Sebuah Pembacaan Novel Hamidah karya Rida K Liamsi

Mesin Waktu Alam Melayu

Sastra Senin, 23 Agustus 2021
Mesin Waktu Alam Melayu
Peluncuran Novel Hamidah

OLEH RENDRA SETYADIHARJA
Akademisi/Pegiat Pantun


BAGI generasi 90an, pasti kenal dengan film kartun yang setiap hari Minggu ditayangkan di salah satu televisi swasta yaitu Doraemon. Kisah persahabatan robot kucing yang datang dari masa depan dengan "mesin waktu". Mesin waktu juga menjadi suatu hal yang menjadi bagian dalam film Avengers, film paling hebat produksi Marvel. Mesin waktu terkadang menjadi impian semua orang untuk dapat menaikinya dan kembali ke masa lalu untuk mengulang kisah kasih yang telah berlalu atau memperbaiki keadaan agar menjadi berbeda.

Namun kali ini, kita bukan membahas mesin waktu yang akan mengembalikan kita ke masa silam, atau ke masa depan secara nyata. Melainkan kita akan membahas sebuah novel karya sas-trawan Kepulauan Riau Datuk Sri Lela Budaya Rida K Liamsi. Novel yang berjudul "Hamidah" ini merupakan mesin waktu terbaik untuk menerokai kejadian masa lampau tepatnya di era Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang. Novel setebal lebih kurang 400 halaman ini merupakan rangkaian dari Tetralogi novel karya Rida K Liamsi lainnya yang berjudul Bulang Cahaya dan  Megat. Rida K Liamsi dengan novel Hamidah telah membuka portal masa lalu dengan sangat nyata di hadapan para pembaca sehingga menjadi sebuah cakrawala sejarah yang seolah-olah hadir di minda para pembaca.

Novel berjudul Hamidah merupakan novel yang mengisahkan kehidupan salah satu tokoh nyata yang tercatat dalam sejarah sebagai permaisuri Sultan Mahmud Riayat Syah (1787-1812) yang bernama Raja Hamidah yang diberi gelar Engku Puteri. Hasan Junus (2002) dalam bukunya berjudul Engku Puteri Raja Hamidah Pemegang Regalia Kerajaan Riau menjelaskan bahwa Engku Puteri Raja Hamidah adalah anak perempuan Raja Haji Fisabilillah dari istrinya yang gahara yaitu Raja Perak binti Yang Dipertuan Muda Riau III Daeng Kamboja.

Dari istrinya Raja Perak itu Raja Haji memperoleh dua anak perempuan yaitu Raja Hamidah Engku Puteri dan Raja Siti. Engku Puteri Raja Hamidah Binti Raja Haji Fisabilillah kemudian menjadi istri Sultan Mahmud Riayat Syah Marhum Besar atau Marhum Masjid. Saudara seayah Engku Puteri Raja Hamidah ialah Raja Djaafar yang kelak menjadi Yang Dipertuan Muda Riau VI , Raja Idris, Raja Pahang, Raja Ahmad Engku Haji Tua ayahnya Raja Ali Haji, Raja Kasim, Raja Salamah, Raja Buntit, Engku Tengah, Raja Aminah dan Raja Pasir (Junus, 2002).

Rida K Liamsi di dalam novel ini menggunakan Raja Hamidah Engku Puteri sebagai tokoh utama dan tokoh-tokoh lainnya yang dalam catatan sejarah merupakan tokoh yang nyata dan memiliki actual personalities masing-masing. Sebuah novel sejarah menurut Kuntowijoyo (2006) seyogyan-ya berbeda dengan penulisan sejarah (Historiografi). Penulis novel berlatar sejarah adalah menyajikan hal-hal yang berkaitan dengan historical truth bukan suatu actual occurances atau actual personalities. Novel sejarah tetaplah sebagai sebuah karya imajiner penga-rangnya. Novel sejarah mengisahkan realitas sejarah dengan cara merekon-struksi sejarah sesuai dengan penge-tahuan dan daya imajinasi pengarangn-ya. Seorang pengarang novel berlatar sejarah cukup menyajikan accepted history dari masa lampau dan disajikan di masa kontemporer.

Namun Rida K Liamsi, tampaknya menyajikan novel ini lebih dari hanya sekedar karya sastra berlatar sejarah belaka. Historical truth yang dibangun di dalam novel ini sangat nyata ibarat membuka portal masa lalu dan menjadikan novel ini seperti mesin waktu yang membawa pembaca ke situasi yang benar-benar terjadi di hadapan mata pembaca namun tetap diberi keindahan dari imajinasi pengarang.

Novel berjudul Hamidah ini juga seperti menjahit kesemua rangkaian sejarah, dan kesemua itu merupakan historical authenticity  yang sangat nyata mendedahkan semangat zaman di masa Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang. Novel yang menceritakan bagaimana kisah seorang Raja Hamidah harus menerima pinangan seorang Sultan dan kemudian menjadikan Hamidah sebagai permaisuri utama sehingga bergelar Engku Puteri. Kisah perjuangan seorang wanita hebat yang kemudian perlahan berbuah cinta yang tulus dan menjadi penguat kepemimpinan Sultan Mahmud Riayat Syah sebagai seorang Sultan Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang.

