Minggu, 28 Februari 2021
Mengenal Banyak Mahmud
Nama Mahmud dalam silsilah Kemaharajaan Melayu memiliki kemiripan nama dalam setiap generasinya. Buku ini mengenalkan empat nama Mahmud yang mempengaruhi perjalanan sejarah Melayu. (1) Mahmud Syah I, sultan terakhir Melaka (1477–1526), di tangannyalah Melaka jatuh ke tangan Portugis, 1511, sehingga dia harus menyingkir ke Kota Kara, di hulu Sungai Bintan, dan membangun pemerintahan di sana. (2) Mahmud Syah II (1685-1699), Sultan Kerajaan Johor ke-9 penerus Kerajaan Melaka, yang terkenal dengan julukan Mahmud Mangkat Dijulang, yang wafat di atas julangannya, tahun 1699, karena dibunuh oleh Laksamananya sendiri, Megat Sri Rama, di Kota Tinggi, ibukota Kerajaan Johor, ketika itu. (3) Mahmud Riayat Syah, Sultan Riau-Johor-Pahang ke-4 (1761-1788), dan Sultan Lingga-Riau-Johor dan Pahang yang pertama (1788-1812).
Perubahan nama kerajaan ini, setelah Mahmud Riayat Syah memindahkanpusat kerajaannya dari Riau ke Lingga, tahun 1788, sebagai dampak dari kalah perang melawan Belanda (VOC) dalam Perang Riau (1782-1784). (4) Mahmud Muzaffar Syah,Mahmud inilah yang menjadi tokoh dalam buku ini, yang dilahirkan di Terengganu 1823, di Istana Sultan Ahmad Syah, kakeknya dari sebelah ibu. Dia bergelar Tengku, karena dia seorang bangsawan dan keturunan Sultan. Ayahnya adalah Muhammad Syah, Sultan Lingga-Riau yang ke-3 (1832-1841).
Tidak ada sebuah penjelasan mengapa nama Mahmud menjadi pilihan nama yang sering diulangulang. Namun ada sebuah pemahaman pemberian nama memiliki pesan ke depannya. Kata Mahmud berarti Terpuji dapat diperkirakan nama tersebut bermakna menjadi orang yang dikenal dan selalu dipuji. Mungkin inilah esensinya makna kata Mahmud tersebut.
Subyektivitas Penulisan Sejarah
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam setiap penulisan sejarah pastinya terkandung unsur subjektifitas. Hal ini dapat terjadi apabila sejarawan yang hadir dalam suatu peristiwa membiarkan perilaku politis atau etisnya turut berperan dalam menyampaikan peristiwa tersebut. Pada prinsipnya permasalahan mengenai subjektifitas seorang sejarawan tidak hanya menyangkut masalah sejauh mana ia dipengaruhi oleh nilai-nilai politis dan nilai-nilai etis dalam meyampaikan sejarah. Namun ada kalanya hal ini juga dipengaruhi oleh adanya kepentingan yang melandasinya.
Demikian halnya dalam buku ini tergambar beberapa penjelasan tentang subyektifitas penulisan sejarah tentang tokoh Mahmud. Pada halaman 149 kita dapat penjelasan kuat tentang subyektifitas tentang rencana pembangunan istana Lingga pada beberapa sisi yaitu:
“Jika Netscher mencatat pembangunan istana itu dengan nada minor dan mencela, dan Tuhfat An Nafis mencatatnya dengan rasa kagum tapi menyindir, tidak dengan sebuah syair yang menurut sumber lokal, ditulis seorang pengasuh Mahmud semenjak kecil yang mencatat peristiwa pembangunan Istana itu dengan rasa kagum dan bangga. Penuh pujian.”
Dalam sejarah, subyektifitas banyak terdapat dalam proses interpretasi. Sejarah dalam mengungkapkan faktanya memang membutuhkan interpretasi. Subyektif masih diperbolehkan selama tidak mengandung subyektif yang diserahkan kepada kesewenangan subjek, dan konsekuensinya tidak lagi real sebagai obyektif.
Sumpah Setia Melayu dan Bugis
Dalam MSP berkali-kali pembaca diingatkan akan pentingnya sumpah setia yang pernah dilakukan puak Melayu dan puak Bugis. Masing-masing pihak bersumpah ia tidak akan berbuat khianat kepada yang lain, dan mengetahui serta menyadari bahwa siapa pun yang akan melanggar sumpah ini bakal dihancurkan oleh Allah, disisihkan kaum mukmin, serta diazab di akhirat nanti. Pengulangan sumpah ini di waktu-waktu krisis meluruskan garis sejarah dengan membendung hawa nafsu dan membangun kembali suatu kondisi yang harmonis di dalam negeri tersebut.
Tarik ulur akan legalitas dan legitimasi dua puak tersebut menjadi ujian tersendiri dalam perjalanan sejarah Melayu. Istilah darah murni dan darah campuran dua puak terkadang menjadi penguat sekaligus pengganggu hubungan yang telah turun temurun. Namun setidaknya sumpah tersebut telah menjadi reminder bagi siapa saja yang ingin keluar dari niat baik sumpah tersebut. Niat untuk menjaga keseimbangan dan keberlangsungan perjalanan sejarah panjang Melayu.
