Oleh : Rida K Liamsi

Tempuling, Pancang Nibung, Kemejan dan Amis Musim

Sastra Minggu, 28 Juli 2024
Tempuling, Pancang Nibung, Kemejan dan Amis Musim

Davitt Matthew, seorang pengacara berkebangsaan  Amerika yang sedang melakukan penelitian tentang ikan Hiu, mengirim email kepada saya, dan bertanya beberapa hal tentang puisi saya : Tempuling,  Kemejan dan Pancang Nibung. Saya rasa dia  seorang pejuang  konservasi alam, yang sedang berjuang untuk menyelamatkan ikan hiu. 

Dia tidak menjelaskan di mana  dia membaca puisi saya itu, apakah melalui internet atau dari buku puisi saya. Tetapi saya senang puisi itu ada yang tertarik dan saya ingin menjelaskan  berbagai latar penulisan puisi itu . 

Pertama , yang dia  ingin tahu adalah, apa makna dari prasa: Hanya waktu yang mencabut  mu dari terumbu. Apakah itu petanda kemejan pindah  ke tempat lain atau kepermukaan laut sehingga dengan mudah ditangkap nelayan ? 

Tentang prasa , “ Hanya waktu yang mencabutmu dari terumbu “ dalam puisi Pancang Nibung ( satu ), saya katakan , Pancang nibung itu penanda lubuk dimana kemejan hidup dan berbiak pada  musim tertentu. Karena  itu hiu kemejan tidak ditangkap sepanjang musim, meskipun bisa saja dengan  alat-alat tertentu. Sementara di mana   tempat  mencacak pancang nibung  itu,  hanya  nelayan yang  ahli yang tahu. Karena itu pancang dan lubuk itu hak pribadi nelayan yang menemukan lubuk dan mencacak pancangnya . Tak boleh nelayan lain mengail atau  menangkap ikan di sana, tanpa izinnya. Di kampung kelahiran saya, Bakong, terkenal sebuah lubuk kemejan,  namanya Lubuk Cuk Alek. Entah sudah berapa banyak kemejan yang ditangkap di situ.

Jika pancang  nibung  sudah tercacak di lubuk  itu,  maka sepanjang hayat  pancang itu akan tetap di situ. Hanya waktu yang  akan mencabutnya . Karena   pancangnya  tercacak dalam pada terumbu karang. Tak tercabut meski digoyang  arus. Makin digoyang,  makin dalam tertancap. Pancang di tengah laut  itu seperti sebuah lukisan . Seekor  camar hinggap dan kemudian pergi. Sebuah perahu bertambat di sana dan seorang pengail kemejan, melempat pancingnya dan menunggu kemejan menyambarnya. Berjam-jam, berhari-hari menunggu. Sebelum sebuah sentakan akan mengejutkan pengail, dan kemudian mereka akan bertarung, hidup dan mati. Sebelum salah diantaranya takluk dan menyerah.

Tak ada hubungan pancang nibung   dengan berpindahnya kemejan ke permukaan atau ke bagian laut yang lain. Sebab  kemejan ini  hanya ada dan ditangkap di lubuk itu. Kalau pun dia akan mati, dia akan kembali ke lubuk  itu juga. Kalau pun ada  yang terdampar di pantai, tandanya kemejannya sudah mati lebih dahulu di lubuknya.Dikalahkan oleh pengailnya, dengan menikam tengkuk kemejan dengan tempulingnya. Dan kemejan akan menyeret perahu nelayan itu, ke tengah laut. Dan jadi kan dia kalah lelah, dia akan kembali ke lubuknya. Dan pengail akan menyeretnya menuju pantai. Se kampung akan berbagi daging kemejan, persediaan mereka menghadapi musim sakal. 

Kedua, mengapa  kemejan ditangkap ? Kemejan adalah jenis hiu terbesar di kawasan laut  kepulauan Riau, di laut dalam yang berkarang. Seekor  kemejan  bisa lebih  100 kg beratnya . Kalau dapat menangkap seekor  kemejan,  maka berarti bisa mendapat persediaan makanan  lebih 3 bulan untuk menghadapi  musim   pacakelik bagi nelayan, yaitu musim sakal ( oktober sampai  desember ). Daging nya akan di  potong kecil-kecil, selain untuk kepentingan sendiri, juga  dibagi juga dengan tetangga  lain, se kampung. Daging itu di salai di atas para ( ini cara dan tempat yang secara tradisional memanggang dan  mengawetkan daging  kemejan) . Nanti daging salai itu akan dimakan sedikit sedikit . Disayat dan digulai ( biasanya ditambah dengan daging  pisang muda dan menjadi gulai lemak pusang muda  ). 

