Rabu, 30 April 2025
Karya Sastra di mata Antropolog
Pengarang: orang yang mengarang/ merangkai kisah dan peristiwa menjadi rangkaian cerita >> tidak ada karya yang wujud dari ketiadaan melainkan selalu berangkat dari segala apa yang ada untuk kemudian dirangkai dan ditenun, serta dimaknai sesuai yang dikehendaki pengarangnya.
Pencerita, Tukang Cerita: orang yang membawakan cerita untuk disampaikan pada orang lain, dapat berupa cerita rekaan, atau karangan, atau cerita yang sudah ada, tapi tidak lepas dari cerita baku yang dibawanya >> ada dalam peran-peran tradisional: tukang koba (Rokan), tukang nyanyi panjang (Pelalawan).
Subjektivitas adalah hal yang niscaya, tidak hanya dalam karya fiksi, bahkan dalam karya ilmiah sekalipun >> Jejak pengarang: perspektif yang dipilih, diksi, metode.
Subjektivitas adalah kekhasan yang memberi ruang bagi hal-hal dasar dan akar dari pengarang untuk mewarnai keseluruhan bangunan karyanya.
Walter Ong (1982) mengatakan bahwa kesadaran kelisanan dan keberaksaraan terkait dengan cara berpikir
Keberaksaraan menurut Ong merupakan syarat mutlak bagi perkembangan ilmu pengetahuan, sejarah, dan filsafat.
Dalam antropologi, kelisanan dan keberaksaraan sama-sama merupakan teks untuk dibaca, ditafsir, dan dipahami dalam kerangkanya (konteksnya)
G.L. Koster (2012) dalam kajiannya mengenai naskah Melayu menyebutkan adanya dua tipe kepengarangan, yaitu "dalang" dan "dagang"
Dalang: pengarang yang mengarang kisahan bersifat pelipur lara: Kisah Panji
Dagang: adalah pengarang yang membawakan kisahan berisi pendidikan
Dalam tradsi Melayu, ingatan adalah instrumen penting bagi keberlangsungan peradaban (sejarah)
Masyarakat Melayu mengekalkan ingatan pada tokoh dan peristiwa dalam berbagai bentuk lisan – pewarisan >> peran tukang cerita
Seperti dalam baris puisi Ediruslan Pe Amanriza, "Sejarah Kami": Sejarah kami adalah dongeng nenek menjelang tidur
Kisahan juga dituangkan dalam bentuk tertulis >> manuskrip.
Tradisi tulis di Alam Melayu – dengan aksara Jawi- Batu Bersurat Trengganu yang ditemukan pada tahun 1887 bertarikh 1303 M yang berisi undang-undang kerajaan dan Islam sebagai agama resmi dan hukum dalam kerajaan.
Kelisanan kedua, tukang cerita (jongleur) yang membawakan kisah-kisah dari manuskip pada siapa yang meminta (akhir abad ke-19).
Kelisanan ketiga, hadirnya karya dalam karya tulis yang bertutur, misalnya: The Storyteller-Mario Vargas Llosa, Pengakuan Pariyem:Linus Suryadi AG, dan -Rida K Liamsi.
Karya-karya yang lahir di Alam Melayu, khususnya setelah abad ke-20, kedua-dua tipe: dalang dan dagang hadir bersama-sama dalam diri pengarang. Kisahan boleh bercorak lipur-lara tetapi senantiasa menyematkan di dalamnya butir-butir tunjuk ajar
Karya sastra Melayu Riau-Kepri yang lahir pada era 80-an memperlihatkan apa yang disebut sebagai "Malay identity work" oleh Will Derks (1997), dengan menggali kelokalan untuk membangun identitas kemelayuan
Lahirnya cereka – novel sejarah yang mewarnai dunia sastra Melayu Riau-Kepri, dulu hingga kini, disengaja atau tidak didorong oleh denyut untuk mewariskan kisah-kisa masa lalu kepada generasi muda agar mengingat akar dan tunjuk ajar, sehingga tumbuh dengan identitas kemelayuan
Maka, membaca karya sastra Melayu Riau-Kepri sama dengan membaca masyarakat dan kebudayaannya, serta upaya untuk "membangkitkan batang terendam"
Pembacaan 1: Perempuan
Wan Sinari bertanya pada Wan Seri Bani: Makhluk apakah perempuan itu? Jawab Wan Seri Bani: Makhluk pencemburu! (BTSG: 236)
Megat, berkata: Perempuan memang laut maha dalam. Jika kami orang lelaki berhasil menyelami dasarnya, mungkin kami akan timbul ke permukaan air hanya sebagai mayat (BTSG: 240)
Cherchez la femme (Alexandre Dumas dalam novel The Mohicans of Paris, 1864), bahwa dalam setiap kejadian, selalu ada perempuan. HJ menggunakan frasa ini ketika mengembara mengarungi sejarah Melayu, untuk menemukan simpul-simpul penting dalam berbagai peristiwa sejarah, perempuan di balik sejarah.
Dalam sejarah Melayu, tokoh-tokoh perempuan hampir tidak pernah dibahas secara detail perannya, sebab: perempuan bukan tokoh utama dalam peta politik yang menjadi fokus penulisan naskah kesejarahan >> membuka ruang luas bagi interpretasi dan lahan subur untuk inspirasi penulisan novel sejarah
Peristiwa "selak bidai, lepak subang" Tengku Tengah atau Tun Irang menjadi peristiwa penting dalam peta politik kerajaan Melayu (Tuhfat al Nafis dan Hikayat Siak) dengan penekanan pada titik mula masuknya Bugis dalam politik Melayu.
Episode Tun Irang “menyelak bidai, melepak subang” merepresentasikan upaya pamungkas seorang perempuan yang mempertaruhkan segalanya demi keinginannya – kultural. Masih menyisakan ruang bagii interpretasi lain, selain sebagai ekspresi kemarahan, yang oleh Rida K Liamsi diisi dengan tafsir sebagai tindakan politik dalam kerangka kekuasaan.
Tulisan sejarah tidak dapat melakukan tafsir tanpa data, tapi novel sejarah punya kebebasan untuk mengisi tafsir di antara kata-kata yang tertuang atau menambahkan kata-kata lain untuk ditafsir oleh pembaca secara bebas tanpa mengubah informasi utamanya, fakta sejarah.
Kenapa Mur? Mur seorang perempuan yang diharapkan dapat mewarisi “karakter” dan keberanian Tun Irang dalam memasuki dunia politik dan menentukan sejarah
Catatan Akhir
Novel ini memberi kemudahan untuk memahami sejarah karena dituangkan dalam gaya bercerita, yang menjalin berbagai peristiwa secara lebih imajinatif dan hidup, walaupun tentu saja tidak dapat dipakai sebagai rujukan sejarah karena keberadaannya sebagai novel.
Novel ini menjadi perekam ingatan sejarah karena tertulis, tapi tidak akan banyak berguna jika ia tidak dibaca.