Notice: Undefined offset: 4 in /home/u6048245/public_html/erdeka/metadata.php on line 20
Pada Mulanya adalah Irama - Rida K Liamsi
 

Oleh: Zuarman Ahmad

Pada Mulanya adalah Irama

Sastra Senin, 22 Juni 2015
Pada Mulanya adalah Irama

KEHIDUPAN tradisi lisan (oral tradition) sangat berpengaruh di tengah-tengah masyarakat kita (baca: Timur). Oral tradition yang terdapat dan hidup berkembang di tengah-tengah masyarakat pendukungnya antara lain mantra, pantun, menidurkan anak dalam buaian (onduo, beghandu, nandung, mengulik), dan tradisi lisan lainnya. Namun, di sisi lain, apakah hubungannya ketika puisi (sajak), syair, dan cerita-pendek (literacy) juga  berubah menjadi kelisanan (orality)?  Misalnya, puisi, syair, cerita-pendek (literacy), dibaca sebagai suatu seni pertunjukan (performing art). Apakah ada hubungan bahasa dengan dunia realitas (oral tradition) bagi orang Melayu, yang di sisi lain suka memakai bahasa sindiran, dan kepentingan kelisanan (orality) dari suatu tulisan (literacy), misalnya puisi (sajak), syair, cerita-pendek yang dibacakan itu mungkin lebih mengena barangkali daripada membaca sendiri tulisan puisi, tulisan syair, dan tulisan cerita-pendek itu?

Mungkinkah fungsi musikal (bunyi) sangat berpengaruh dalam tulisan puisi, syair, dan cerita-pendek? Bahasa dalam puisi, syair, dan cerita-pendek sangat berirama. Sedangkan ’irama’ hanya dapat ditampilkan jika seorang berbicara dengan bahasa lisan, akan kedengaran bunyi suara yang turun naik, sekali-sekali keras, sekali-sekali lembut, kadang-kadang suara itu tinggi, dan kadang-kadang terdengar rendah. Gelombang suara yang demikian itu oleh Muhammad Nuh Hudawi dalam buku Prama Sastra Bahasa Indonesia (1955) disebut dengan ’irama’. Jika membicarakan ’irama’ (rhythmus) sangat berkait-kelindan dengan musik, yaitu rhythmiek, yakni gerakan serta semua hal yang berhubungan dengan waktu dan nilai nada. Michael Kennedy (2004) mendefinisikan ’irama’ (rhythm) dengan: “(in the full sense of the word) covers everything pertaining to the time aspect of music as distinct from the aspect of pitch, the effects of beats, accents, measures, grouping of notes, grouping of measures into phrases.”

Seseorang yang menyampaikan/menggunakan bahasa lisan akan terdapat tekanan nada, tekanan dinamik, dan tempo, yang ketiga-tiganya adalah unsur yang terpenting dari bahan baku musik. Apalagi jika bentuk syair itu lazim dan biasa dinyanyikan dengan beberapa irama tertentu, sehingga fungsi musikal (bunyi) inilah yang barangkali menarik perhatian pendengar. Bahkan untuk puja-puji kepada pokok ’sialang’ dinyanyikan mantra Memuja kayu:  Assalamu alaikum/ Waalaikum salam al Habib Gulkarim/ Aku lah tahu ai asalmu jadi/ T’kala Loh pun belum Kalam pun belum/ Kala laut lupak-lupakkan/ Gunung lumpat kijangan/ T’kala rumput nyarum-nyarum/ Hujan merenyai-renyaian/ Tunggulah kunun (ahai intan ohoi)/ Kulit menama (lah intan ohoi) kayu selas-selas/ Putih menama alah intan ohoi kayu selemak/ Kuning menama kayu sialang/ (ahai oi) Akar menama kancing bumi/ (ahai) Banir menama gajah berjuang/ Kulit menama (alah intan ohoi) si Mali Nidai/ Jalan  menama ampai-lah tuan/ (ai) Pulur menama dian sebatang/ Cabang menama alah payung ular belerang/ Buah menama (alah intan ohoi) si layang-layang/ (ahai) Ranting menama (alah intan ohoi) payung Patimah//. Dan, lihat juga mantra puja-puji kepada lebah: Anyut buluh dari hulu/ Anyut lah dengan (alah intan) urat-uratnya/ Anak diayun indung diburu/ Menunggu tunam jadi obatnya// Lama sudah tidak ke ladang/ Habislah padi (alah intan ohoi) dililit kangkung/ Lama sudah (hitam manis) pawang tidak dipandang/ Hatiku beramuk sedih yang jantung//

