Oleh Musa Ismail

Profeminisme, Transformasi Teks, dan Kesetiaan dalam Bulang Cahaya

Sastra Kamis, 14 November 2019
Profeminisme, Transformasi Teks, dan Kesetiaan dalam Bulang Cahaya
Musa Ismail - Internet

 

 

Pengantar
 

Bulang Cahaya merupakan salah satu novel Indonesia yang berlatar sejarah. Kehadiran novel yang diterbitkan pada 2007 ini telah menyemarakkan dinamika sastra di tanah air. Bahkan, novel berlatar sejarah mendapat perhatian khusus dari kritikus sastra seperti Maman S. Mahayana. Dalam catatan Maman S. Mahayana, pemanfaatan peristiwa sejarah sebagai latar cerita baru disentuh oleh Taufik Ikram Jamil dalam novel Hempasan Gelombang (1999) dan Gelombang Sunyi (2001), Nur Sutan Iskandar dalam novel Hulubalang Raja, Utuy Tatang Sontani dalam Tambera, Mangunwijaya dalam novel Burung-Burung Manyar, dan Pramoedya Ananta Toer dalam novel tetralogi Bumi Manusia. Penghadiran peristiwa berlatar sejarah oleh Rida K. Liamsi dalam Bulang Cahaya berarti telah membidik suatu peristiwa kebudayaan yang pernah terjadi di masa lampau. Collingwood mengatakan bahwa sebagai suatu dikatakan sejarah apabila tiga dari empat ciri sejarahnya sudah terpenuhi. Keempat ciri sejarah itu adalah (1) saintifik atau bermula dengan mengemukakan persoalan-persoalan, (2) tentang kemanusiaan atau mengemukakan perkara-perkara yang telah dilakukan oleh manusia pada waktu-waktu tertentu di masa lalu, (3) rasional atau jawaban-jawaban yang diberikan kepada persoalan-persoalan yang ditimbulkan didasarkan pada bukti-bukti, dan (4) menjelaskan diri atau ia wujud untuk memberitahu manusia: Apakah manusia itu, dengan cara memberitahu apa-apa yang telah dilakukan oleh manusia1 . Sejalan dengan itu, Fleishman menjelaskan bahwa satu kisah kehidupan yang diserapkan dalam bingkai sejarah hanya merupakan suatu novel, tetapi apabila watak-watak hidup dalam ruang atau dunia yang dihuni oleh tokoh-tokoh sejarah, akan menghasilkan novel sejarah2 .


Hakikat karya sastra bukan semata-mata imajinasi. Kelahiran karya sastra juga tidak terlepas dari pengamatan, riset, atau survei yang dilakukan oleh sastrawan. Bahkan lebih jauh, sastrawan bisa melakukan riset kepustakaan dan perenungan panjang serta perbandingan untuk melahirkan karya yang bermutu. Penghadiran karakterisasi tokoh, misalnya, bisa dilakukan dengan ketelitian yang mendalam apalagi jika karyanya berkaitan dengan latar belakang sejarah seperti Bulang Cahaya. Aminuddin dalam Pengantar Apresiasi Karya Sastra menjelaskan, karya sastra adalah produk kreasi manusia yang merupakan emanas kehidupan. Disadari atau tidak, mengajuk imajinasi atau tidak, produk kreasi manusia adalah hasil dari pengalaman fisik dan psikologis (jasmani dan rohani) yang kita alami. Hasil dari pengalaman inilah yang mengalami perkembangan terus menerus. Dari sini pula, lahirlah mitos-mitos sebagai elemen antropologi. Ini berarti, menurut Grebstein, sastra dapat dikatakan sebagai tradisi, yakni kecenderungan-kecenderungan spritual maupun kultural yang bersifat kolektif (1987:63).


