Oleh Musa Ismail

Wajah-Wajah (Perempuan) di Roti Panggang

Sastra Senin, 17 Agustus 2015
Wajah-Wajah (Perempuan) di Roti Panggang

Dalam perjalanan sejarah sastra modern Indonesia, sosok perempuan selalu menjadi topik kreatif sastrawan. Bahkan jika kita kembali ke awal penciptaan manusia, peran Siti Hawa sangat penting. Oleh sastrawan, keberadaan perempuan dalam sastra—sadar atau tidak—direalisasikan dalam warna beragam. Keberagaman tersebut bisa bersifat pro- ataupun kontra-. Tentu kita masih ingat dengan tokoh sekaligus novel Siti Nurbaya karya Marah Rusli yang bernasib buram. Sementara itu, kita juga tentu ingat tokoh Tuti dalam novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisyahbana (STA). Tuti merupakan lakaran tokoh perempuan yang berbanding terbalik dengan Siti Nurbaya. Begitulah sosok wajah perempuan. Jika diibaratkan, wajah mereka berada dalam dua cermin yang berbeda: cermin sempurna dan cermin retak.

Sebuah Wajah di Roti Panggang (selanjutnya disingkat SWdRP) merupakan kumpulan cerpen karya Riki Utomi (Seligi Press, 2015). Buku cerpen keduanya ini memuat sebanyak 22 cerpen yang mengangkat berbagai tema dan topik. Namun, sebagai guru, Riki tampaknya tidak bisa melepaskan diri dari berbagai persoalan yang berkaitan dengan latar belakangnya itu. Paling tidak, fakta tersebut dapat kita simak dalam beberapa cerpennya, yaitu Perempuan yang Ingin Berbaring di Laut, Perempuan Bening, dan Sekolah Buangan. Unsur ekstrinsik yang berkaitan dengan aspek latar belakang kehidupan sastrawan merupakan kajian tersendiri dalam kritik sastra. Aspek ini tidak bisa dianggap remeh dalam kajian sastra karena peneliti akan memperoleh berbagai makna di dalamnya. Hal ini, penulis pernah juga membahasnya pada esai tentang kumpulan cerpen Riki Utomi yang pertama Empat Mata. Riki memang selalu dekat dengan dunia keguruannya.

Ternyata, sastrawan kelahiran Pekanbaru, 19 Mei 1984 ini menyimpan memori khusus tentang sosok perempuan dalam cerpen-cerpennya. Pengamatan-pengamatannya yang tajam terhadap peristiwa sehari-hari di sekitarnya terpampang jelas dalam kumpulan cerpen kedua ini. Hal yang menarik dari karyanya ini, yaitu tentang perempuan. Bagaimana sosok perempuan yang ditemukan Riki Utomi dalam kesehariannya menjalani kehidupan ini? Tentang sosok perempuan di mata Riki, terangkum dalam cerpen-cerpennya yang berjudul Sebuah Wajah di Roti Panggang, Perempuan yang Ingin Berbaring di Laut, Perempuan Bening, Tentang Ibumu, dan Gadis Sunyi.

