Lanun Alang Tiga, Metahistoria Peradaban Iranun Nusantara: Catatan Rian Kurniawan Harahap (Bagian-1)

Sastra Jumat, 15 Maret 2024
Lanun Alang Tiga, Metahistoria Peradaban Iranun Nusantara: Catatan Rian Kurniawan Harahap (Bagian-1)
Microsoft AI Creator

LANUN ALANG TIGA sebagai sebuah novel sejarah perlu dibaca secara utuh dan mendalam. Hal ini diperlukan sebagai sebuah pembacaan dan representasi sejarah apa yang disajikan dalam novel tersebut. Membaca novel ini kita dihadapkan pada statistik angka yang cukup menarik. Lanun Alang Tiga bisa dikatakan novel yang cukup tebal dengan jumlah 370 halaman dan terdiri dari 20 judul bagian. Selain itu novel yang mengangkat judul Lanun Alang Tiga ini mengulang kata-kata Iranun disebut sebanyak 314 kali yang diketahui sebagai dasar pijakan penyebutan lanun. Untuk penyebutan kosakata Melayu 446 kali, Belanda 295 kali, Indonesia 43 kali, Malaysia 47 kali, Mindanao 23 kali, Portugis 11 kali. Pada bagian penyebutan tokoh sejarah Tok Lukus disebut 234 kali, Tengku atau Panglima Sulong 210 kali. Terakhir, penyebutan nama beberapa wilayah yang kerap disebut yaitu Lingga 572 kali, Reteh 102 kali, Patah Parang 141 kali dan Sabah 209 kali.

Statistik tersebut perlu disampaikan sebagai pembuka untuk menunjukkan kemana arah tulisan novel tersebut. Sebagai sebuah novel sejarah tentu saja ini berkait kelindan dengan sejarah yang benar-benar terjadi dan diadaptasi kembali menjadi karya yang fiksi. Sejatinya sebuah novel tetaplah menjadi karya fiksi meskipun dia berisi tentang sejarah-sejarah yang telah melalui riset dan penelitian. Novel Lanun Alang Tiga sekiranya ditulis Datok Rida untuk menjadi senjata pamungkas untuk mewanti-wanti dari apa yang disampaikan oleh George Orwell tentang cara paling efektif untuk menghancurkan masyarakat adalah dengan menyangkal dan menghapus pemahaman mereka tentang sejarah mereka.

Lanun Alang Tiga menjadi penting sebagai pondasi melek sejarah bagi generasi muda saat ini. Di tengah gempuran era society 5.0 yang dipenuhi dengan informasi yang berseliweran tanpa jelasnya akurasi dan kesahihahan data. Ditambah lagi generasi Z yang saat ini cenderung apatis dan tidak peduli dengan segala hal yang berbau dengan sejarah, masa lalu, dan ritus. Mendengar kata tersebut mereka langsung mengklasifikasikannya sebagai suatu yang kuno. Justru novel sejarah Lanun Alang Tiga seharusnya mampu menjadi corong untuk mendekatkan diri mereka untuk lebih paham, tunak dan fasih dalam meneroka sejarah.

Lanun Alang Tiga ditulis oleh Datok Seri Lela Budaya atau Datok Rida K Liamsi. Seorang yang telah malang melintang dalam dunia kepenulisan nasional khususnya Riau dan Kepulauan Riau. Dalam usianya yang semakin bertambah justru ia membantah anggapan semakin tua semakin tidak menulis. Bahkan bisa dikatakan Datok Rida adalah penulis novel yang sangat aktif. Sebut saja, Megat, Bulang Cahaya, Mahmud Sang Pembangkang dan Hamidah yang telah menjamah pembaca dengan minat novel berlatar belakang sejarah terlebih dahulu.

Datok Rida terus meluncurkan novel-novel yang berlatar kemelayuan seiring dengan perkembangan zaman. Ia menuliskan Lanun Alang Tiga seperti membolak-balik halaman sejarah yang tak bisa ditentukan ritmenya. Ia bisa memulai dari awal mula melayu di Ulu Sungai Carang Bintan lalu terbang jauh ke masa sebelum itu dimana penceritaan beralih ke Sang Sapurba di Bukit Siguntang. Menariknya dengan gaya penulisan semacam itulah daya tarik untuk membaca semakin besar. Ia berhasil menciptakan enigma atau semacam teka teki dalam pikiran pembaca. Ia sengaja tidak menyodorkan sejarah itu seperti makanan cepat saji. Ia terlebih dahulu memasak dan membumbui dengan pengalaman sejarahnya, menerokanya dan memasukkan imajiner dalam rangkaian peristiwa yang dialami oleh tokoh-tokoh sejarah. Ia menghidupkan peristiwa yang telah berlalu hampir lima ratus tahun yang lalu. Ia sajikan laut-laut yang penuh dengan prahara untuk menunjukkan betapa luasnya negeri ini sebagai sebuah negara kepulauan.

