Kamis, 19 September 2024
Banyaknya jumlah penerbit dewasa ini membuat arus penerbitan buku tak bisa dibendung. Setiap bulan ada ribuan judul yang terbit. Hal ini membuat salah satu penyebab usia display buku di toko buku semakin singkat. Menurut beberapa sumber, display buku di beberapa toko buku hanya berkisar antara 3-6 bulan. Selebihnya, buku-buku itu akan digeser atau dipindah ke rak belakang. Bahkan, buku-buku yang penjualannya slow moving akan segera dipindah ke gudang untuk kemudian diretur ke penerbit. Dan, buku-buku tersebut gagal bertemu pembaca potensialnya. Kecuali buku-buku yang terbilang laris. Buku laris biasanya bertahan lama bertengger di rak display. Bahkan, punya rak tersendiri yang sangat strategis.
Dalam bukunya berjudul Apa dan Bagaimana Menerbitkan Buku, Bambang Trim menulis bahwa, pada 2012 IKAPI mencatat ada 1.126 penerbit buku dari seluruh Indonesia. Konsentrasi penerbit terbesar adalah di Pulau Jawa dan sisanya di Sumatra serta Indonesia Timur, termasuk Bali, NTT, NTB, dan Papua.
Dengan jumlah penerbit sebanyak itu, tak bisa dimungkiri persaingan bisnis buku semakin lama bertambah ketat. Sehingga, berbagai strategi pemasaran dilakukan untuk menjual buku yang diterbitkan. Ada yang memasarkan lewat toko buku-toko buku konvensional, pameran buku, hingga door to door dengan mengadakan roadshow atau bedah buku ke berbagai daerah.
Namun, meskipun ada banyak ribuan buku yang terbit setiap bulannya, pasar buku masih sulit diserap oleh masyarakat yang tinggal di daerah. Penjualan buku hanya terbatas pada masyarakat perkotaan yang jumlah toko bukunya memang banyak. Bagaimana dengan masyarakat di daerah, yang di kotanya tidak ada satu pun toko buku berdiri? Bahkan, jumlah perpustakaan atau rumah baca sangat minim. Seolah-olah peredaran buku di Indonesia “tidak adil” karena tidak berhasil menjangkau semua kalangan. Padahal, masyarakat yang tinggal di daerah juga berhak untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan yang ada pada buku-buku terbaru.
Ketidakadilan distribusi buku inilah yang “dikeluhkan” Agus M. Irkham dalam tulisannya Mengatasi Ketidakadilan Buku (Jawa Pos, 03/5/2015). Agus menyayangkan tidak meratanya distribusi buku di negeri ini. Sehingga, banyak orang di daerah tidak bisa menikmati buku sebagaimana masyarakat perkotaan.
Salah satu penyebab tidak meratanya distribusi buku, menurut Agus, karena minimnya toko buku yang ada. Menurut catatan yang ia himpun, jumlah toko buku hanya sekitar 1.500 (80% ada di Jawa). Jumlah buku yang beradar di pasar 175 juta eksemplar. Ruang display di toko buku hanya 375.000 meter persegi. Bila diasumsikan setengah buku di pasar masuk toko (90 juta eksemplar), per meter persegi toko kira-kira diperebutkan 250 eksemplar.
Menariknya, lanjut Agus, meskipun jumlah toko buku dan perpustakaan masih sedikit, pasar penerbitan buku di Indonesia terus tumbuh. Pada 2007-2012 rata-rata pertumbuhannya mencapai 6 persen. Jumlah buku yang terjual pada 2013 mencapai 33.199.557 eksemplar (Lucy Andham Dewi, 2014).
Namun, di situlah masalahnya. Jutaan eksemplar buku yang terjual masih belum bisa diserap oleh kalangan pembaca di daerah. Mereka masih kesulitan untuk mendapatkan buku-buku terbaru karena minimnya jumlah toko buku. Belum lagi harga buku yang memang terbilang mahal. Sekarang, sulit untuk mendapatkan buku dengan harga di bawah Rp20.000. Rata-rata buku dibandrol Rp30.000-Rp50.000. Karena, biaya produksi operasional buku memang tidak murah, karena penerbit harus berbagi rabat dengan distributor atau toko buku. Kalaupun mendapatkan diskon, pembeli biasanya hanya mendapatkan diskon 10-20%. Kecuali, jika pembeli membeli langsung pada saat pameran atau bazar buku.
Bermunculannya toko buku online di zaman digital sepertinya bukanlah solusi untuk mendapatkan buku-buku murah. Karena, selain membayar buku yang akan dibeli, pembeli juga dikenakan biaya ongkos kirim yang tidak sedikit. Bahkan, jika pembeli berasal dari pelosok Indonesia, ongkos kirim lebih mahal dari harga buku yang dibeli. Tetapi, bagi pembeli yang memang sangat membutuhkan, harga bukanlah masalah. Mereka akan rela merogoh uang berapa pun demi menambah pengetahuan.
Tetapi, jika memang ada waktu, di zaman digital seperti saat ini, para penyinta buku bisa googling untuk mencari toko buku online yang menjual buku-buku bekas koleksi pribadi. Biasanya, banyak orang yang meloakkan koleksi bukunya secara online (lewat blog atau media sosial) dengan harga miring, namun kondisinya masih bagus dan enak dibaca.
Di kota-kota besar, biasanya juga ada toko buku yang khusus menjual buku-buku bekas murah. Di Surabaya, misalnya, kita bisa mengunjungi pasar buku “Kampoeng Ilmu” yang berlokasi di Jalan Semarang, tepatnya di samping stasiun Pasar Turi. Di sana kita bisa mencari buku-buku berkualitas dengan harga murah. Bahkan, jika jeli, kita akan menemukan buku-buku langka yang bernilai jual tinggi—jika kita ingin menjualnya kembali.
Namun, yang juga harus diwaspadai adalah, jangan sampai kita terkecoh dengan buku murah yang kondisi masih bersegel. Di pasar buku loak juga lazim dijual buku-buku bajakan dari buku-buku laris karya penulis ternama. Buku bajakan secara kualitas fisik sangatlah buruk, seperti halaman buram atau jilid buku mudah lepas. Bagi yang berpengalaman dengan dunia buku, tak sulit untuk menebak sebuah buku itu bajakan atau tidak, meskipun masih bersegel.
Bagi pembeli yang ingin berhemat, buku-buku bajakan memang jadi salah satu solusi untuk mendapatkan buku dengan harga murah. Namun, sebagai orang yang melek baca dan paham bagaimana jerih payah penulis menuangkan gagasan intelektualnya, rasanya sangat disayangkan jika kita turut mendukung maraknya buku-buku bajakan yang memang sulit dibendung itu. Semoga buku mahal bukanlah alasan untuk tidak menambah pengetahuan dan menyebarkan budaya baca di masyarakat.***
Penulis adalah peresensi buku. Tinggal di Sumenep