Pertama, cerpen Sebuah Wajah di Roti Panggang. Riki Utomi tidak menggunakan nama dalam penggambaran tokoh cerpen ini. Pengarang hanya menyebut tokoh dengan sebutan perempuan muda. Tokoh ini dilukiskan dengan sosok yang murah senyum cerah, ramah, dan bersahaja. Wajah sosok inilah yang memiliki daya tarik bagi tokoh lain (seorang lelaki). Konflik cerpen ini berkaitan dengan kekurangpekaan komunikasi karena pengaruh emosi negatif (marah, jengkel). Emosi negatif seperti marah ternyata berpengaruh negatif terhadap  bahasa yang dipergunakan seseorang. Pemicu konfliknya adalah nama makanan: roti panggang atau roti bakar? Ini dapat kita pahami dari kutipan berikut. “Cepat, Pak! Lama sekali buat roti bakarnya!” teriakmu dengan mata tajam ke arah lelaki paruh bayayang membuat roti panggang itu, membuatnya terkejut seketika” (h.6-7). Apa yang dilakukan oleh tokoh perempuan muda? Di saat tokoh lain terkejut melihat kemarahan tokoh lelaki, tokoh perempuan muda malah tertawa geli. Sosok inilah yang telah melahirkan rasa penasaran kepada tokoh lelaki pemarah. Dalam pertemuan selanjutnya, tokoh perempuan muda menjelaskan apa adanya tentang sikap lucu yang diperlihatkan sebelumnya. Dalam dialog, “Barangkali saya memang aneh karena akibat bahasa yang Anda gunakan waktu itu. Bukankah Anda berteriak dengan kata roti bakar?” katanya seperti meyakinkan. …Saya tidak, karena saya menyebutnya roti panggang, bukan roti bakar,” tegasnya seperti berargumentasi (h.9). Dalam cerpen ini, penulis menyimpulkan bahwa perempuan lebih peka dengan bahasa atau rasa bahasa perempuan lebih halus daripada rasa bahasa lelaki (?). Dalam sistem komunikasi, kepekaan bahasa sangat penting. Kepekaan bahasa tokoh perempuan muda inilah yang mengakibatkan tokoh lelaki dalam cerpen ini terbayang-bayang sebuah wajah di setiap roti panggang. Latar belakang akademis cerpenis sebagai orang yang berpengetahuan tentang kebahasaan dapat kita tangkap di cerpen ini.

Kedua, cerpen Perempuan yang Ingin Berbaring di Laut. Tokoh dalam cerpen ini juga tidak menggunakan tokoh. Cerpenis menggunakan tokoh akulirik (Saya) dan perempuan. Saya sebagai guru. Perempuan sebagai siswa. Siswa perempuan dalam cerpen ini berada dalam gambaran yang menyedihkan dan menyimpan beban hidup yang berat. Secara psikis, siswa tersebut tergolong introver. Mirip sekali seperti patung (h.20). Cerpenis menggambarkan tokoh perempuan dalam cerpen ini penuh misteri. Suatu misteri, pasti tidak terungkap, hanya berada dalam terowong kemungkinan. Misterinya, yaitu ingin berbaring di laut. Meskipun tergolong perempuan pintar dan berbakat (h.25), tetapi beban berat masalah yang dihadapi bisa menghancurkan seseorang. Tokoh siswa perempuan yang yatim-piatu ini—secara psikologis—menyimpan kerinduan dan kasih sayang kepada kedua orang tuanya. Beban kerinduan dan kasih sayang yang tidak terpenuhi ini berakibat fatal pada kejiwaannya. Latar belakang pekerjaan cerpenis sangat kuat dalam cerpen ini.

Ketiga, cerpen metaforis Perempuan Bening. Jika ditakwilkan, diksi bening pada judul cerpen ini adalah sesuatu yang bersih, bersinar, tanpa beban, pintar, berwibawa, dan bermarwah. Dalam cerpen ini, cerpenis mengisahkan seorang guru perempuan bernama Erli Farlinda. Guru sederhana yang inspiratif ketika mendidik siswa. Perjuangannya dalam mendidik bisa mengilhami guru lain. Tentu saja ini menjadi wajah guru yang ideal untuk bangsa dan negara kita. Apalagi jika kita komparasikan dengan kenyataan wajah guru negeri ini. Bisa juga dikatakan cerpenis bermaksud ingin berpesan bahwa di negara ini masih ada guru yang sebenarnya: bersahaja, teduh, ramah, bersuara lembut, keibuan, berdaya tarik, dan berhati mulia (h.57), berdisiplin tinggi, beretos kerja tinggi,  simpati-empati, dan dihormati siswa (h.58-59). Karena itulah, guru ini dijuluki perempuan bening.

