MULAI dari dendam atau masalah psikologis atau konflik emosional yang di alami, sampai kepada konflik politik yang menentukan arah dan nasib masa depan Kera-jaan Johor di era tersebut.
Begitulah dahsyatnya sebuah "rajuk" dari sesosok wanita yang hatinya tersakiti kemudian dibancuh persoalan politik dan kekuasaan hingga semua peristiwa seakan menjadi rangkaian skenario film yang hebat. Itulah "rajuk" nya Tun Irang atau dikenal juga Tengku Tengah, seorang puteri jelita dari seorang Bendaraha Johor yang menjadi saksi Mangkatnya Sultan Mahmudsyah II atau yang lebih dikenal dengan Sultan Mahmud Mangkat Dijulang yang dimana setelah kejadian tersebut Bendahara itu menjadi sultan pengganti bergelar Sultan Abdul Jalil Riayatsyah.
"Rajuk" Tun Irang berhasil diangkat dengan epik di dalam salah satu novel sejarah karya Datok Seri Lela Budaya Rida K. Liamsi, yang berjudul "Selak Bidai Lepak Subang Tun Irang". "Rajuk" Tun Irang yang kemudian menghasilkan sebuah kalimat bernas penuh makna atau boleh dikatakan sebuah puisi yang mendalam lahir dari sakit hatinya seorang perempuan. Di dalam Tuhfat Al Nafis (1998, 2002) kata-kata tersebut berbunyi demikian, "Hai Raja Bugis, jikalau sungguh tuan hamba berani, tutuplah kemaluan hamba ini anak beranak saudara bersau-dara ! maka apabila tertutup kemaluan beta semua ini, maka relalah beta semua ini menjadi hamba raja Bugis, jika hendak disuruh jadi penanak nasi raja sekalipun relalah beta". Sementara pada Hikayat Siak (2017) kata-kata bernas itu tertulis demikian, "Hai Raja Bugis, jikalau engkau berani, hendaklah tolong lepaskan malu aku, dan jikalau sudah lepas maluku ini, sukalah aku menjadi hamba engkau, akan menjadi menanak nasimu, dan apakah kehendak engkau aku sekalian turut".
Dari sebuah "rajuk" tersebut keluarlah sebuah kata-kata bernas yang seakan kontroversi karena dianggap diluar kebiasaan keluarga bangsawan di zaman itu, yang notabenenya Tun Irang adalah seorang puteri Bendahara dan mantan Sultan Johor. Namun bukan tanpa dasar, "rajuk" Tun Irang ini berhasil menjadi bumbu utama di dalam perjalanan sejarah yang kemudian diangkat dengan genit menjadi cerita yang bernas oleh Rida K.Liamsi.
Syahdan asal muasal "rajuk" itu bukan tanpa dasar, Tun Irang mengucapkan kata-kata itu dimana, sebagian pihak akan menga-nggap bahwa Tun Irang sudah tidak peduli lagi dengan dari mana ia dan keluarganya berasal, atau bahkan ada yang mengganggap menjatuhkan marwah sehingga harus bertekuk lutut pada raja-raja Bugis yang di dalam Tuhfat Al Nafis dipanggil Opu Bugis Lima Bersaudara.
"Rajuk" itu akibat Tun Irang seakan sudah dilempar sebuah najis dimukanya karena telah dihinakan oleh Raja Kecik yang di dalam Tuhfat Al Nafis diceritakan sebagai keturunan Sultan Mahmud Mangkat Dijulang, yang telah berhasil merebut kembali tahtanya di Kerajaan Johor dan mengembalikan jabatan Sultan Abdul Jalil Riayatsyah, ayahnda Tun Irang menjadi Bendahara. Konon Raja Kecik yang bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmatsyah itu telah melamar Tun Irang, namun di hari suci aidil fitri menjadi malapetaka bagi Tun Irang, karena Raja Kecik telah memutuskan untuk memilih Tengku Kamariah, adik Tun Irang untuk menjadi belahan jiwanya Raja Kecik dan membatalkan lamarannya kepada Tun Irang.
"Perempuan". Bagaimanapun hatinya lembut selembut sutra. Cemburu yang mem-beranakkan "rajuk" itu telah membuahkan sejarah panjang bagi Kerajaan Johor, Pahang, Terengganu sampai era Kerajaan Riau Lingga, Johor, Pahang. "Rajuk" itu juga yang telah melahirkan suatu statement kontroversi dari Tun Irang. "Rajuk" itu menjadi petuah dan juga mungkin malapetaka di kemudian harinya.
