Rabu, 17 Agustus 2022
Tahun ini tema seminar yang diusung dalam Festival Sastera Internasional Gunung Bintan ( FSIGB) 2019 adalah : Pantun Sebagai Akar Puisi Moderen. Yang pertama memantik kata kata itu adalah penyair, Hasan Aspahani , melalui salah satu essai nya yang dimuat di halaman Jembia , halaman sastera dan budaya harian Tanjungpinangpos, yang terbit di Tanjungpinang, Kepri.
Saya mendukung tema itu, karena kebetulan pada FSIGB 2018 lalu , saya bertemu dengan Prof Muhamnad Haji Salleh ( MHS ), seorang sasterawan Malaysia yang selalu saya juluki pakar Hang Tuah, karena dia telah menerjemahkan Hikayat Hang Tuah dari bahasa Melayu , ke bahasa inggeris. Sehingga karya klassik itu kini menjadi milik dunia dan dibaca oleh para peminat yang berbahasa asing, khususnya Inggeris.
Prof MHS ikut Festival Gunung Bintan 2018 itu sebagai salah satu pembicara yang membahas tentang jejak Hang Tuah dalam puisi. Dan dia pun ikut menulis beberapa puisi yg bertema Hang Tuah dan dimuat dalam antologi puisi Jazirah yg diterbitkan panitia fedtivsl.
Prof HMS ini memberi saya buku karyanya yang judulnya sangat menarik : Ghairah Dunia Dalam Empat Baris ( Sihir Pantun dan Estetikanya ). Buku yang merupakan kumpulan makalah Prof MHS dan memdedahkan soal pantun dari segala sisi , terutama bagaimana pantun itu menjadi begitu identik dengan orang Melayu , padahal pada etnis lainpun di indonesia , pantun itu sudah di kenal. Hanya namanya berbeda. Di jawa misalnya disebut Parikan. Lalu mengapa para pakar sastera di Prancis juga sangat menyukai pantun dan menerjemahkan karya melayu klassik itu ke dalam bahasa Prancis
MHS mengutip pendapat seorang peneliti asing , yang mengatakan , bahwa sesungguhnya, kita belumlah bisa memahami orang melayu , sepanjang kita belum memahami pantun pantun melayu.
Esai Hasan dan buku MHS itu menjadi sumber pendorong untuk menjadikannya tema seminar dan memberi sebuah pemahaman yang lebih kuat relevansinya dengan antologi puisi ( 2 ) yg tahun ini memilih cogan : segara sakti , rantau bertuah ( jazirah Melayu dalam puisi ). Dalam seminar itu kelak , Hasan Aspahani yang biasa dipabggil HAH itu akan jadi salah satu pembicara, disamping dua pembicara dari jakarta , dua dari Malaysia , dan datu kepulauan Riau sendiri.
Prof MHS ini salah satu dari 14 sasterawan negara malaysia Yang diberi gelar Kehormatan : Sasterwan Negara bersama usman Awang , Samad Said, dll dan terakhir Sitti Zainon Ismaik. MHS katanya sekarang sedang menerjemahkan Salalatus Salatin ( sejarah melayu karya Tun Seri Lanang ) dari bahasa melayu ke bahasa Inggeris,agar Karya klassik itu jadi milik dunia , katanya. Komitmen MHS untuk membawa karya sastera melayu ke tengah dunia itu, patutlah diapresiasi dan dihormati .
Sosok MHS pun memang sangat familiar dan dihormati di Malaysia dan juga di Indonesia, sering diundang jadi pembicara seminar dan pertemuan sastera dan kebudayaan, dan kononnya dia ini keturunan perantau Indonesia yang datang ke negeri Semenanjung itu . MHS ini bagi rumpun Melayu dianggsp sebagai salah satu tokoh Melayu Baru. Soal ciri ciri Melayu Baru itu, saya menulis gurindam yang saya sarikan dari pidato kebudayaan Mahatir Muhammad , 30 tahun lalu , dalam Pertemuan Dunia Melayu di Melaka, dan diulanginya lagi belum lama ini dalam pertemyan “ membangkitkan martabat bangsa melayu “. Ini gurindambya :
Apa tanda Melayu baru
Lebih baik mengamuk daripada merajuk
Apa tanda Melayu baru
Pantang kalah meski selangkah
Apa tanda Melayu baru,
Pantang mencaci sesama sendiri
Apa tanda Melayu baru
Menuntut ilmu seperti ibadah
Apa tanda Melayu baru
Dahulukan tuah daripada daulah
Apa tanda Melayu baru
Sematkan di hati pesan Hang Tuah
Apa tanda Melayu baru
Mulailah hari ini, dengan bismillah
Tanjungpinang 2019