Setelah sang Sultan Mangkat Raja Hamidah Engku Puteri harus berjuang dan bersikap bijak sebagai pemegang Regalia Kerajaan di mana hitam putihnya keputusan di dalam kerajaan juga tergantung dari titah sang Engku Puteri. Raja Hamidah juga tak lepas dari prahara politik yang dalam catatan sejarah juga tercatat dengan jelas, mulai dari perebutan tahta waris Sultan Mahmud Riayat Syah yaitu Tengku Husin dan Tengku Abdulrahman, yang kemudian membawa perseteruan Raja Hamidah Engku Puteri dengan saudara satu ayahnya yaitu Raja Djaafar Yang Dipertuan Muda Riau VI.

Raja Hamidah Engku Puteri juga harus terlibat konflik perebutan Regalia Kerajaan yang di dalamnya juga terselebung kepentingan Inggris di Singapura dan Belanda di Tanjungpinang. Raja Hamidah Engku Puteri harus berhadapan dengan todongan pistol Adrian Koek, dan di depan matanya ia menyaksikan seperangkat Regalia Kerajaan dirampas secara paksa oleh Belanda demi melanggengkan kepentingan Yang Dipertuan Muda VI Raja Djaafar, Sultan Abdulrahman dan tentunya Belanda yang mendopleng atas konflik tersebut. Kesemua kisah itu, secara nyata sebenarnya sudah tercatat dalam Tuhfat Al Nafis yang ditulis mula-mula oleh Raja Ahmad Engku Haji Tua dan kemudian dilanjut-kan oleh Raja Ali Haji dan merupakan referensi sejarah yang selama ini digunakan masyarakat dalam menyelami sejarah Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang.

Unik dan menariknya lagi di dalam novel Hamidah ini, Rida K Liamsi menggunakan tokoh Raja Tua Daeng Andak sebagai story telling sejarah kepada pembaca secara tidak langsung, memang di dalam novel, kisah-kisah yang diceritakan oleh Raja Tua Andak adalah kepada Raja Hamidah Engku Puteri sebagai sebuah pelajaran dan penge-tahuan untuk Raja Hamidah Engku Puteri, namun secara tidak langsung kisah-kisah tersebut membuka cakrawala penge-tahuan kepada pembaca.

Alur flashback yang digunakan Rida K Liamsi ketika menggunakan sosok Raja Tua Andak sebagai salah satu tokoh yang menceritakan berbagai rentetan sejarah di masa-masa lampau sebelum zaman Raja Hamidah Engku Puteri juga terdedah dengan jelas, mulai dari Laksamana Tun Abdul Jamil, Sultan Mahmud Mangkat Dijulang, perebutan dan perseteruaan antara Raja Kecik, Sultan Abdul Jalil Syah, Tengku Sulaiman dan lima Opu Bugis Bersau-dara sehingga kepada syahidnya ayahnda Raja Hamidah Engku Puteri, Raja Haji Fisabilillah di Teluk Ketapang Melaka, semua dikisahkan di dalam novel ini. Selain itu novel ini juga merambah kepada nasib Tengku Long atau Tengku Husin di Singapura, dan juga menyentuh kehidupan Raja Ali Haji muda ketika ia mengikuti ayahnya Raja Ahmad Engku Haji Tua ke Batavia, dan menunaikan ibadah haji ke Mekkah.

Begitulah novel Hamidah membawa pembaca menyelami kronologis peristi-wa-peristiwa yang pernah terjadi di Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang ini dengan jelas, seperti "mesin waktu" yang membawa pembaca kepada kehidupan Raja Hamidah Engku Puteri dengan nyata. Di tambah dengan bahasa tutur imajiner Rida K Liamsi yang indah, menjadikan novel ini seakan membawa pembaca menangkap sebuah historical truth dan actual occurances dengan jelas. Dengan pola berkisah yang sangat menarik di dalam novel ini, novel Hamidah pantas menjadi kunci atau pintu gerbang bagi generasi muda atau bagi kalangan umum untuk mempelajari dan menyelami sejarah Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang lebih lanjut lewat Tuhfat Al Nafis atau referensi lainnya. Karena novel Hamidah sesungguhnya menyaji-kan peristiwa sejarah yang kental meskipun ia tetaplah sebagai karya sastra.

Di novel ini juga menyingkap suatu hal yang secara imajiner tidak ters-ingkap di novel sebelumnya yaitu Bulang Cahaya dan terjawab di novel Hamidah. Kisah cinta Raja Djaafar yang begitu mendalam kepada Tengku Buntat sehingga Raja Djaafar bersedia meneri-ma dan menjadi Yang Dipertuan Muda Riau Ke – VI dan pulang ke Lingga hanya dengan sekalimat kata dari Tengku Buntat, "pulanglah adinda tidak Bahagia", sebuah puisi yang membawa lelaki tegas dan keras dengan sumpah-nya namun tunduk atas cinta sejati yang ia genggam dengan penuh dendam, dan dendam itu menjadi warna yang secara tidak langsung berpen-garuh kepada peristiwa imajiner yang terjadi di dalam Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang. "Cinta hanya bisa dilupakan dan dikubur dengan dendam" begitulah kata Raja Djafaar.***