Profeminisme dalam Bulang Cahaya


Hal yang menarik perhatian penulis dalam novel Bulang Cahaya adalah eksistensi tokoh perempuan. Penghadiran karakterisasi perempuan dalam sastra bukan hal baru. Sejak berabad-abad, perempuan selalu menjadi daya tarik tersendiri bagi sastrawan. Sadar atau pun tidak, penghadiran tokoh perempuan dalam karya fiksi bermakna memberikan unsur ”keindahan” tersendiri. Bukan hanya itu, perempuan pun bisa menjadi tokoh sentral, baik dalam sastra Indonesia maupun mancanegara. Penulis novel ini, Ridak K. Liamsi menyadari akan pentingnya kehadiran tokoh perempuan dalam karyanya. Kehadiran tokoh perempuan bukan hanya sekedar dalam keindahan sensual dan duniawi. Dalam buku Kimia Kebahagiaan teori al-Ghazali, keindahan sensual dan duniawi merupakan keindahan terendah yang berkaitan dengan hedonisme dan materialisme (lihat Abdul Hadi W.M., 2004:41). Dengan demikian, novel Bulang Cahaya karya CEO Riau Pos Group dan Pendiri Yayasan Sagang ini bisa dikaji dari sudut pandang feminisme.

Dalam dunia sastra, feminisme dapat digunakan sebagai pendekatan teori kritik sastra. Sugihastuti mengungkapkan bahwa kritik sastra feminis adalah kritik sastra yang memandang sastra dengan kesadaran khusus akan adanya jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan manusia. Dengan demikian, feminisme sastra merupakan suatu metode penelitian sastra yang mengangkat persoalan perempuan dalam karya sastra. Persoalan-persoalan yang ditelaah, menurut Endraswara, berkaitan dengan beberapa hal, yaitu (1) kedudukan dan peran tokoh perempuan dalam sastra, (2) ketertinggalan kaum perempuan dalam segala aspek kehidupan, termasuk pendidikan dan aktivitas kemasyarakatan, dan  (3) memperhatikan faktor pembaca, khususnya bagaimana tanggapan pembaca terhadap emansipasi wanita dalam sastra. Selanjutnya, Endraswara mengatakan salah satu sasaran penting analisis feminisme sastra berkaitan dengan mengungkap berbagai tekanan pada tokoh wanita dalam karya yang ditulis oleh pengarang pria (2008:146).

 

Persoalan cinta merupakan tema yang sangat tua dalam kisah manusia. Persoalan ini terus mendapat tempat utama di hati sastrawan dan pembaca. Bumbu percintaan dalam karya sastra selalu ada, baik sebagai alur utama maupun alur sisipan. Salah satu konflik yang dihidangkan kepada pembaca melalui karya sastra adalah pengorbanan dalam percintaan. Tokoh Zainudin dalam Tenggelamnya Kapal Van der Wijk, misalnya, menjadi korban pengkhianatan cinta Hayati. Ada Samsul Bahri dalam Siti Nurbaya yang menjadi korban percintaan karena Siti Nurbaya terpaksa menikah dengan Datuk Maringgih. Kisah pengorbanan cinta ini dapat pula kita jumpai dalam Romeo and Juliet. Pola pengorbanan cinta ini berbeda-beda. Perbedaan alur dan pengisahan inilah yang menjadi keunikan sastrawan. Dalam Bulang Cahaya, ada kisah pengorbanan cinta yang dahsyat di era kerajaan antara Tengku Buntat dan Raja Djaafar. Penulis novel ini dalam epilognya menyatakan, "Sungguh luar biasa seorang perempuan. Meskipun Tengku Buntat bukan setara Cleopatra. Bukan standing puteri Mumtaz Mahal, tapi tragedi cintanya mungkin dapat disamakan dengan tragedi cinta Helen dari Troya, sebuah legenda tentang cinta” (2007:319). Kalimat pertama dalam kutipan ini jelas sekali bahwa Rida mengakui kekagumannya  kepada perempuan. Kedudukan perempuan menjadi sangat penting di mata pengarang pria ini. Kekaguman ini merupakan bukti profeminisme yang luar biasa. Diksi tragedi dalam kisah ini menjadi penanda bahasa bahwa kisah ini mengundang kepedihan bagi Tengku Buntat dan Raja Djaafar. Percintaan mereka kandas bukan karena ketidaksetujuan kedua orang tua. Ketidaksampaian cinta di kalangan kerajaan ini dikarenakan peristiwa politis antara Melayu-Bugis. Ini mengisyaratkan bahwa demi keutuhan suku-suku di tanah air, pengorbanan cinta pun bisa menjadi solusi. Secara sadar, Rida dalam novelnya ini mengetengahkan betapa besarnya peranan dan keberanian perempuan dalam peristiwa pengorbanan. Rida membuktikan bahwa perempuan sangat kuat. Menurut Hellwig, novel dan cerita yang ditulis perempuan tidak berdaya polanya. Malahan, lebih banyak penulis laki-laki yang menggambarkan tokoh perempuan secara lebih positif dan lebih memberdayakan” (2003:vi). Selanjutnya, Hellwig mengatakan, perempuan tidak dapat melarikan diri dari kodrat bawaan sebagai pengasuh utama atau dorongan untuk mengasuh, merawat, berempati, dan mengorbankan kebutuhannya sendiri demi kepentingan orang lain (2003:xvii). Tengku Buntat terpaksa mengorbankan kebutuhannya sendiri demi kepentingan politis penyatuan dua bangsa. Rida mengakui akan kebesaran perempuan melalui tokoh Raja Ikhsan dalam epilognya, ”…. Di setiap peristiwa besar, selalu di sana ada peranan perempuan” (2003:319).