Pulau Lingga
Pulau Lingga, sebagai pulau yang meninggalkan tapak-tapak sejarah Melayu tergambar dengan puitis dalam buku MSP (99-104). Dalam Syair Sultan Mahmud disebutkan:
Kata orang purbakala
Gunung ada puakanya pula
Seekor naga tujuh culanya
Sisiknya emas jula gumala
(kuflet ke 116)
Pada kuflet 117 tertera:
Di kemuncak gunung baiduri
Khabarnya konon ada puteri
Tamannya indah tiada peri
Dikawal segala jin dan peri
Secara geografis, pulau Lingga memang sangat strategis. Punya benteng dan perangkap alam berupa hamparan karang yang luas yang tidak mudah dilalui armada kapal perang dan lainnya untuk masuk ke ibukota kerajaan yang ada di dalam sungainya.
Kemelayuan
Penulis memiliki visi kemelayuan yang kuat sehingga karya-karya yang dihasilkannya memuat benang merah yang sama yaitu menyatukan melayu. Mulai dari puisi-puisi Tempuling, novel Bulang Cahaya, Prahara Bukit Siguntang, novel Megat, dan kini MSP adalah rangkaian yang berbeda namun diikat pada satu simpul dunia Melayu bersatu.
Sebuah tekad Mahmud dituliskan pada halaman 167,” Inilah negeri milik nenek moyang kami dahulunya, sebelum dirampas penjajah, dan Beta akan merampasnya kembali.” Adalah sebuah cita mulia bila seorang pemimpin memiliki visi dan misi ke depan yang hebat. Bernostalgia akan kebesaran masa lalu, dikuatkan dengan tekad baja, dan diwujudkan dengan strategi dan tindakan telah menyatu dalam diri Mahmud.
Tindakan Mahmud memasang sebuah kaart (peta) Kemaharajaan Melayu besar di dinding istananya membuat pejabat Belanda terkejut dan marah besar. Peristiwa ini berdampak akan kemarahan Belanda yang digambarkan Netscher,”Usaha Residen Riau dengan sungguhsungguh, tertumbuk pada sifat keras kepalanya itu. Ia tidak berani bertindak secara terbuka, akan tetapi dengan cara-cara licik.”
Mengapa Mahmud (bukan) Pembangkang?
Dalam konteks sejarah istilah pembangkang memiliki nilai subyektifitas tersendiri. Masih ingat dalam pelajaran sejarah di sekolah , selalu dikatakan Arupalaka adalah seorang pemberontak. Sultan Hasanudin adalah pahlawan. Pemberontak versi siapa? Tentunya Arupalaka menjadi pahlawan bagi kelompok masyarakatnya. Dalam kajian sosiologi persepsi ini dikenal dengan sudut pandang in group dan out group.
Membaca ini kita diingatkan tokoh yang seperti Arupalaka yaitu Panglima Sulung (183). Beliau adalah pemimpin Lanun di Retih yang dengan segenap kekuatannya mendukung pembangkangan Mahmud melakukan perlawanan terhadap Belanda. Apakah perlawanan yang dilakukan Panglima Sulung kita kategorikan pembangkangan? Sedangkan tindakan yang dilakukannya adalah melawan ketidaksetujuannya pada sebuah cara yang nyata-nyata konspirasi dengan penjajah Belanda?
Pembangkangan “intelek” menurut penulis telah dilakukan Mahmud terhadap ketidaksukaannya akan Belanda dan Inggris. (161). Pembangkangan apa yang menurut Belanda yang telah dilakukan Mahmud? Pada halaman 174 dijelaskan menurut versi Nietscher terdapat tujuh alasan yaitu; 1) Mahmud sudah berkali-kali mengabaikan kewajiban sebagai orang yang memegang kerajaan pinjaman; 2) Mahmud telah tidak memikirkan keamanan dan ketenteraman dalam kerajaannya, biarpun telah berkali-kali diperingatkan oleh Gubernur Jenderal dan Residen Riau; 3) Mahmud telah mencampuri urusan raja-raja di Semenanjung Melayu yang berada di bawah perlindungan Gubernemen Inggris, sehingga dapat menimbulkan permusuhan; 4) Mahmud dengan kekuatan senjata dan sikap bermusuhan telah datang ke Terengganu, dengan memperdaya pembesar Inggris di Singapura;
Lalu 5) Tindakan-tindakan yang dilakukan Mahmud bertentangan dengan pasal 3 (tiga) dari kontrak tanggal 29 Oktober 1830; 6) Gubernur Jenderal telah mengirimkan surat peringatan kepada Mahmud bulan Desember 1856, yang melarang Mahmud pergi keluar batas wilayahnya, tanpa persetujuan Gubernur Jenderal, dan bila dilakukan lagi, maka Mahmud tidak lagi dapat mengharapkan perlindungan Gubernemen Hindia Belanda; dan 7) Mahmud tetap melanggar perintah dan larangan dengan pergi lagi ke Singapura tanggal 30 Agustus 1857, tanpa seizin Gubernur Jenderal.
Di sinilah letak sudut pandang pembangkangan itu. Mahmud berbuat demikian dengan satu alasan yang kuat yaitu ingin mewujudkan sebuah Kemaharajaan Melayu atas daerahnya. Salahkah itu dilakukan? Salah atau tidak tentunya dari kaca mata siapa perbuatan itu ditujukan. Daftar "dosa" Mahmud mempersulit sekaligus tantangan baginya untuk melepas dari tuduhan-tuduhan subyektif.
Lembaran Sejarah yang Dijauhkan
Membaca Mahmud Sang Pembangkang (MSP) berarti membaca fakta sejarah yang terwarisi. Masyarakat Kepulauan Riau khususnya akan sangat terbantu dengan kehadiran buku ini. Fakta-fakta sejarah yang ditampilkan menjadi catatan warisan berharga sebagai sumber sejarah lokal yang perlu dikedepankan. Generasi baru harus diberikan wawasan kearifankearifan lokal akan sejarahnya. Harapannya tidak terjadi generasi alpa akan sejarah.***