Menangkap  Kemejan merupakan  perburuan, meskipun hiunya tidak  sebesar paus. Tapi kalau  kail ditariknya , sampan nelayan bisa berputar-putar dan terseret jauh ke tengah  lautan. Nah untuk menaklukkannya harus ditombak dengan tempuling. Tombak bermata satu. Seperti novel  “ The old man on the seanya “ Hamingway . Banyak  nelayan tak pulang dan tewas di laut , meskipun akhirnya  nelayan, temupuling, kemejan dan sampannya  terdampar  di pantai. Seperti puisi saya “ Tempuling “ : 

Sebatang tempuling tersadai di gigi pantai sehabis badai. Seorang bocah menemukannya sehabis sekolah. Tuhan, siapa lagi kini telah menyerah ......dst 

Ketiga, apakah para pengail kemejan itu orang suku Laut ? Penangkap atau pengail kemejan, bukan  orang suku Laut , tapi Orang  Sekanak. Orang Melayu tua. Orang suku laut adalah bahagian dari orang Sekanak . Mereka berasal dari Palembang, dari sebuah tempat di sungai Musi. Dan sudah terkenal sejak zaman Sriwijaya dan kerajaan Melayu Bukit Siguntang. Tugas  mereka adalah pengawal kerajaan,  sebagai lasykar angkatan laut , orang kerahan, dan para pendekar. Ceritanya bisa  ditemukan dalam buku “  Early Kingdom nya  Paul Michael  Munoz “. Sekarang mereka bermukim di pulau Singkep, Posek , Alang Tiga, Sebangka   dan lainnya. Dalam peta tua Belanda ada yang  namanya Teluk Sekanak. Teluk di utara pulau Singkep yang bentuknya seperti  sebuah  poci ( klik Jantungmelayu.co cari tulisan sejarawan  Aswandi Syahri ) 

Keempat, Apakah hiu kemejan itu memang  mempunyai  taring ? Tidak, Dalam pengertian taring runcing seperti taring harimau. Tapi gigi runcing sebagai taring, seperti ikan hiu lainnya , memang ada. Diksi  taring dalam puisi saya,  lebih pada simbol perjuangan kemejan mempertahankan dirinya . Tapi gigi Kemejan, tulang kemejan  dan semuanya  bagian  tubuhnya, berguna. Tulang nya , untuk dibuat  pipa rokok, cincin, dan handy craft lainnya. Ada antioksidannya  di serat  dan tulang kemejan. Sama seperti  ikan duyung  (dugong).

Tentang prasa  “amis musim“ pun hanya penanda isyarat. Amis memang  bau anyir laut, anyir ikan, anyir musim. Di masarakat suku Sekanak  mereka akan menemukan firasat pada musim. Bau laut.  Pada musim sakal , laut sangat berbahaya dan  kotor karena ada biota laut yang tercerabut lalu hanyut dan menimbulkan  bau. Tapi amis musim dalam puisi saya adalah isyarat tentang bahaya,  bala,  kematian dan  kekalahan. Hanya nelayan yang piawai yang tahu isyarat musim. Tentang anyir dan amis musim. 

Setiap mereka turun ke laut bersama sampannya, melempar kailnya ke  lubuk kemejan, mereka akan  memandang ke langit . Melihat  awan, menangkap tanda-tanda alam. Apakah kemejan akan menyambar kail, apakah kemejan akan menyeretnya ke laut dalam, apakah dia akan memenangkan pertarungan dalam perburuan itu. Alam  akan memberi isyarat, termasuk bau anyir musim. Dan mungkin saja dia  kalah :

“ Sebatang tempuling tersadai di bibir pantai, sehabis badai. Seorang bocah merasakan pelupuknya basah . Tuhan, kirimkanlah sesorang untuk menemukannya, menguburkanya di antara pantai. Dan memberikan sebuah tanda.Dan jangan biarkan arus membawanya ke lubuk dalam yang aku pun tak tahu dimana akan aku tuliskan rindu ku ..,,,,,”

Itulah penggalan  puisi Tempuling itu. Baca juga puisi pancang nibung, baca juga puisi   Kemejan, yang terkumpul dalam antologi puisi saya, antologi dua bahasa ( Indonesia - Inggeris ), ROSE, yang tahun 2018, memenangkan anugerah buku puisi terbaik pilihan Badan Bahasa Indonesia.

2021