Rida K Liamsi : Haini Karno, Mencantumkan Peta yang Koyak, Kepedihan Hati Orang Melayu

Sastra Minggu, 22 Desember 2019
Rida K Liamsi :  Haini Karno, Mencantumkan Peta  yang Koyak, Kepedihan Hati Orang Melayu


FSIGB 2019 yang baru selesai 1 November lalu , diikuti 20 penyair Malaysia. Cukup ramai, dibanding tahun lalu . Asalnya beragam juga. Ada yang sudah professor, ada yang jadi guru, professional dan yang masih kuliah. Ada yang  dari Johor, Selangor, Kelantan, dan juga Sabah. Salah satunya , adalah Haini Karno , yang datang dari negara bagian Malsysia paling jauh , yaitu Sabah.


Penyair ini ternyata sudah  sejak  September , berada di Indonesia. Dia mengikuti  Pertemuan Penyair Nusantara ( PPN ) di Kudus, kemudian pertemuan penyair  perempuan di Jakarta, dan terakhir  di Bintan, ikut FSIGB. Perjalanan panjang dengan puisiya. “ Saya memang sangat menyuksi puisi “ katanya. Sangat bangga sebagai penyair. Dari biografi singkatnya, dia telah banyak menulis puisi dan diterbitkan di bebagai media, terutama kumpulan  puisi bersama.

Untuk kumpulan puisi Jazirah 2 yang diterbitkan panitia FSIGB 2019, dia menyertakan satu puisinya : Mencantumkan Peta yang Koyak. Puisi yang mendedahkan kepedihan hati seorang Melayu yang menyaksikan rumpun  Melayu terbelah oleh sejarah. Oleh tangan penjajah. Oleh Belanda dan Inggeris. Oleh Traktat London 1824, yang memisahkan Indonesia ( dalam hal ini Kepulauan Riau dan Riau ) dengan Singapura dan Malaysia.

Puisi ditulis dalam bahasa Melayu, bahasa nasional Malaysia. Sehingga bagi kita di Indonesia memang harus memahami secara cermat dalam kontek pengertian. Misal judul puisi itu ; Mencantum Peta yang Koyak. Judulnya sangat bagus. Tetapi kata Mencantum itu haruslah  dimaknai sebagai merekat, menyatukan, menyambung peta yang koyak , dan bukan dalam pengertian memuat atau menyertakan dalam bahasa Indonesia.

Ini puisi penyair perempuan kelahiran Keningau, Sabah itu :

Mencantumkan Peta yang Koyak

Inilah pemukiman bersama
Terbentang merangkaikan gugusan nusantara
Laut Cina Selatan, Selat Melaka, dan Selat Karimata
Gelombang di anjung samudera
Pasir halus di pesisir pantai
Bayu asin meniupkan kedamaian
Lambaian daun kelapa mengundang percintaan
Camar mengirimkan bisikan pulau ke daratan
Dan ikan mengagihkan rezeki tanpa sempadan
Segara ini sakti
Rantau ini bertuah

Kami melihat birunya laut dan kuningnya daratan
Hijau belantara dan putih langit
Melukis sejarah besar yang terpendam
Oleh rakus penjajah
Hingga terpecah keluarga agung
Bangsa Melayu yang berkongsi Bonda

Benar sejarah telah terpatri
Dan tidak terungkai lagi
Tapi tidak juga kita terhalang
Untuk mencantumkan peta yang koyak
Dalam sanubari yang tulus
Dalam mimpi yang indah

Dalam nota  sejarah kini
Kita tak mungkin terpisah lagi
Walaupun berlainan negara
Kerana kita terpadu dalam cinta
Dan kalbu yang menyala


9 Ogos 2019

Puisi ini bercerita dengan pedih, tetapi tetap dengan semangat persaudaraan yang tulus yang ingin merekatkan kembali peta yang koyak dalam semangat melayu serumpun.

Haini Karno yang bekerja sebagai pegawai pemerintah di Sabah ini, adalah representasi generasi muda di Malaysia, generasi milenial, yang melihat perjalanan sejarah rumpun melayu dengan semangat yang sangat optimis. Seperti ikan yang mengagihkan ( memberikan ) rezeki tanpa sempadan .

Shabas !