Iranun Dalam Historikal Sejarah: Catatan Rian Kurniawan Harahap (Bagian-2)

Sastra Sabtu, 16 Maret 2024
Iranun Dalam Historikal Sejarah: Catatan Rian Kurniawan Harahap (Bagian-2)
Microsoft AI Creator

IRANUN itu arti kata asalnya adalah kasih sayang. Bangsa yang selalu rukun, bukan bangsa yang menyukai perang dan tindakan kriminal. Tapi, ada alasan politis lain yang memaksa mereka menjadi lanun. Melanun dan merompak untuk mempertahankan harkat dan martabat bangsa mereka,” lanjut Nadin. Prof. Kazai setuju dan mengangguk. (hlm.48-49)

Iranun merupakan suku yang penuh dengan kasih sayang. Saling menolong, berempati sesama dan mau pasang badan untuk kemaslahatan kaumnya. Begitulah kiranya bisa digambarkan kehebatan hati dan akal budi dari kaum Iranun. Kaum yang sering disebut sebagai peneror paling buas di lautan. Kaum yang ditakuti Belanda, Spanyol, Inggris dan Portugis. Tentu saja kaum ini melakukan hal demikian karena ingin menunjukkan bahwa kemerdekaan dan kebebasan adalah harga mati. Kapal-kapal asing yang merompak tanah-tanah melayu tak terhitung lagi karam dan hancur dibuatnya. Begitulah cerita-cerita tentang Iranun. Kaum yang punya rasa kasih sayang melimpah dan meluah sebanyak air di tengah lautan.

Mengutip Lokman Samad dan Asmiaty Amat (2012) bahwa pembenihan rasa kasih dan sayang sesama mereka diimarahkan dengan mempamerkan ikatan tali persaudaraan biarpun tanpa ada ikatan darah, menerusi kata-kata keramat pegangan mereka yaitu semangat satu bangsa, kita bangsa Iranun.

Lanun Alang Tiga secara terang memperjelas batas, gerak, serta posisi dan kedudukan Iranun. Adapun Belanda yang tidak senang dengan penguasa laut ini lantas menyebut mereka lanun. Iranun atau lanun merupakan sebuah suku yang terkenal di lautan. Mereka berasal dari Mindanao Filipina lalu pindah ke Zulu dan Balangingi kemudian ke Tempasuk. Iranun Tempasuk inilah yang diurai dengan selesa dalam Lanun Alang Tiga. Keseharian mereka yang merompak kapal-kapal dagang di seputar perairan Selat Malaka dan Laut Cina Selatan. Mereka merayau-rayau di lautan, terombang-ambing di lautan berhari, berminggu bahkan berbulan-bulan. Kepopuleran nama iranun atau lanun telah membuat kapal-kapal harus memutar arah jika bertemu kapal-kapal mereka. Tidak ada yang bisa lari dari kapal-kapal mereka yang penuh dengan strategi.

Datu Bandira bin Datu’ Alang (1992) menuliskan tentang sejarah kedatangan Iranun dan penempatan mereka di Sabah bahwa pengaruh agama Islam di Filipina apabila berlaku tiga gelombang penghijrahan orang-orang Melayu ke kepulauan Filipina, mereka berkulit perang dan merupakan antara pelaut yang mahir dan handal telah menyeberangi laut dengan menggunakan perahu layar yang dikenali sebagai barangay sekitar abad ke 14 dan 16 Masehi. Ia juga menjelaskan bahwa Etnik Iranun turut dikenali dengan nama Iranon, Irranun, Illanun, Ilanun, Iranon-Meranoa atau Meranao yang berasal dari Teluk Iranun di bahagian selatan Filipina.

Dalam novel ini secara eksplisit disampaikan bahwa laut adalah rumah bagi Iranun. Datok Rida punya misi besar dalam mengangkat Iranun sebagai judul besar novelnya. Iranun memiliki cerita yang melegenda dalam perjalanan Kesultanan Riau-Lingga. Seperti sebuah repertoar panjang yang berisikan daftar perjuangan Iranun berperan penting dalam bala bantuan di Riau-Lingga. Misi ini dengan berhasil dituntaskan dalam sebuah novel sejarah Lanun Alang Tiga. Dimana Iranun dijelaskan mulai dari kelahirannya hingga Iranun masa kini. Pada tahap ini Datok Rida seolah ingin menunjukkan Kaum Iranun hari ini. Bisa dibilang dekat sekali pembacaannya terhadap sebuah teori eksistensialisme pada Iranun.

Eskalasi politik di lautan yang membuat Iranun harus berjuang merayau-rayau ke berbagai tempat. Eksistensialisme yang ingin digugah Datok Rida adalah keberadaan Iranun kini setelah beratus-ratus tahun merayau ke berbagai tempat hingga akhirnya sampai di Indragiri Hilir dan juga Alang Tiga.

