Rabu, 30 April 2025
Apalah arti sebuah puisi, bila tidak mampu memberikan pemahaman yang baru dan mendalam kepada pembacanya tentang kompleksitas kehidupan manusia. Sebuah puisi harus dapat menampilkan suatu segi dari realitas yang belum seutuhnya diketahui, realitas paling abstrak, yang sanggup membangun kesadaran kontemplatif tentang apa hakikat hidup, kehidupan, manusia, dan kemanusiaan. Oleh karena itu, seorang penyair harus sanggup menjalin interkomunikasi antara hakikat realitas dan hati sanubari.
Dalam sejarahnya, perkembangan puisi di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh dan bentuk-bentuk pembaruan dari Barat. Hal ini tergambar pada isi dan pandangan hidup yang merupakan hasil penjelajahan penyairnya terhadap pemikiran-pemikiran modern yang bernafaskan filsafat Barat.
Di sisi lain, perkembangan puisi Indonesia juga tidak terlepas dari pengaruh budaya dan akar tradisi. Meskipun sudah mendapat pengaruh dari Barat, para penyair masih berupaya menggali kembali jejak-jejak spiritualisme nenek moyang mereka, seperti, mantra, syair, gurindam, talibun, yang umumnya bernafaskan sufistik.
Pandangan-pandangan sufistik yang muncul pada puisi-puisi Indonesia bersumber dari berbagai ajaran. Ada yang menggali pada sumber ajaran sufi Islam (tasawuf), ada yang menggali pada ajaran Kebatinan Jawa, dan ada pula yang melacak jejak-jejak ajaran mistik Hindu-Buddha.
Puisi-puisi Indonesia yang bersumber pada pandangan sufistik Islam (tasawuf) menggali pandangan-pandangan Islam yang sangat universal. Pandangan-pandangan itu di antaranya tentang eksistensi Tuhan yang monoteisme, kecintaan dan kerinduan (mahabah) yang hebat pada Tuhannya, kesempurnaan hidup di jalan Tuhan, eksistensi manusia sebagai makhluk dan hubungannya dengan Khaliknya, sikap hidup zuhud, serta konsep widhatul wujud (widhatul syuhud).
Kecenderungan ini karena terilhami Alquran yang ditulis dalam bentuk puisi yang amat indah, penuh simbol, dan penuh pandangan hidup yang menakjubkan. Sebagai bentuk ekspresi pun, terutama untuk ekspresi pengalaman rohani dan religius, genre puisi amat cocok karena personal, unik, universal, sarat simbol, dan mistik.
Sebenarnya, puisi-puisi sufi dalam konstelasi sastra Indonesia sudah dikenal sejak periode kesusastraan Melayu. Misalnya saja, Gurindam XII gubahan Raja Ali Haji.
Dalam perjalanan sejarah puisi Indonesia selanjutnya, sejak era Amir Hamzah, pandangan sufistik telah menjadi bagian kekayaan puisi Indonesia dan terus berkembang dengan berbagai ragam ekspresi.
Meski diungkapkan dengan berbagai ekspresi dan bentuk pengucapan, sastra sufi memiliki karakteristik kecenderungan estetika yang sama. Kecenderungan estetika sastra sufi itu di antaranya adalah ekspresi kerinduan kepada Allah.
Tradisi sufistik dalam sejarah puisi Indonesia, hingga kini masih menjadi sumber penciptaan bagi sejumlah penyair, seperti Acep Zam-Zam Noor, Jamal D. Rahman, Sutarji Calzoem Bachri, Taufik Ismail, Rida K Liamsi, dan yang lainnya
Bagi Rida K Liamsi, nafas sufistik bukanlah hal yang aneh bagi dirinya, terutama sebagai orang Melayu. Pengaruh akar tradisi Melayu, seperti mantra masih terasa dalam puisinya yang berjudul "Dayang Ku Laut ." Dalam puisinya ini, penyair menyadari benar tidak ada sesuatu yang abadi di dunia ini. Segalanya akan berakhir, semuanya akan tamat.
O, Dayang Ku Laut
O, pasang
O, surut
O, musim yang kini penuh ingin
Jangan biarkan angin berhenti bermain
Biarkan kami bercakap seperti kerap di tingkap
Tentang karang
Tentang kerang
Tentang setu
Tentang gonggong
Tentang gamat
Tentang segalanya yang segera akan tamat
Akan Tamat!
Nafas sufistik lain, diungkapkan Rida K Liamsi dalam puisi "Di Jabbal Rahmah." Rida seolah ingin menunjukkan pengalaman batinnya, tentang kepasrahan yang dalam kepada Tuhan. Penyair ini mengakui kehinaan dan keterbatasan dirinya sebagai makhluk yang tak berdaya di hadapan Tuhannya.
Sekarang, dari Jabbal Rahmah
aku ingat perjalanan bathin ku:
Tuhan, di bentangan padang seluas pandang
aku pernah wukuf
Pernah bersujud
Pernah meratap
Pernah pasrah
Pernah menyerah
Tuhan, aku malu ...
Karakteristik estetika sufi yang lain adalah ekspresi khas sufi tentang penyatuan hamba dengan Tuhannya. Dalam konsep tasawuf dikenal dengan istilah widhatul wujud. Merupakan suatu konsep dan persepsi kesatuan dalam kegandaan serta kegandaan dalam kesatuan. Tuhan tidaklah dihayati sebagai Dia yang berada di sana namun juga hadir bersama manusia. Tuhan memang tak terjangkau tapi bisa didekati (taqarub) sebab Dia juga Mahadekat.
Ajaran sufi mengisyaratkan adanya hubungan yang tak terpisahkan antara alam dan manusia. Manusia merupakan mikrokosmos (jagat kecil-dunia kecil), sedangkan alam merupakan makrokosmos (jagat besar-dunia besar).
Tampaknya, berangkat dari konsep makro-mikrokosmos ini mengakibatkan kecenderungan para penyair sufi untuk bermain-main dengan natural symbols untuk melukiskan kegelisahan pencarian, kerinduan, dan kepasrahannya pada Tuhannya. Dalam larik puisinya "Surat kepada GM" Rida K Liamsi menggambarkan kegelisahannya.
Kita ternyata tak bisa bilang KUN!
PAYAKUN!
JABBARKUN!
Kita tak punya kuasa
Kita perlu beratus kata, beribu kata
Pun untuk bilang YA!
Di bendul pintu, setiap minggu, kau letakkan kata-kata
Dan aku memungutnya sambil menatap ke luar jendela
Seperti helai-helai kelopak, aku taburkan kata-katamu
Biar jadi beratus kata, beribu kata, jadi berkata-kata
Hidup ternyata semakin niscaya, semakin tak percaya pada
kata-kata
Pun pada KITA!
Sepertinya nafas sufistik akan terus diembuskan oleh penyair dalam puisi-puisinya. Puisi-puisi sufistik akan terus ditulis dan akan memberikan pemahaman yang baru dan mendalam kepada pembacanya tentang kompleksitas kehidupan manusia. Seorang sufi belum tentu bisa menjadi seorang penyair. Tapi seorang penyair bisa terlihat sebagai seorang sufi di dalam puisi-puisinya. Wallahualam. (***)
Sumber : https://www.facebook.com/ary.sastra