanya di antara pantai. Dan memberikan sebuah tanda.Dan jangan biarkan arus membawanya ke lubuk dalam yang aku pun tak tahu dimana akan aku tuliskan rindu ku ..,,,,,”
Itulah penggalan puisi Tempuling itu. Baca juga puisi pancang nibung, baca juga puisi Kemejan, yang terkumpul dalam antologi puisi saya, antologi dua bahasa ( Indonesia - Inggeris ), ROSE, yang tahun 2018, memenangkan anugerah buku puisi terbaik pilihan Badan Bahasa Indonesia.
2021