Datok Rida telah selesai dengan novel sejarahnya namun pembaca belum tuntas menyelesaikan pekerjaannya. Mengupas, mendiskusikannya dan membawanya dalam ruang-ruang akademis. Mengalihwahanakan tulisannya menjadi berbagai bentuk lain yang mendukung lestarinya sejarah semisal film, pertunjukan teater, tari dan lainnya yang tidak menutup kemungkinan bisa diadaptasi. Lanun Alang Tiga perlu dikupas secara akademis untuk menjadikannya salah satu tonggak buku novel sejarah yang peduli dengan bangsa melayu.

Angka statistik novel tersebut sebenarnya bukan ditulis tanpa arti. Setiap jumlah penyebutan atau pengulangannya memiliki makna. Semisal penyebutan Iranun yang menjadi dasar dari kata lanun. Iranun adalah pokok cerita yang digambarkan dengan cerita panjang antara tokoh bernama Nadin yang merupakan keturunan Iranun dari Sabah. Iranun inilah “daging” dari penceritaan Lanun Alang Tiga. Selain itu, penyebutan Melayu sebanyak 446 kali menunjukkan bahwa bangsa Iranun adalah bangsa melayu. Akar kemelayuan ini juga menjadi latar belakang kerajaan-kerajaan yang dinarasikan. Selain itu, kata Belanda dan Portugis yang muncul silih berganti adalah bukti bahwa musuh yang dihadapi adalah bangsa asing yang sering melakukan adu domba.

Untuk membuka catatan panjang tentang esai ini, penulis merasa harus menjabarkan pentingnya data statistik tempat. Penceritaan sebuah novel sejarah adalah perekaman kejadian yang sebenar-benarnya terjadi. Novel sejarah menjadi otentik keaslian sejarahnya jika situs-situsnya masih ada dan peristiwanya sejalan dengan cerita-cerita yang tergambar di tempat tersebut. Layaknya sebuah sejarah yang mesti ada bukti dan saksi maka tempat adalah hal esensial dalam pembangunan kerangka peristiwa. Patah Parang, Reteh, Pulau Alang Tiga, Sabah serta Lingga menjadi laman bermain bergeraknya cerita dengan lincah. Itulah kekuatan sebuah tempat. Reteh menjadi penting sebagai lokus peristiwa dan gejolak sejarahnya. Sementara Alang Tiga Kepulauan Lingga menjadi pesona misterius yang tak siap-siap dikupas, selain kemolekan pulaunya.

Datok Rida sepertinya sengaja membenturkan peristiwa ini dengan apa yang terjadi dengan hari ini. Novel ini berdiri di batas realisme dan metahistoria. Tokoh-tokohnya hidup selayaknya manusia biasa di zaman kemajuan. Ia tak jauhkan teknologi, kalimat dan adegan-adegan dipenuhi dengan realisme. Ia tidak mau membuat buku novel sejarah yang hanya menjadi artefak. Manuskrip-manuskrip kuno yang akan dimuseumkan di dalam pustaka-pustaka besar yang sepi pengunjung. Buku ini relevan dengan kehidupan zaman sekarang. Ia tak tertinggal zaman, andai saja pun buku ini masih ada dua puluh sampai tiga puluh tahun yang akan datang. Nyatanya, tren dan hal-hal realisme zaman kini sebagai penceritaannya tentu masih relevan.

Lanun Alang Tiga adalah rekonstruksi sejarah dengan gaya fiksi yang memadupadankan kekinian zaman. Cerita yang dimulai dengan penugasan seorang Jurnalis Suara Borneo Sabah Malaysia bernama Nadin untuk menuliskan dan mencari keturunan Iranun di Indragiri Hilir. Tugas tersebut ia dapatkan dari Datuk Rahman pimpinan surat kabar Suara Borneo dan ketua perkumpulan Iranun di Sabah. Ia pun mesti terbang ke Indonesia lewat Kuala Lumpur lalu ke Pekanbaru, Rengat, Tembilahan dan akhirnya sampai ke Benteng.. Pencarian tersebut dikemas menjadi menarik karena pola kerja jurnalisme menjadi penceritaan dalam novel ini. Selama disana ia ditemani Prof. Kazai yang merupakan ilmuan dan sejarawan serta Mustam seorang jurnalis dari harian Suara Melayu. Sepanjang melakukan kerja jurnalistik tersebut, Nadin mulai merasakan berbagai kejutan tentang Iranun yang pelan-pelan terbuka dari berbagai narasumber. Begitu juga dengan kisah cinta Nadin dengan Haini pacarnya di Sabah yang mesti goyah berkali-kali karena Nadin jatuh hati dengan keturunan Iranun di Patah Parang yang bernama Julia. Kisah ini dengan manis dibungkus oleh Datok Rida namun tidak menghilangkan konsep sejarahnya.

