Ngilu Salju dalam Puisi Ratna Ayu

Sastra Senin, 24 Juni 2019
Ngilu Salju dalam Puisi Ratna Ayu

Belum lama ini , Saya mendapat kiriman buku kumpulan puisi terbaru Ratna Ayu Budhiarti (RAB) : "Sebelas Hari Istimewa". Dari sekitar 70-an puisi hasil perjalanannya ke Eropa ( Italia, Prancis, Belanda, Jerman, dan lainnya ) saya menemukan satu puisi yang saya pikir paling kuat. Dan merupakan representasi dari perjalanannya istimewa itu. Puisi yang menurut saya ditulis dengan renungan yang panjang, dengan serapan bathin yang dalam. Yang keluar dari ruang kontemplasi setelah pengembaraan yang penuh kerinduan itu. Ini puisinya : " Setelah Empat Musim "

Mungkin aku hanya angin
yang dirindukan saat panas tiba
atau udara hangat di gigil musim dingin
dan secangkir coklat
yang kau cari di tepi dermaga

Di musim sem, bunga bunga
sebanyak apapun, bermekaran
kecuali hatiku,
yang kau curi pada malam purnama
dengan penyamaran seteguk kopi

Siapalah aku bagimu di musim gugur
selain jadi tanah
Tempat menampung keluh kesah
dan kecemasan daun daun
yang tanggal

Sebagai penyair RAB beruntung dapat melakukan dan menikmati perjalanan bersama tiga suasana bathin.

Pertama: Bersama kerinduan akan tanah leluhurnya, Belanda , tempat datuk , nenek dan kerabatnya bermukim ( dia keturunan Belanda dari sebelah ibu ). Dia telah membawa kerinduan itu dengan nenempuh perjalanan puluhan ribu kilometer melintasi langit tanpa batas, sambil membayangkan pendar mata para kerabatnya yang belum pernah ditemuinya , kecusli cerita ibu dan ayahnya. Peluk cium dan kerinduan zuriat campuran.

Kedua: Dia berada di Paris pada hari valentine day. Tidak semua penyair mendapat kesempatan dan perjalanan bathin yg demikian itu. Berada di Paris, kota tempat orang jatuh cinta, menikmati rasa dan pesona cinta, tempat orang merasakan pedih dan luka karena putus cinta , di bawah bayang bayang dan kerlip lampu menara Eiffel . Suasana bathin yang selalu menggoda : jatuh cinta di Paris, mengembara di kota kota dunia, dan mati di Bali ( disini katanya ada nirwana, hehehe sekedar tergoda dengan buku : Love, Eat and Pray ).

Ketiga: Salju Eropa yang percikan kristalnya di bangku bangku di taman taman asri di Eropa. Dimana sentuhan salju ini membangkitkan rasa dan resa inspirasi yang tak terpana bagi seorang penyair dibanding mimpi dan imajinasi dari kamar tidur di negeri khatulistiwa.

Ketika saya untuk kesekian kali membaca puisi “ Setelah Empat Musim “ dengan takzim, saya selalu membayang duduk sendiri di bangku sebuah taman, mungkin di Wina , atau di kota lain di Eropa yang saljunya turun ketika musim dinginnya tiba , sambil menikmati butiran salju jatuh di rambut, di hidung, di hati. Saya merasakan butiran salju itu mengiris-iris rasa rindu. Dingin dan ngilu. Sendiri dan terasing.
“ Mungkin aku hanya angin yang dirindukan saat panas tiba. Atau udara hangat di gigil musim dingin. (Atau -pen ) Dan secangkir coklat yang kau cari di tepi dermaga “. Larik larik ini menyisakan renungan tentang kesendirian, tentang tetesan butir salju yang membangun luka dan kerinduan , di sebuah negeri yang asing yang kita tak tahu akan kemana setelah itu. Selain sebuah dermaga yang tercuguk dalam kabut musim.

Lebih terasa luka dan ngilu itu pada bait bait terakhir puisi itu : Siapalah aku bagimu di musim gugur , selain jadi tanah, tempat menampung keluh kesah dan kecemasan daun daun yang tanggal.

Saya mengirim WhatsApp, kepada RAB dan mengatakan betapa indah puisinya itu ketika saya baca sambil diiringi lagu “ Apalah Cinta “ nya Ayu Tingting bersama rekannya penyanyi Turki itu ( yang dalam tempo 2 minggu didengar lebih 5 juta orang di youtube ), sambil menyesap kopi Osing Banyuwangi kiriman penyair sufi Syamsuddin Adlawi. Puisimu Setelah Empat Musim itu, kata saya, adalah puisi yang lahir dari ruang kontemplasi. Puisi yang baik dan indah memang harus lahir dari ruang kontemplasi atau dalam doktrin SCB , Presiden Penyair Indonesia , harus ditulis dengan sungguh sungguh, dengan segenap jiwa.

Menurut saya RAB harus menulis sebuah buku puisi lagi yang merupakan hasil kontemplasinya tentang perjalanan kerinduannya ke Eropa itu. Perjalanan yang didera rindu uang paling candu ( diksi dan prasa ini dikutip dari salah satu puisi RAB dalam kumpulan ini : Rindu Masih Menderu. Diksi dan prasa yang juga dipuji oleh Penyair Kurnia Effendi yang menulis kata pengantarnya ). Kumpulan puisi hasil renungan yang intens sehingga terasa betapa tanah leluhur itu menjadi ziarah bathin yang sebanding dengan oerjalanan melintas langit yang ribuan kilometer itu. Puisi yang membangkit keindahan cinta pada lenggang dan lenggoknya Pershingsndola di Kanal Janal Venesia. Sonneta rindu yang mengungkapkan misteri valentine day dari kerlap-kerlip menara Eiffel. Atau stanza salju di taman taman Wina.

Shabas !

Tanjungpinang , 2019

@ridakliamsi !