Keempat, cerpen Tentang Ibumu. Cerpen ini berkisah tentang kerinduan akan seorang ibu. Yang dapat kita tangkap bahwa kerinduan si pengarang (Riki Utomi) terhadap sosok perempuan bergelar ibu. Ibu yang sederhana, super, tersenyum ramah, bersuara lembut, perkasa, perempuan karier, berloyalitas tinggi, tabah, perhatian, guru yang cerdas. Meskipun Riki menggunakan sudut pandang (poin of view) orang pertama sebagai pengamat, tetapi memang jelas bahwa tokoh “Kamu” atau  “Kau” dalam cerpen ini mengacu pada pengarang. “Entah mengapa kau begitu kuat sekali untuk kembali menapak Dabosingkep. Kembali ke Sungailumpur untuk menjumpai Ibumu” (h/109). Riki memadukan wajah Ibu dengan sosok guru. Pada dasarnya, ibu adalah guru buat anak-anak. Ibi berarti pengarang menekankan betapa pentingnya pendidikan. “Ibumu bekerja sebagai guru. Nenekmulah yang menyuruhmu untuk terus belajar” (h. 110). Wajar srekali seorang anak mengenang kebaikan ibu (juga abah). “Bukankah surga di bawah telapak kaki ibu?” (h. 109). Riki sadar sekali akan hal ini. Sebagai anak yang merantau dan tinggal bersama neneknya di Pekanbaru, lalu bekerja dan menetap di Meranti, tentu saja kerinduan akan sosok ibu sangat dirasakan. “Ibu…aku ingin sekali memelukmu…” (h. 113), merupakan suatu ungkapan perasaan dengan kerinduan yang mendalam akan sosok perempuan yang penuh kasih sayang.

Kelimat, cerpen Gadis Sunyi. Cerpen ini mengisahkan tentang siswa perempuan yang hidup dalam kesunyian. Penderitaan yang dialami tokoh “Kau”  hampir sama dengan tokoh dalam cerpen Perempuan yang Ingin Berbaring di Laut. Perbedaannya hanya terletak pada keberadaan orang tua. Tokoh perempuan dalam cerpen Perempuan yang Ingin Berbaring di Laut sudah tidak memiliki orang tua. Sementara itu, tokoh perempuan di dalam cerpen ini memiliki orangtua, tetapi  seperti tidak memilikinya. Ibunya sibuk dengan urusan dinas, sedangkan ayahnya sibuk oleh urusan proyek. Tokoh derita dalam cerpen ini adalah siswa perempuan yang tertekan dengan kesendiriannya. “Ah, sebuah kesendirian ternyata menyiksa daripada berada di pusat keramaian. Kesendirian yang semakin menjadi. Kau semakin menjadi kerdil. Semakin merasa tidak memiliki apa-apa dan siapa-siapa” (h. 119). Watak negatif yang terjadi pada tokoh aku merupakan akibat dari persoalan orang tua. Misalnya tokoh ibu. Tokoh ibu dalam cerpen ini digambarkan sebagai perempuan yang berbuat maksiat. Ibu yang berbaut serong dengan lelaki lain dan mulutnya berbau alkohol serta rokok (h. 120). Tokoh perempuan ini menjadi wajah yang kehausan cinta dan kasih sayang. Akhirnya, tokoh perempuan ini juga terjerumus dalam perbuatan maksiat dengan seorang lelaki (pacaranya). Inilah gambaran keretakan dalam suatu keluarga yang mengakibatkan terjadinya berbagai kerapuhan yang bertubi-tubi.

Realitas sosial tentang kehidupan perempuan dalam cerpen-cerpen Riki memang banyak kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam dunia (sastra), tidak ada yang baru di bawah kolong langit ini. Semuanya sudah ada dalam ciptaan Sang Pencipta. Cuma kepiawaian seseorang/pengarang yang menjadikannya berbeda. Yang menjadikan Riki unik dalam karya-karyanya ini adalah penggunaan bahasa yang terkesan lembut, tanpa banyak metafora, lugas, dan sedikit pleonasme. Selain itu, Riki tampaknya sangat suka berada dalam cerita, tetapi hanya sebagai pengamat. Semoga Riki tetap sukses dengan karya-karyanya.***