 

Meskipun di satu sisi ada anggapan bahwa perempuan tersubordinasi, tetapi dari sisi berbeda perempuan merupakan kekuatan, memiliki karakter yang tidak dimiliki kaum lelaki. Bulang Cahaya seakan-akan menolak anggapan tersebut. Kedudukan dan peranan perempuan dalam novel ini sungguh hebat. Tokoh utamanya, Tengku Buntat, walaupun dihimpit berbagai kepedihan percintaannya dengan Raja Djaafar, tetap menjalaninya dengan penuh kesabaran. Kita tahu bahwa kesabaran memiliki kedudukan tinggi di mata Allah Taala. Namun, kekuasaan politik pun terbukti mengintervensi jalinan kasih sayang. Di sini kita memahami bahwa kekuasaan politik mampu membunuh sisi kasih sayang sebagai nilai moral kemanusiaan. Gambaran kekuatan Tengku Buntat terlukis dalam kutipan berikut: …. ”Tapi Buntat tidak terlalu suka yang main terkam. Dia lembut, perasa” (hlm. 35). Kondisi inilah yang menyeret posisi perempuan seperti Tengku Buntat ke arah marjinalisasi. Dalam kasus ini, kekuatan perempuan bukan terletak pada kemampuan fisik, tetapi lebih kepada kekuatan perasaan. Semakin kuat menanggung kepedihan, bermakna seorang perempuan seperti Tengku Buntat terkesan semakin kuat menjalani kehidupan.

 

Bulang Cahaya yang menggunakan alur bolak-balik dan berbingkai ini ingin mengetengahkan tentang kekuasaan absolut. Kekuasaan absolut bisa melakukan apa saja. Para penguasa digambarkan sangat kuat yang bisa memangsa siapa saja. Siapa pun yang menjadi objek korbannya seakan-akan tak berhak membela diri atau memberontak. Kondisi inilah yang dihadapi Tengku Buntat dalam melukis cintanya bersama Raja Djaafar. Konflik ini menjadi sangat berbeda karena bermodus ingin menyatukan perselisihan suku di Indonesia, yaitu Bugis-Melayu. Pada dimensi ini, kebijaksanaan menjadi prioritas.

 

Kebijaksanaan adalah suatu kemuliaan. Karakter bijaksana sangat diperlukan manusia, terutama dalam kepemimpinan. Kekuasaan absolut selalu mengorbankan aspek ini. Padahal, kekuasaan selalu berkaitan dengan kepemimpinan. Bagaimana sikap bijaksana mampu meruntuhkan konflik dapat kita simak dalam kutipan berikut.


”Jangan hamba ini dijadikan barang taruhan. Apalagi sampai berbunuh-bunuhan. Kalau sampai begitu, tak satu pun yang dapat. Tidak juga abang Djaafar. Apa hamba ini barang taruhan? Kepada siapa hamba ini memberikan hati dan cinta, tidak ditentukan oleh senjata dan kuasa. Tapi dari dalam diri ini. Tidak dapat dipaksa. Kalau abang Djaafar tak juga jadi sabar, dan menyelesaikan perseteruan dengan badik seperti perangai orang Bugis lainnya, tinggalkan Buntat sekarang. Buntat tak mau!” tangis Buntat menyeruak dari beranda rumah tempat mereka bertemu” (2007:43-44).