Sebagaimana yang dikatakan oleh Wilhelm Muller bahwa: “sajak-sajak akan lebih berbicara jika ia mencantumkan melodi pada sajak-sajaknya itu.” karena itu, teks atau lirik mantra memuja kayu dan memuja lebah, selain sudah melodis, juga dinyanyikan dengan memakai irama lagu tertentu. Bahwa kayu sialang dan lebah yang menunggu (bersarang) di pokok sialang itu dibujuk rayu dengan irama musikal. Hal ini senada dengan yang dikatakan oleh Hans von Bulow (lahir: Dresden, 1830; meninggal: Cairo, 1894): “Im Amfang war der Rhythmus”; Pada mulanya adalah irama. Idrus Tintin mengabadikan kata ini dalam bait puisinya yang berjudul Akhir Kata: Pada mulanya ialah bunyi/ dan akhirnya tak lain sunyi. Bahkan seorang penyair Albert Verwey mengatakan tentang ’irama’: “...Penyair maupun musikus hanya mengenal irama dan untuk mereka birama tidak ada. Yang kita ucapkan tidak lain daripada irama-irama yang memaksa keluar dari diri kita, tapi kita tahu, bahwa sebelum mereka hadir dalam diri kita, mereka dalam bawah sadar bersatu dengan yang telah mati, yang kita sebut birama-birama. Birama-birama sebetulnya adalah hal-hal mati yang mengerikan. Tidak ada yang melihat mereka, kita hanya melihat semata-mata irama-irama.”

Al Hujwiri (1992), penulis tentang sufi, mengajarkan lima cara untuk memperoleh pengetahuan, yaitu: mendengar, melihat, mencecap, mencium, dan meraba. Bahwa mendengar lebih utama dari melihat, semua nabi berbicara supaya orang-orang mendengar, karena itu Nabi Muhammad SAW menyuruh baca dan menghapal Al Qur’an dan tidak dianjurkan untuk menulisnya. “Siapa pun  yang mengatakan bahwa dia tidak mendapatkan kesenangan dalam suara-suara, melodi-melodi, dan musik, maka dia itu pendusta dan munafik, atau dia itu pancainderanya tidak beres, dan dia itu bukan manusia dan juga bukan binatang.” Di lain hal, dapat diajukan pertanyaan sekaligus jawaban, kenapa Nabi (Muhammad SAW) meminta Jibril (malaikat penyampai wahyu) untuk membacakan saja ayat yang pertama diturunkan itu. Sanggahannya mungkin, “kan Nabi Muhammad SAW buta-huruf? Tetapi dapat dijawab juga, “kan Allah Mahakuasa untuk membuat Nabi Muhammad SAW tidak buta-huruf? 

Oleh semua itu, membaca puisi, membaca cerita-pendek, membaca syair (bersyair), untuk suatu bentang-saji (performing), lebih menekan makna dan memaktubkannya di dalam jiwa (hati) karena ada peristiwa ’bunyi’ atau ’irama’ di dalamnya, karena ’bunyi atau ’irama’ adalah sesuatu yang halus dan yang menerimanya juga haruslah sesuatu yang juga halus, yakni jiwa (hati). Jadi, keadaan pendengar diharapkan sebagaimana makna ’mendengar’ yang dikatakan oleh Dzun Nun Al-Mishri (tokoh sufi Mesir), yakni: “Mendengarkan adalah suatu pengaruh Ilahi (warid al-haqq) yang membangkitkan hati untuk mencari Tuhan. Orang-orang yang mendengarkan secara ruhani (ba-haqq) akan sampai kepada Tuhan (tahaqqaqa), sedangkan orang-orang yang mendengarkan secara inderawi (ba-nafs) akan jatuh ke dalam kesesatan (tazandaqa). Selain maka ’mendengar’, prinsip ’mendengar’ juga begitu penting. Menurut Al- Hujwiri, orang-orang yang mendengarkan (mustami’an) ada dua golongan: (1) orang-orang yang mendengar makna ruhani, dan (2) orang-orang yang mendengarkan suara material. Jadi, substansi yang akan didengar juga membawa pengaruh baik  atau buruk kepada ’pendengar’. Jika substansi yang didengar benar membuat substansi ’pendengar’ akan benar (haqq), dan bilamana bahan pembentuk temperamen manusia itu buruk, maka buruk juga padahnya bagi yang ’mendengar’.

Karena itu, wahai, buatlah puisi (sajak), syair, cerita-pendek, novel, dan bahkan musik yang benar.

ZUARMAN AHMADZuarman Ahmad, pemusik, composer, arranger, pensyarah/ pengajar musik Akademi Kesenian melayu Riau (AKMR), penulis cerita-pendek, Wapimred Majalah Budaya Sagang, penerima Anugerah Seniman Pemangku Tradisi Prestasi Seni/Musik 2005, Penerima Anugerah Sagang 2009, dan penikmat ajaran suluk (sufi).