Penyair Perempuan Indonesia (PPI) Terbentuk

Dan, Palung Puisi itu Bernama Perempuan

Sastra Minggu, 16 Desember 2018
Dan, Palung Puisi itu Bernama Perempuan
Para Penyair Berfoto Bersama

Sepenggal kalimat ini mengundang tepuk gemuruh peserta Festival Sastra Internasional Gunung Bintan (FSIGB) yang berkumpul di Gedung Aisyah Sulaiman, tiga pekan lalu di Tanjungpinang, Kepulauan Riau Mereka bergantian membaca puisi pada penutupan kegiatan yang  banyak sastrawan di Indonesia, Singapura dan Malaysia tersebut. Saat itulah para sastrawan ini mendengar sepenggal kalimat yang diucapkan penyair perempuan Indonesia asal Riau, Kunni Masrohanti.

Kata-kata itu merupakan sepenggal kalimat dari teks panjang yang diucapkan Kunni saat mendeklarasikan Penyair Perempuan Indonesia (PPI) yang baru dinakhodainya dan lahir dari rahim pertemuan sastrawan itu. Ia berdiri di atas panggung tidak sendiri, tapi bersama enam penyair perempuan lainnya yang hadir dalam festival tersebut dan pastinya tergabung dalam PPI. Mereka adalah, Rini Intama (Banten), Ratna Ayu Budhiarti (Jabar), DM Ningsih (Riau), Umi Rissa (Jabar), Ade Novi (Jabar) dan Yuanda (Kepri). 

Kunni menegaskan bahwa, PPI lahir bukan kerana gender, bukan karena merasa kalah atau ditinggalkan kaum lelaki, tapi karena ingin maksimal berbuat lebih banyak melalui puisi dengan menyadari akan kekuatan yang dimiliki perempuan.



 

Kunni Masrohanti

 

PPI lahir bermula dari perbincangana kecil sebelum menyusuri jejak Hang Tuah pada hari kedua festival bersama penggagas FSIGB Rida K Liamsi dan kritikus sastra Indonesia Maman S Mahayana atau di sela-sela seminar pagi itu. Keduanya kemudian diangkat menjadi pembina PPI. Sedangkan Presiden penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri sendiri belum datang. Ia baru hadir setelah makan siang. Di hadapan mereka dan para sastrawan lainnya inilah teks deklarasi itu dibacakan.

Salah satu gagasan yang paling ingin dikemukakan Kunni dengan hadirnya PPI adalah tentaing pentingnya menulis karya sastra, khususnya puisi dengan tidak meninggalkan tradisi yang dilahirkan para ibu pendahulu, terutama sastra lisan. Dulu, katanya, tidak ada sastra tulis, yang ada sastra lisan, seperti nandung, dodoi, batimang, ratik dan sebagainya. Semua itu disenandungkan ibu saat menidurkan anak dalam buian. Semua syair di dalamnya berisi nasehat, harapan dan doa-doa untuk sang anak. Karena itulah Kunni menyebutkan, bahwa sesungguhnya palung puisi itu adalah perempuan dan akan lebih mudah difahami, lebih terawat di tangan perempuan.

Sastra lisan yang dilantunkan para ibu pendahulu ini sudah banyak yang hilang, seperti terputus. Maka kewajiban para penyair perempuan untuk mengusungnya kembali, mengangkatnya ke permukaan melalui karya-karya puisi. Tidak hanya sastra lisan, tapi juga keseluruhan dari ketulusan dan kekuatan perempuan dinilai mampu mengubah dunia, tentu dengan segala lika likunya. Salah satunya mengubah wajah kerajaan Melayu seperti yang mereka temui selama mengikuti ziarah budaya ke makam pahlawan-pahlawan kerajaan Melayu di Bintan. Ada kekuatan Tun Fatimah, Tengku Tengah, Siti Kamariah, termasuk Aisyah Sulaiman, pujangga besar pada zamannya. Belajar dari itu semua, maka PPI dirasa perlu hadir agar peran sastrawan dan penyair perempuan bagi Indonesia juga lebih terlihat.

 

Rida K Liamsi

‘’Dengan PPI, semoga perempuan bisa lebih  menggali maksimal kekuatan yang mereka miliki, kekuatan seorang ibu, kekuatan seorang istri, kekuatan dirinya sebagai perempuan. Kekuatan itu semoga bisa mengharumkan perempuan dalam dunia kepenyairan di Indonesia dan bisa mengharumkan Indonesia melalui puisi. Jadi, bukan karena kami merasa ingin lebih dari lelaki, merasa kalah atau ditinggalkan, bukan. Tapi ingin menggali potensi yang dimiliki perempuan seperti yang dimiliki perempuan-perempuan terdahulu, ibu-ibu terdahulu. Mereka pahlawan satra, terutama sastra lisan. Nandung, batimang, dodoi, ratik yang penuh pesan dan harapan siapa yang melantunkan, ibu, perempuan. Ini jangan sampai hilang. Saya mengajak perempuan lain, khususnya penyair dan sastrawan, kembalilah pada tradisi, menyusulah pada tradisi,’’ kata Kunni.

Lahirnya PPI di Tanjungpinang ini mendapat sambutan hangat dari seluruh peserta bahkan sastrawan dan penyair seluruh Indonesia yang tidak hadir dalam pertemuan tersebut. Semua itu bisa dilihat dari riuhnya perbincangan tentang PPI di berbagai media sosial dan grup-grup Whatshap sastra.’’Kenapa PPI lahir, tentu mereka ingin lebih baik. Dan mereka lahir setelah mempelajari tokoh-tokoh perempuan Melayu pada zaman kerajaan Melayu. Mereka sangat berpengaruh bagi kerajaan. Inilah yang ditemui Kunni dan teman-temannya itu saat mengikuti Festival Sastra Gunung Bintan ini. Semangat tulus, semangat juang dari tokoh-tokoh perempuan Melayu inilah yang ingin mereka usung dalam diri mereka untuk sastra Indonesia. Bagus, sebuah niat yang bagus,’’ kata Rida pula.***