 

Dalam dialog di atas, Rida K. Liamsi menggambarkan kekuatan dan ketegasan Tengku Buntat menghadapi persoalan. Persoalan tersebut bukan konflik cinta semata, tetapi mengaitkan  persoalan yang bermuara ke perpecahan bangsa. Diksi hati dan cinta dalam dialog Tengku Buntat lebih bermakna simbolisasi lebih luas, bukan sekedar aspek keindahan rendah. Diksi senjata dan kuasa merupakan lambang kekuasaan absolut. Di sini, terbukti bahwa perempuan bisa menentukan arah kebijakan suatu bangsa. Hati dan cinta perempuan seperti Tengku Buntat tidak dapat dipaksa oleh kekuasaan apapun. Bahkan, hati dan cinta perempuan mampu mengubah kebiasaan suatu bangsa. Lumrahnya perlawanan perempuan, lebih banyak mengumbar air mata sebagai luapan emosional.

 

Selain Tengku Buntat, tokoh perempuan lain yang mendapat perhatian Rida K. Liamsi, yaitu Raja Hamidah atau Engku Puteri. Raja Hamidah juga merupakan tokoh sejarah, selain sebagai permaisuri Sultan Mahmud dan adik Raja Djaafar. Dalam catatan sejarah Hasan Junus (2002), Raja Hamidah lahir pada 1774. Beliau merupakan anak perempuan pertama Raja Haji, Yang Dipertuan Muda Riau Lingga IV (1778-1874). Ibunya adalah dari Perak, puteri Daeng Kamboja. Ketika dilahirkan, ayahnya, Raja Haji masih berstatus Kelana Putera Jaya, iaitu jawatan bakal Yang Dipertuan Muda. Tugasnya menjaga ceruk rantau, dan memerangi musuh. Sebagai puteri seorang panglima, maka Raja Hamidah telah dibesarkan dalam tradisi istana, kebangsawanan, dan tradisi perang. Dalam novel ini, Rida K. Liamsi juga menegaskan bahwa Raja Hamidah merupakan perempuan penting dalam kepemimpinan sebagai pemegang Regalia Kerajaan. Karakter perempuan bertanggung jawab sangat melekat pada tokoh Raja Hamidah.

 

Tapi Engku Puteri tetap menolak dan tidak setuju. Keputusan menetapkan jabatan Sultan itu, kerja besar, tak boleh melanggar adat-istiadat,” katanya sambil menggertapkan giginya. Engku Puteri merasa harus berjuang habis-habisan mempertahankan pendapatnya, karena dialah pemegang Sirih Besar, Regelia Kerajaan” (2007: 272).

 

Regalia dalam bahasa Latin plurale tantum yang memiliki arti hak istimewa dan karakteristik dari lambang penguasa. Sirih Besar  merupakan simbolisasi dari Regalia Kerajaan yang dijabat Engku Puteri sebagai amanah. Amanah merupakan tanggung jawab besar dan itu tertanam di dalam sanubari perempuan di lingkungan pemerintahan. Selain itu, Engku Puteri juga sosok yang taat adat. Keputusan penetapan suatu jabatan sejatinya sesuai dengan kemampuan pejabatnya. Jika keputusan penetapan jabatan tidak sesuai dengan adatnya atau kemampuannya, di sinilah terjadi proses pelanggaran adat. Pelanggaran ini sangat berisiko terhadap jalannya kepemimpinan dan pemerintahan. Dalam kehidupan sehari-hari, kita masih menemukan pejabat yang menjabat tidak sesuai dengan bidangnya. Inilah biang kehancuran. Karakter Engku Puteri ini mengandung pesan sangat menarik bagi pemangku jabatan atau pemimpin. Ini membuktikan bahwa perempuan juga memiliki ketegasan dan kekuatan luar biasa jika diberikan amanah kepadanya.

 

Kalau perempuan berwatak penyayang, itu suatu kewajaran. Karakter penyayang inilah yang ditunjukkan Engku Puteri kepada Tengku Buntat dalam hubungan kekeluargaan dan kekerabatan. Namun, keteguhan hati dalam kaitannya dengan pemerintahan tetap ditegakkannya sebagai penguasa. Selain paragraf di atas, beberapa paragraf berikut juga mendeskripsikan keperkasaan Engku Puteri sebagai perempuan.

 

 ”Tapi tak ada saksi, bahwa itulah wasiat almarhum. Kita ini hidup beradat. Negeri ada yang mengaturnya. Kalau kita langgar, maka semua negeri dan sahabat kita kan mencela, dan menuduh kita negeri yang tak beradat, negeri yang mendurhaka kepada nasehat dan petunjuk yang tua-tua,” Engku Puteri tetap menolak niat Djaafar untuk menetapkan Tengku Abdurrahman sebagai Sultan” (2007:270).