Cuma, kedatangan mereka itu, sama seperti orang Bajau dan orang suku Laut lain yang ramai di kawasan jazirah Melayu ini, memang sebagai para pengembara yang merayau-rayau, mencari makan, di samudra, di Laut Cina Selatan, Selat Melaka, Selat Karimata, dan teluk rantau yang lain. Sampai ke Siam dan Indo Cina. Mencari makan, bertualang di lautan luas itu dan terkadang mereka merompak kapal-kapal dagang asing, seperti kapal dagang Cina dan lainnya. Karena itu, mereka disebut bajak laut atau kemudian terkenal dengan sebutan Lanun karena mereka orang Iranun (hlm. 44).

Kekhawatiran alpa sejarah atau melupakan zuriat dari Iranun itulah yang menjadi dasar Datok Rida melakukan riset panjang untuk menuliskan risalah novel Lanun Alang Tiga. Bisa diyakini hal tersebut sebagai ruang eksistensi Iranun untuk menunjukkan keberadaannya di berbagai sektor. Apatah lagi, tokoh-tokoh Iranun yang dahulunya dianggap sebagai bajak laut atau lanun kini keturunannya telah berbuah menjadi orang-orang yang hebat dan populis serta memegang jabatan-jabatan strategis. Wajah Iranun Tempasuk perlahan berubah dari perompak hingga bertransformasi menjadi manusia-manusia moderen yang merambah berbagai lini bidang kehidupan.

Eksistensi Iranun secara harfiah bisa dimaknai sebagai “cara berada” (the way of being atau il modo di essere) manusia di dunia (worldly). Dalam kajian eksistensialisme sebagai seorang manusia bertanggung jawab atas eksistensinya. Keberadaannya adalah hasil dari tindak tanduknya serta risiko yang telah ia pahami sebelumnya. Begitulah eksistensialisme yang ingin digagas dalam novel ini bahwa Iranun sudah sampai mana dan akan kemana. Iranun telah menancapkan sejarah di bumi melayu sedalam apa, lalu sejauh apa menara ingatan manusia atau pewarisnya bisa menelusuri jejak langkahnya. Inilah yang menarik dalam teori eksistensialisme bahwa manusia punya hakikat untuk terus berada pada pemilihan posisi seperti apa yang dikatakan Jean Paul Satre tentang eksistensi yang merupakan memiliki tugas humanisme.

Jejak perjalanan dan eksistensi Iranun dituliskan Datok Rida lewat kisah seorang Jurnalis asal Sabah (baca: Nadin) yang melakukan penelusuran ke Indonesia. Jalur pelayaran Iranun yang telah melintas batas hingga sampai ke semenanjung Riau inilah yang membuat cerita semakin menarik. Iranun adalah momok yang ditakutkan Belanda. Meski awalnya mereka melakukan perlawanan terhadap Spanyol ketika berada di Mindanao.

Bagi Iranun harkat dan martabat adalah nomor satu dalam perjuangan. Iranun adalah melayu dan mereka terikat dalam solidaritas kemelayuan yang mestinya dipegang sebagai kerja-kerja perjuangan bersama. Nasib yang sama, sejarah yang sama membentuk solidaritas itu semakin menguat. Hal itulah yang membuat Iranun bersekutu dengan kerajaan Riau-Lingga meski mereka datang jauh-jauh dari Tempasuk.

Apa yang menjadi daya dorong Lanun Tempasuk untuk ikut bergabung dan menyerang Belanda di Tanjung Pinang pada 1787? Tentu saja solidaritas melayu. Iranun telah lama berkenalan dengan Kesultanan Riau-Lingga. Datok Rida mengungkapkannya lewat cara kerja wawancara. Prof. Kazai yang menjadi narasumber dan pakar terlibat bincang serius dengan Nadin. Setiap pertanyaan dan jawaban itulah yang merujuk Iranun dahulu seperti apa dan bagaimana.

Menariknya jurnalisme tersebut berhasil mengupas sisi dalam dan luar Iranun Tempasuk. Iranun sebagai bangsa yang merayau di lautan dan Iranun sebagai bangsa yang ikut dalam solidaritas membantu Tengku Yahya yang lari dari kejaran Sayid Ali. Iranun telah meninggalkan cerita tentang sisa-sisa kejayaannya dalam novel ini. Dikemas lewat budaya, situs peninggalan, serta kuliner yang menunjukkan bahwa Iranun tetap eksis dalam lingkar kemelayuan. Kekhawatiran bahwa Iranun akan termarjinalkan atau bahkan terasing seperti suku-suku lain telah berhasil dipatahkan dalam novel ini. Bahwasanya Zuriat Iranun telah berkembang jauh melebihi kolonialisme yang menghadang mereka.

Iranun kini telah berkembang, beranak pinak di berbagai tempat Asia Tenggara. Kemampuan mereka untuk beradaptasi, berpikir seperti lanun yang tak henti menolak kolonialisme, serta kesetiaan pada kesultanan adalah hal tak bisa dibeli dengan apapun. Iranun telah membentuk pikiran-pikiran manusia untuk hidup bersama-sama, berjuang, guyub dalam melawan kolonialisme, keculasan dan kebiadaban peradaban barat yang zalim.