Hal yang sangat menarik sejak awal adalah bagaimana penamaan tokoh-tokoh serta seluk beluk dunia jurnalistik yang begitu detil. Tentu saja sebagai penulis Datok Rida punya keluwesan memilih nama tokoh serta profesi apa yang dipilih. Nama-nama seperti Prof. Kazai, Mustam, Awi, Julia yang rasanya tidak asing dan dekat dengan lingkungan Datok Rida. Tokoh-tokoh tersebut dihidupkan dalam sebuah novel yang berbasis pada riset sejarah. Selain itu, optimalisasi pilihan dunia jurnalistik sebagai “alat bedah” mengupas kulit sejarah Iranun rasanya sangat tepat. Mengapa demikian? Pola kerja jurnalistik yang mengupas sumber secara rapi dan mendalam, menggali narasumber, serta riset berbasis pada masyarakat tempatan menjadikan novel ini secara holistis mengakomodir unsur-unsur sejarah dan sastra.

Sumber serta validitas yang dipilih adalah sesuatu yang Datok Rida khatam di luar kepala. Jurnalisme adalah dunianya hingga kini. Apabila ingin mencari kealpaan dalam istilah atau cara kerja jurnalisme dalam novel ini justru itu adalah kesalahan besar. Pola kerja Nadin sebagai seorang jurnalisme sangat rapi, sehingga bisa jadi tebakan saya sebagai penulis bahwa sosok Nadin ini adalah jurnalis yang sudah banyak makan asam garam.

Begitulah kemasan novel ini untuk mengantarkan pembaca pada gerbang sejarah yang sebenarnya ingin dikupas oleh Datok Rida. Melayu yang tak habis-habis untuk dikupas sejarahnya. Melayu yang hidup sebagai sebuah bangsa besar dan zuriat keturunannya telah tersebar dari ceruk-ceruk kampung hingga ke kota-kota besar. Lanun Alang Tiga yang membuka tabir besar tentang wacana Iranun yang kerap dilupakan. Iranun yang ditakuti seperti teror-teror yang mengintai di laut lepas. Sejarah itu diluruskan, dibuka dan dihidangkan dengan riset panjang yang mungkin membutuhkan waktu bertahun-tahun menuliskan novel sejarah ini.

Henry S. Lucas seperti yang dikutip Kuntowijaya (1987) dalam bukunya menuliskan dalam melihat kebenaran sejarah dalam sebuah novel sejarah bisa dilihat dari segi keaslian sejarah (historical authenticity), kesetiaan sejarah (historical faithfulness) dan kesetiaan unsur lokal (authenticity of local colour). Dalam hal ini penting bagi sebuah novel sejarah untuk mempertahankan keaslian sejarah tersebut, meskipun dalam penulisannya akan muncul berbagai versi. Kemunculan perbedaan ini sah-sah saja sebagai sebuah karya yang berakar fiksi namun tentu kesamaan tokoh, unsur lokalitas serta kesetiaan pada sejarah menjadi penting. Secara hermenutika penting melihat hal tersebut sebagai pijakan riset pustaka dan lapangan. Kerja seorang pengarang untuk mengumpulkan data kembali ke masa silam merupakan suatu bentuk kesetiaan sejarah.

Untuk mengupas karya Datok Rida perlu menjabarkan menjadi beberapa subjudul demi tercapainya kebenaran sejarah. Pembaca tidak boleh tergesa-gesa untuk menyimpulkan apa yang terjadi pada lanun.Tindakan-tindakan apriori tersebut tidak cukup bijak dalam kerja-kerja literasi. Maka apa yang sebenarnya berusaha dipaparkan dalam Lanun Alang Tiga? Apakah dialektika tentang Iranun serta investigasi Nadin sebagai seorang jurnalis yang menerbitkan tulisan berseri di surat kabar, menjadi kontekstual dalam memaknai sejarah kini? Maka untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu rasanya untuk membuat cabaran panjang mengenai perihal Lanun Alang Tiga agar terang benderang.