Oleh : Rida K Liamsi

Raung Ratap Diksi Puisi Febriadi

Sastra Kamis, 21 Oktober 2021
Raung Ratap Diksi Puisi Febriadi
Rida K Liamsi

Belum lama ini, Muhammad Febriadi, salah seorang penyair Kepri , menerbitkan kumpulan  puisinya, Debu Ngenang .... dan kumpulan puisi itunikut diluncurkan bersama 100 buku puisi penyair peserta Frstival Sastera Internasional Gunung Bintan ( FSIGB ) 2021. Dan dia telah meminta saya untuk membuat Kata Pengantarnya. Dan inilah Kata Pengantar saya. Dan saya sangat suka dengan puisi puisi Muhammad Febriadi ini. Terlebih kalau dia sendiri  yang  membacanya. Inilah catatan saya :

 

Raung Ratap Diksi Puisi Febriadi
Oleh : Rida K Liamsi

Seperti mantera, pantun, syair, gurindam , seloka ,talibun, dan lain lain bentuk puisi yang tumbuh subur di dunia kesusasteraan Melayu , pada hakekatnya  karya  karya tersebut adalah puisi puisi pentas. Teaterikal. Artinya, puisi puisi yang  harus dibacakan,  baru terasa indah dan terasa kekuatan puitika nya . Dengan berbagai  cara, termasuk diiringi musik dan instrumen bunyi yang lain, yang membuat puisi puisi itu terasa mengaduk dan menusuk batin para pendengarnya. Pembacaan pantun , syair, dan lain lain itu , dengan cara teaterikal itu, kemudian menjadi semacam  tradisi. Dan itu bisa dijumpai di mana mana di kawasan budaya Melayu ini.

Kekuatan vocal dan kemampuan mengeksplore emosi itu membuat penyair yang membacakan puisinya menjadi maestro. Artinya,  orang orang yang  bukan penyair dan pencipta  puisi puisi itu, akan sulit dan memerlukan tahapan tahapan eksersais yang panjang untuk membuat puisi puisi klassik itu menjadi indah dan berarti. Lihatlah para pemantun  yang menjadi penghidang acara perkawinan misalnya. Tangkas dan kreatif sehingga pantun pantun yang dilantunkan , selalu mengejutkan.

Tradisi itulah yang kemudian , menurut saya, mempengaruhi keberadaan para penyair  yang tumbuh, berkembang di kawasan budaya melayu ini. Hampir semua puisi puisi mereka  dapat dirasakan hentakan  bunyi dan letupan sajak sajak pada kata kata yang mengunci frasa  di setiap baris atau larik puisi puisi itu.

Karena itu , sebagai  penyair yang tumbuh dan dibesarkan dalam tradisi kepenyairan melayu  ini, saya merasakan nya dalam puisi puisi yang ditulis oleh Muhamad Febriadi dalam kumpulan puisinya ini. Bukan hanya hentakan diksi dan dentang kata kata yang menjelujur frasa  puisi puisinya, tapi juga letupan letupan emosi yang menyertainya. Itulah pesonanya.

Saya masih tetap berpendapat , betapapun hebat  sebuah puisi, tapi kalau kehilangan pesonanya , maka alangkah  tidak berkesannya puisi itu. Seakan membaca  puisi dengan hambar . Puncak pesona sebuah  puisi, adalah diksi dan frasa nya . Diksi yang  dipilih secara cermat dan cerdas. Diksi yang digali dan ditimang timang dengan hati hati , akan memberi kekuatan magis pada puisi, apalagi kemudian disajikan dalam frasa frasa yang mengigit dan mengejutkan .

Mohamad Febriadi, salah seorang penyair Kepri yang  berhasil menggali diksi  untuk puisinya secara piawai sehingga puisinya seakan bernyanyi. Menari dan menghentak hentak emosi  yang membaca dan mendengarnya .  Puisi puisi Febriadi memang puisi puisi pentas . Puisi  puisi yang harus dibacakan dengan vocal yang kuat.  Vocal yang bisa  mencapai puncak emosi sebagai sebuah raung dan rentak , simbol kehidupan.

Lihatlah  puisi “ Batin dan puncak cindai “ Puisi yang digali dari  legenda dan jejak sejarah di negeri Lingga . Puisi ini dan juga puisi puisi lainnya , sangat terasa indah dan magisnya jika Febriadi sendiri  yang membacakannya. Latar belakang sebagai penyanyi dengan kadar vocal yang kuat, menyebabkan puisinya itu terasa sampai. Menggugah dan juga menggugat. Benar benar seperti sihir  . Menikam dan menghentak emosi.

Saya kira latar belakang  dirinya yang besar dalam tradisi budaya melayu,  dalam tradisi pantun , syair, gurindam dan juga joget, menjadikan  dirinya sebagai penyair yang hadir dengan puisi puisi yang penuh sihir. Di setiap bait puisinya terasa seperti pekik mantra. Pemanggilan yang tak tersurat.  Gemuruh  katakata seakan berlomba menunju akhir frasa nya.

Saya pikir , mungkin, ketika menulis puisi puisi nya ini, Febriadi telah bernyanyi dulu , membangunkan emosi dan semangat dendang , sebelum kemudian  mengemas dan memoles ulang sebagai  sebuah puisi. Tradisi memantun lebih dahulu sebelum sebuah pantun selesai ditulis, adalah tradisi yang sudah ada sejak  zamsn mantra. Tradisi melayu lama . Sastera lisan mendahului sastra tulis.

Setiap saya membaca puisi puisi nya yang  terkumpul dalam antologi “  Debu Ngenang “ ini , saya juga merasa berpantun. Bernyanyi dan menari. Melaung dan menyeru semua kekuatan alam untuk membawa kata kata itu pergi dan  mencari  rindunya. Inilah yang selalu saya sebut puisi rasa pantun. Satu bahagian dari genre sastera dalam mazhab Riau.

Dalam pengamatan saya hampir semua  penyair yang besar dan berkembang di jazirah budaya melayu ini, mewarisi tradisi  dan roh  pantun , syair dan mantera dalam puisi puisi mereka . Bukan hanya bentuk , tapi juga semangat dalam  ruang  dan rangkap pantun. Puisi yang bertutur tentang sekujur ingatan dan kerinduannya. Puisi puisi yang  selalu terasa jejak sejarahnya. Mitos dan legenda. Dan itulah kekuatan mantra. Kata kata yang menggerakkan jiwa. Dan bila dibacakan, di visualisasikan, akan menjadi sebuah pertunjukkan yang menakjubkan.

Puisi puisi  Muhammad Febriadi  dalam kumpulan puisi nya  ini, memang puisi puisi yang penuh pesona. Puisi yang dengan kata kata mampu membangkitkan suasana. Pesona kata kata .

Shabas !

2020 / 2021