Rabu, 19 Februari 2025
Pendahuluan
Sejarah dituliskan oleh pemenang, ungkapan tersebut seringkali kita dengar dan menjadi suatu yang dianggap lumrah. Padahal semestinya sejarah disampaikan sesuai dengan fakta yang terjadi. Namun dalam catatan sejarah, banyak hal yang diyakini kebenarannya selama ini bukanlah hal yang sebenarnya terjadi. Hal tersebut bisa saja dipengaruhi berbagai faktor misalnya faktor kepentingan politis dan kekuasaan. Namun, tak jarang kesalahan-kesalahan sejarah itu diyakini oleh masyarakat dunia selama berabad-abad lamanya.
Warren (2007) menuliskan tentang Illanun dalam bukunya The Sulu Zone 1768-1898 sebagai berikut: “The English used Illanun indiscriminately to denote simply “sulu pirates”. The Dutch considered the Illanun a “vile race”, identifying them as the shore dwelling people of the southern Mindanao, Sulu, and the several places on the coasts of Borneo and Sumatra. The widespread nature of Iranun activities and their larger, better equipped, and manned “prahus” made them such feared at sea by native traders”. Orang Inggris menyebut suku Iranun atau Illanun sebagai “Bajak Laut dari Sulu”. Sementara oleh orang Belanda disebut sebagai “ras yang keji”. Mereka berasal dari pesisir Mindanao Selatan, Sulu dan beberapa tempat di pesisir Kalimantan (Borneo) dan Sumatra. Iranun digambarkan menguasai lautan dengan “prahus” (perahu, sampan, kapal) yang besar, peralatan lengkap, dan awak yang terlatih yang membuat mereka ditakuti di laut oleh para pedagang pribumi. Definisi “lanun” sebagai bajak laut inilah yang dipahami oleh masyarakat dunia bahkan hingga kini.
Ringkasan Novel sejarah Lanun Alang Tiga
Novel sejarah “Lanun Alang Tiga” mengambil nama Alang Tiga, yaitu sebuah pulau yang berada di Kecamatan Singkep Barat, Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau, Pulau Alang Tiga. Pulau pusat kediaman sang Raja Lanun, Tok Lukus atau Raja Tembing. Novel ini berkisah tentang jejak-jejak perjalanan suku Iranun atau Illanun, bangsa “Lanun” yang dimulai dari abad ke-15 melalui catatan perjalanan seorang wartawan surat kabar Suara Borneo, Kinabalu, Sabah, Malaysia, bernama Nadin Sukmara. Nadin melakukan perjalanan panjang menelusuri sejarah dan keberadaan suku iranun di beberapa tempat di Indragiri Hilir seperti Kuala Patah Parang dan Desa Sungai Batang, Reteh hingga ke Pulau Alang Tiga di Provinsi Kepulauan Riau.
Selain tentang sejarah dan keberadaan suku Iranun, Catatan perjalanan Nadin tersebut juga memaparkan perjuangan rakyat Riau melawan Belanda. Setelah Belanda menguasai Batavia, lalu menduduki Malaka, maka ketegangan antara Riau dan Belanda tak terhindarkan lagi. Riau mempertahankan martabatnya paling tidak dalam 3 babak antara tahun 1783 – 1787 digambarkan kembali dalam novel itu dengan dua versi pertama dengan versi percakapan dan diskusi antara karakter Nadin, Mustam dan Prof. Kazai serta beberapa karakter pendukung lainnya. Kemudian berupa rekonstruksi peristiwa masa lalu berupa penggambaran dialog tokoh-tokoh sejarah pada situasi masa terjadi peristiwa sejarah tersebut.
Bagian yang sangat menarik adalah penggambaran situasi pada tahun 1786, ketika Sultan Mahmud mengirim utusan dengan pimpinan Encik Talib kepada Raja Tempasuk (daerah Sabah saat ini) yang bernama Raja Ismail meminta bantuan untuk mengamok (mengusir) Belanda di Riau. Raja Ismail ( sesungguhnya merupakan Sultan Siak ke-3 putra Sultan Siak ke-2, Tengku Buang Asmara yang melarikan diri dari kerajaan karena kerajaannya direbut oleh Raja Alam, Pamannya) dibantu 3 putranya menyiapkan bantuan dengan 40 perahu perang bersama pasukannya. Pasukan dari Tempasuk itu terdiri dari orang Iranun, Sulu, Jolo, Balangingi dan lainnya. Pasukan gabungan itu disebut orang lanun (sebab orang Iranun yang paling besar jumlahnya dan paling hebat memberikan perlawanan terhadap Belanda). Tahun 1787 sampailah pasukan bantuan itu di Riau. Panglima besar Raja Ismail (digelar Laksamana Raja di Laut) langsung memimpin perang. Pasukan lanun mengamok tentara Belanda di Tanjung Pinang. Garnisun Belanda dihancur leburkan dan direbut. Belanda dipukul mundur ke Malaka.
