Mengoyak Lipatan Sejarah, Catatan Novel Lanun Alang Tiga: Catatan Riza Pahlefi Thohir

Sastra Kamis, 21 Maret 2024
Mengoyak Lipatan Sejarah, Catatan Novel Lanun Alang Tiga: Catatan Riza Pahlefi Thohir
Microsoft AI Creator

“Menulis sebuah novel sejarah, pada hakikatnya adalah menulis kisah baru dengan memungut dan merajut serpihan-serpihan peristiwa masa lalu, dan menginikannya dengan menafsir dan menulis ulang semua kisah itu menurut visi dan misi ideal pengarangnya agar menjadi sesuatu yang berguna.” (Rida K Liamsi)

Sebagai sebuah novel sejarah, Lanun Alang Tiga (selanjutnya disebut LAT) yang ditulis dengan gaya surealisme telah berhasil membawa para pembaca untuk menjengah ke masa lampau, ke sekitaran abad ke-18. Ketika Iranun mulai merambah ke segala ceruk pulau di daerah taklukan Kerajaan Riau -Lingga-Johor-Pahang serta kawasan yang berhampiran dengannya.

Tidak seperti jailangkung, yang datang tak diundang balik tak diantar, kehadiran Iranun secara resmi di kawasan Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang dijemput oleh Sultan Mahmud Riayat Syah agar dapat mendukung perlawanannya terhadap hegemoni Belanda (baca: VOC). Sebagai tanda ucapan terima kasih, kawasan Reteh dan sekitarnya dihadiahkan kepada Iranun yang realisasinya baru terjadi pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Muzaffar Syah, lebih kurang 54 tahun kemudian. Secara perlahan Iranun menggantikan peran orang laut sebagai penjaga dan pengawal kepentingan-kepentingan kerajaan di laut.

Pangkalan awal orang-orang Iranun adalah di gugusan pulau Alang Tiga. Tok Lukus menjadikan salah satu pulau di gugusqn pulau tersebut sebagai kubu guna menyelia aktivitas mereka di laut. Dalam membela kepentingan Riau-Lingga-Johor-Pahang, orang-orang Iranun merayau bukan hanya di tengah lautan tetapi juga di setiap ceruk rantau, tanjung, teluk dan muara. Kapal-kapal dagang yang berafiliasi dengan Belanda dan sekutu-sekutunya diganggu atau dirompak. Hasil rompakan ini akan dibagi dalam porsi tertentu kepada penguasa Riau-Lingga-Johor-Pahang. Semenjak Iranun menggantikan peran orang laut menguasai lautan, Belanda di Melaka bagai duduk di atas bara. Resah dan taktentu arah.

Saking mencoloknya gangguan orang-orang Iranun terhadap kapal-kapal kepentingan Belanda sehingga setiap bajak laut atau perompak di laut disebut dengan nama panggilan lanun. Dan istilah ini juga digunakan oleh Inggris serta oleh kerajaan-kerajaan lain di rantau Selat Melaka tanpa memandang suku atau asal-usul bajak laut dan perompak tersebut. Kesalahfahaman tersebut terus berlanjut hingga ke hari ini. Ketika menyebut diksi lanun, yang berkelibat di minda adalah bajak laut sekelas Jack Sparrow atau Barbarossa.

Menggunakan tokoh Nadin sebagai wartawan yang konon sedang menulis feature tentang Iranun (disebut juga Melayu Timur), penulis LAT dengan lincah dan ranggi menyajikan fakta-fakta sejarah yang kemudian dikemas apik dengan imajinasinya. Yang kadang-kadang meliar. Melalui Nadin juga diperkenalkan kawasan Tempasuk di Sabah yang dianggap asal muasal orang Ilanun yang menetap Reteh, Indragiri Hilir.

Menulis novel sejarah memang memberikan keleluasaan bagi penulis untuk menginteprestasikan setiap fragmen sejarah dengan imajinasinya. Walau kadang harus membentur hipotesa umum yang dipegang oleh orang ramai. Sebagaimana dimaklumi, fakta sejarah tidak selalu statis, bahkan cenderung dinamis ketika ditemukan fakta-fakta baru yang kadang bertentangan dengan fakta lama.

Nadin diposisikan sebagai penuntun yang menyelami peran Iranun dan tokoh-tokohnya serta hubung kait mereka dengan berbagai entitas kuasa di Riau-Johor-Lingga-Pahang, Siak Sri Indrapura serta beberapa kerajaan lainnya, mendedahkan kepada pembaca keperkasaan dan kekuatan sebenar orang-orang Iranun. Penuturan Prof. Kazai dan Mustam serta beberapa tokoh lain, memberikan gambaran sejarah kehadiran Ilanun bersamaan dengan kisah-kisah yang mengalir deras tentang sepak terjang, peran serta dan cara hidupnya.

Melalui tokoh Ami Mat dan Julia, pembaca dapat memperoleh gambaran keseharian masyarakat Iranun saat ini. Termasuk keadaan alam, mata pencarian, budaya dan berbagai aspek kehidupan lainnya.