Lalu andai kita berandai, atau kita ber"metahistoria", "Andai Tun Irang Tidak Merajuk", yang rajuk tersebut telah secara sengaja oleh Tun Irang melepakkan subangn-ya ke lantai. Atau andaikan saja Tun Irang berlega hati menerima naiknya kembali tahta Raja Kecik sebagai Sultan Johor, ‘toh ayah-nya juga kembali menjadi Bendahara dan berbesar hati atas suksesi politik di Kerajaan Johor. Atau, andaikan saja Tun Irang belajar lebih ikhlas untuk menerima bahwa Tengku Kamariah yang menjadi pilihan hati Raja Kecik, 'toh adiknya juga yang kemudian menjadi permaisuri sultan. Apakah yang akan terjadi.
Setidaknya ada beberapa sejarah yang akan hilang, pertama. Sultan Abdul Jalil Riayatsyah tidak akan wafat karena dibunuh oleh Nakho-da Sekam dan panglimanya. Sebagaimana dituliskan dengan rapi oleh Rida K. Liamsi di dalam novelnya tersebut, yang juga dikutip dari Tuhfat Al Nafis, bahwa pembunuhan ini akibat telah "diculik" Tengku Kamariah oleh Tun Irang dan keluarga yang menyebabkan murkanya Raja Kecik, sehingga pada subuh naas itu sekitar tahun 1720, setelah sholat Subuh Bendahara Abdul Jalil atau Sultan Abdul Jalil Riayatsyah wafat di Kuala Pahang bersimbah darah setelah diserang oleh Nakhoda Sekam dan pengikutnya.
Kedua. Mungkin saja Raja-Raja Bugis atau Opu Bugis Lima Bersaudara tidak mendapatkan legitimasi untuk menjadi bagian penting di dalam Kerajaan Johor dengan mendapatkan jabatan Raja Muda atau Yang Dipertuan Muda. Ingat kata-kata bernas Tun Irang di atas, bahwa ketika Raja Bugis berhasil mengalahkan Raja Kecik, maka Tun Irang akan mau menjadi hamba bahkan menjadi penanak nasi Raja Bugis tersebut, dan kata-kata Tun Irang merupakan suatu kata-kata yang memberikan legitimasi untuk berkuasanya secara politik Opu Bugis Lima Bersaudara di tanah Kerajaan Johor, begitulah sejarah di dalam Tufhat Al Nafis dan Hikayat Siak menceritakan. Sejarah kemudian membuktikan bahwa di dalam Tuhfat Al Nafis, dijelaskan bahwa Raja Kecik berhasil berundur ke Siak dan Opu Bugis Lima Bersaudara berhasil mengalahkannya.
Kemenangan ini bukan saja menjadi hal yang sederhana. Opu Bugis Lima Bersaudara atas perjanjian tersirat oleh kata-kata Tun Irang telah mendapatkan haknya untuk mendapatkan jabatan Raja Muda atau Yang Dipertuan Muda. Selain Opu Bugis Lima Bersaudara mendapatkan haknya sebagai Raja Muda atau Yang Dipertuan Muda, keturunan Melayu-Bugis juga kemudian mewarnai sejarah panjang politik dan kekuasaan Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang. Pernikahan politik antara Tun Irang dan Daeng Perani menghasilkan Raja Maimunah yang kemudian menikah dengan Temenggong Abdul Jamal yang kemudian menjadi nenek moyang Kesultanan Johor saat ini. Kemudian begitu juga dengan pernikahan politik antara Daeng Celak dan Tengku Mandak yang kemudian melahirkan Raja Haji, seorang Yang Dipertuan Muda yang gagah berani, dimana Hasan Yunus mengang-gapnya Hanibal Dari Riau, dari berani meny-erang benteng musuh di Melaka walaupun gugur di Teluk Ketapang.
Sebegitu penting ternyata "rajuk" Tun Irang yang kemudian menjadi bumbu utama di dalam novel "Selak Bidai Lepak Subang Tun Irang" yang ditulis oleh Rida K. Liamsi, yang kemudian "rajuk" itu menjadi rasa pedas dan gurih dalam catatan sejarah yang kemudian menentukan sejarah-sejarah yang berlaku pada masa setelah Tun Irang tiada.
"Andai Saja Tun Irang Tidak Merajuk", mungkin sejarah akan berbeda, mungkin saja, Raja Haji tidak akan lahir, Raja Ali Haji mungkin saja tidak pernah ada, atau justru cerita Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang akan berbeda kisah-nya karena tidak akan pernah ada Tuhfat al Nafis yang ditulis oleh keturunan Melayu-Bugis. Allahu'alam.
Selamat Ulang Tahun Datok Rida, Syabas Datok Rida K. Liamsi!***