Selanjutnya, dipaparkan pula tentang Sultan Yahya (Sultan Siak ke-7) yang berusaha merebut kembali Kerajaan Siak dari Sayid Ali, cucu Raja Alam (Saudara sepupu Sultan Yahya) yang dibantu oleh Belanda. Perebutan kekuasaan antar saudara itu mengakibatkan Sultan Yahya bersama seluruh keluarga Istana. Rombongan Sultan Yahya menyingkir ke Pelalawan. Kerajaan Pelalawan saat itu di pimpin oleh Maharaja Sinda II keturunan Johor-Melaka.
Novel sejarah ini merekonstruksi peristiwa yang terasa menegangkan dan epik saat rombongan Sultan Yahya menuju Lingga tersebut dibantu pasukan Iranun yang dipimpin oleh Tok Lukus (Raja Tembing). Pasukan lanun itu mengawal rombongan Sultan Yahya sampai ke Lingga. Sebelum ke Lingga, rombongan mereka dikejar oleh pasukan Siak, di sinyalir ada pengkhianat yang membocorkan perihal keberangkatan rombongan di saat dini hari itu sehingga Tok Lukus mengarahkan rombongan singgah terlebih dahulu di Pulau Alang Tiga, markas lanun pimpinan Tok Lukus, menunggu situasi aman untuk mengantar rombongan Sultan Yahya sampai ke Lingga menemui Sultan Mahmud Riayat Syah.
Penulis juga merekonstruksi pula tentang bagaimana peristiwa Sultan Mahmud yang mengangkat Tengku Sulung (Putra dari Tok Sulung dan Raja Maimunah) sebagai panglima besar yang diberkan kuasa untuk menjaga wilayah Reteh dan sekitarnya yang menjadi wilayah kekuasaan taklukan Kerajaan Riau termasuk daerah Batin Enam Suku: Igal, Mandah, Enok, Kateman, Gaung Anak Serka dan Reteh. Di Reteh, Tengku Sulung kembali memimpin perang melawan Belanda dalam perang Reteh dengan membangun sebuah benteng yang berada di Kuala Sungai Batang. Wilayah itu saat ini dinamakan Desa Benteng , kecamatan Sungai Batang, Indragiri Hilir Provinsi Riau. Di Reteh dan wilayah sekitarnya inilah kemudian keturunan suku Iranun dari Tempasuk itu berkembang dan menyebar hingga saat ini.
Dan tak kalah dramatis dan menarik adalah kisah percintaan Tok Lukus, sang Raja Lanun (Panglima Lanun Alang Tiga) dengan putri Tengku Yahya (Sultan Yahya), Tengku Maimunah (Raja Maimunah). Kisah percintaan Tok Lukus dan Tengku Maimunah ternyata juga dialami oleh sang wartawan, Encik Nadin saat penelusurannya untuk mencari jejak-jejak suku Iranun. Nadin terjebak perasaan pada gadis keturunan Iranun, Raja Julia. Mereka bertemu di Desa Kuala Patah Parang, Indragiri Hilir. Sebuah desa yang merupakan wilayah terbesar persebaran suku Iranun di wilayah Riau.
Ikhtisar Perlawanan Rakyat Riau dalam Perspektif Sejarah
Sebagai pelengkap gambaran sejarah yang dimuat penulis dalam novel Lanun Alang Tiga tersebut maka digambarkan pula lebih rinci perspektif sejarah peristiwa bersejarah perlawanan rakyat Riau terhadap VOC. Sejarah maritim masa kerajaan di Nusantara dari abad ke-17 hingga akhir abad ke-19 menggambarkan upaya untuk menjaga kedaulatan sebagai upaya mendukung pelayaran dan perdagangannya. Pesisir Timur Sumatra, Kepulauan Riau dan Selat Malaka merupakan wilayah penting dan menarik untuk dibicarakan. Pada masa itu, kesultanan Riau-Johor menghadapi monopoli perdagangan VOC dalam persaingan dengan EIC-Inggris. Peperangan laut yang hebat meletus antara tahun 1783 – 1784 antara Raja Haji melawan VOC. Setelah gugurnya Raja Haji fi sabilillah perlawanan Rakyat Riau terhadap VOC tidak pernah surut. Sultan Riayat Syah melanjutkan perjuangan bekerjasama dengan suku Iranun yang berasal dari Filipina Selatan untuk membebaskan monopoli VOC dan menegakkan (kembali) kedaulatan wilayah kesultanan Riau yang terpasung oleh kontrak perjanjian 1785 yang mengakui kekuasaan VOC.