Penulis LAT juga membawa pembaca merayau-rayau meredah kawasan yang dulunya merupakan laman bermain orang-orang Iranun sehingga dapat menyelami berbagai peristiwa heroik yang pernah terjadi. Ikut merasakan setiap debar ketika letusan meriam dan rentaka bertalu menengkah alun gelombang. Pertarungan laut dramatis yang membayang bukan hanya pada saat menonton Pirates of Caribbean namun juga ketika melahap LAT.

Iranun atau disebut juga Ilanun adalah suku bangsa yang berasal dari Mindanau, Filipina Selatan. Namun orang Iranun yang diperbincangkan LAT adalah yang berasal dari Tempasuk, Sabah, Malaysia yang konon ada hubungan persemendaan dengan orang Melayu dari semenanjung pada suatu masa dahulu. Walau dikatakan telah hadir di kawasan Selat Melaka sejak kegemilangan Kerajaan Melaka beratus tahun silam, namun keikutsertaan mereka membantu menghancurkan benteng Belanda di Tanjung Pinang pada Mei 1787 dianggap sebagai titik mula. Hubungan persemendaan melewati jalur perkawinan semakin menancapkan pengaruh mereka di setiap peristiwa.

Sebagai karya fiksi yang berpaksikan kepada peristiwa lampau, LAT memberikan informasi sejarah yang sangat berharga. Salah satunya menjawab pertanyaan tentang asal-usul gelar “tengku” yang dinisbatkan kepada Tengku Sulung, penerima anugerah Bintang Mahaputra Utama. Anugerah ini sebagai pengakuan negara terhadap perjuangan dan pengorbanannya. Seorang panglima besar yang berdarah Iranun.

Tengku Sulung adalah anak dari Tok Lukus dan cucu dari Sultan Yahya. Tok Lukus dijodohkan dengan Tengku Maimunah yang merupakan putri dari Sultan Yahya, Sultan Siak Sri Indrapura terakhir dari keturunan Sultan Mahmud (nama timangannya Tengku Buwang Asmara). Ketika tersingkir dari takhta dan mengungsi ke Pelalawan, Tok Lukus yang menyelamatkan Sultan Yahya dan keluarga dari kejaran ketumbukan Sultan Sayed Ali dan membawa mereka ke Lingga. Dengan perjodohan ini diharapkan hubungan persemendaan menjadi kukuh dan Tok Lukus mau membantu Sultan Yahya untuk merampas takhtanya kembali. Sebuah harapan yang tidak pernah terwujud.

Puncak perlawanan Iranun terhadap Belanda dan puncak kesetiaan mereka terhadap Riau-Lingga (Johor dan Pahang telah memisahkan diri akibat pertikaian Sultan Abdul Rahman dengan Sultan Husein Syah) adalah Perang Reteh. Iranun yang dipimpin oleh Tengku Sulung bertahan dari gempuran Belanda hingga tetes darah terakhir. Puing-puing yang tersisa sampai hari ini adalah saksi bisu perlawanan heroik orang-orang Iranun.

Untuk membangun kemistri dengan pembaca, penulis LAT mengelaborasi serpih-serpih sejarah bersama adukan episode drama percintaan. Romantisme hubungan kasih dengan segala konflik antar tokoh dalam novel ini dikemas sebagai perencah yang menjadikan LAT begitu gurih dan rangup serta lezat untuk dinikmati. Demikian juga dengan plot yang melompat-lompat sehingga pembaca diajak bermain-main dengan satu kisah dan kisah yang lainnya.

Sebuah kisah yang berangkat dari ide-ide yang diambil melalui serpihan-serpihan sejarah, dalam LAT dapat ditemukan fakta sejarah yang bercanggah, namun sebagai sebuah karya fiksi tentu hal tersebut takperlu disanggah. Memandang LAT yang mengurai kiprah Iranun, dalam skala tertentu dapat dibandingkan seperti memandang Sulalatus Salatin dalam perjalanan sejarah Melayu atau memandang Tuhfat Al Nafis ketika mencari tahu tentang Riau dan Siak atau hikayat-hikayat lainnya. Hari ini, walau dianggap sebagai karya sastra, tulisan-tulisan tersebut menjadi rujukan dalam merekonstruksi sejarah silam rantau ini.

Penulis LAT yang dikenal sebagai figur yang khatam dengan riwayat rantau Melayu dan menjadi rujukan berjalan para penikmat sejarah, juga memiliki kemampuan yang mumpuni mengolah fragmen-fragmen sejarah menjadi kisah-kisah yang menghibur. Penulis LAT mampu membawa pembaca menyelami sejarah silam dengan riang gembira walau mesti berhadapan dengan tragedi dan petaka yang tidak berkesudahan.

Tiada gading yang takretak. Demikian juga dengan novel LAT ini. Kesilapan dalam proses editing, walau kecil namun tetap mengganggu juga. Apapun itu, seperti gading, setiap keretakan tentu tidak menghilangkan nilainya. Demikian juga dengan LAT, kesilapan kecil tentu tidak menghilangkan arti penting novel ini, baik sebagai media hiburan yang menghilangkan dahaga penikmat kisah-kisah masa lalu, maupun sebagai informasi sejarah yang berharga. Tabik!