Ekspedisi serangan laut Iranun terutama ke arah barat mulai dari sepanjang pesisir Borneo dan wilayah pulau-pulau serta di pesisir Sumatera dari pusatnya di Zulu, suku Iranun memiliki komunitas-komunitas satelit di Tempasuk dan Reteh. Secara sistematik, Iranun menyerang Selat Malaka pada akhir abad ke-18. Iranun dilukiskan oleh Belanda sebagai marinir penyergap cepat (sea raiders). suku Iranun menyergap dengan perahu kajang lake atau Balanghai. Perahu dengan penutup atap dari Kajang dengan tiang atap setinggi kurang lebih sejengkal, dilengkapi pendayung di belakang dan sebuah layar kecil di depan. Ukurannya lebih kecil, cepat dan lebih memudahkan pergerakan di lautan. Tahun 1873 armada Iranun berjumlah kecil menyerang Belanda di Selat Bangka.
Sultan Mahmud meminta bantuan Iranun dari Tempasuk di bagian barat laut Borneo (Termasuk wilayah Sabah saat ini) untuk mengusir Belanda dari Riau. Sultan Mahmud mengirim Talib ke Tempasuk membawa surat untuk Raja Tempasuk. Bulan Mei 1787, dipimpin Raja Ismail (Raja Ismail merupakan Sultan Siak ke-3 putra Tengku Buang Asmara bergelar Sultan Abdul Jalil Muzaffar Syah Sultan Siak ke-2, Raja Ismail meninggalkan kerajaan Siak yang direbut oleh Raja Alam, Pamannya. Raja Ismail kemudian menjadi Raja Lanun yang dikenal sebagai Laksamana Raja di Laut) armada penyergap laut itu melintasi Laut Cina Selatan dalam jumlah besar perahu bersenjata dan berhasil mengusir Belanda.
VOC mendatangkan bantuan dari Malaka, menyebabkan Sultan Mahmud mengundurkan diri ke Lingga. Namun Iranun masih menguasai perairan Riau dengan strategi bergerilya di laut dengan memusatkan basis kekuataannya pada tahun 1790 di tiga tempat Riau dan Jambi: Pulau Berhala, Kuala Tungkal dan Air Hitam. Iranun tetap melakukan eksploitasi dengan perahu dan aktivitas perdagangannya kemudian meluas sampai ke Laut Cina Selatan (Warren, 2007)
Reteh ( saat ini masuk wilayah administratif kabupaten Indragiri Hilir) menjadi tumpuan paling awal yang dibangun Iranun di bagian barat Nusantara, tepat sekali karena situasinya di pesisir Sumatera di sepanjang Selat Malaka di ujung jalan masuk Laut Cina Selatan. Wilayah pesisir ini kemudian dikuasai oleh Iranun (Iranun coast). Sejumlah besar pulau-pulau kecil di Selat Malaka kemudian menjadi rumah tempat generasi pertama tentara Iranun sebagai penduduk pesisir (Warren, 2007).
Perspektif sejarah ini seperti yang dipaparkan dengan baik dalam novel sejarah Lanun Alang Tiga meski dengan perspektif dan penyajiannya ke dalam bentuk karya sastra. Hal itu dimaksudkan agar pembaca merasakan benar suasana saat peristiwa tersebut terjadi. Perasaan pembaca di bawa masuk ke dalam haru biru antara marah, sedih, gembira, gugup dan lain sebagainya bercampur aduk hingga menyesakkan dada. Tentu saja berbeda membaca novel sejarah yang tetap saja sebuah karya sastra dengan pakem nya yang membuat pembaca “bebas” berkhayal dan menafsirkan sesuai dengan imajinasi masing-masing. Berbeda ketika membaca dengan buku teks yang tentu saja dengan aturan bakunya sendiri yang mengikuti kaidah formal penulisan meski keduanya membahas topik yang sama.