Hidup dalam aturan akan memberikan dampak baik bagi kehidupan luas. Itulah agaknya yang tergambar dalam pribadi Engku Puteri dalam melakoni tanggung jawabnya. Peraturan yang sudah ditetapkan untuk suatu negara selayaknya diimplementasikan dengan benar. Pelanggaran-pelanggaran terhadap peraturan inilah yang akan menghancurkan negara tersebut. Hal terbaik adalah menjalankan negara sesuai dengan peraturan yang berlaku. Berpegang teguh pada peraturan (adat) inilah yang menjadi suatu kekuatan dalam menjalankan kebenaran dan keadilan sehingga bisa mempertahankan marwah bagi bangsa dan negara. Hal ini tercermin dalam kutipan berikut.

 

”Bentangkan layar. Pulang ke Penyengat. Biarkan beta yang menanggung akibatnya. Hanya ini lagi yang jadi marwah kerajaan. kalau regelia ini pun sudah digunakan untuk yang salah, tak ada lagi gunanya. Tak ada lagi marwah. Tak ada lagi adat berkerajaan” (2007: 310-311).

 

Marwah (muruah) merupakan harga diri atau kehormatan diri. Dalam pandangan bangsa Melayu (Indonesia), marwah boleh bersifat pribadi, kelompok, bahkan bangsa dan negara. Marwah ini akan terbangun melalui adat istiadat yang konstruktif. Dengan kata lain, sesuatu (orang, sekelompok orang, bangsa, dan negara) dikatakan bermarwah apabila sifat dan perilakunya berorientasi pada adat istiadat. Hal yang lebih penting apabila sesuatu itu berperan sebagai penerima amanah. Marwah penerima/pemegang amanah akan lebih berat. Sifat dan perilaku Engku Puteri yang terlukis dalam dialog di atas jelas sekali menunjukkan bahwa seseorang pemegang amanah haruslah kuat menegakkan kebenaran. Demi marwah, seseorang selayaknya menanggung risiko untuk terus tegas pada garis kebenaran, bukan sebaliknya melakukan kesalahan. Sifat dan perilaku inilah yang akan mengharumkan marwah atau adat seseorang, sekelompok orang, bangsa, dan negara. Mahayana menegaskan, dari karya sastra itu, pembaca diajak untuk berpikir, bercermin, dan melakukan introspeksi diri untuk memerangi kejahatan, menegakkan kebenaran, dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan (2005:51).

 

Bulang Cahaya sebagai Transformasi Teks

Seperti bangsa lain, Bangsa Melayu juga memiliki sejarah. Aspek sejarah menjadi wadah untuk pengembangan budaya. Salah satu jalan pengembangan itu adalah karya sastra. Berdasarkan sejarah, dunia Melayu (dalam arti luas) sangat terkenal dengan sastranya. Bangsa ini memiliki karya sastra monumental sebagai sagang di setiap kurun waktu tertentu. Di samping itu, karya sastra yang terlahir pun (teks dalaman) lebih banyak berkelindan dengan teks luaran. Kenyataan ini sesuai dengan pendapat Mikhail Bakhtin, yaitu dalam setiap karya selalu terdapat dialog yang menghubungkan teks dalaman dengan teks luaran. Teks dalaman merupakan aspek yang berkaitan dengan pembinaan karya sastra seperti estetika, imajinasi, dan ilusi. Teks luaran merupakan teks sosial yang erat kaitannya dengan pengalaman pengarang, ideologi, sejarah, moralitas, budaya, dan sebagainya (dalam Napiah, 1994:x). Kristeva menegaskan, originalitas suatu teks hanya maujud di tingkat bentuk. Selebihnya, setiap produksi teks pastilah merupakan transformasi dan serapan yang berkelanjutan (dalam Depdiknas, 2008:33). Namun, kita juga patut mempertanyakan apakah karya sastra surealisme pun merupakan transformasi dan serapan berkelanjutan dan originalitasnya tidak terletak pada isi?

 

Meskipun berlatar sejarah, Bulang Cahaya tetaplah karya fiksi. Walaupun sebagai karya fiksi, novel ini tetap tidak bisa dilepaskan begitu saja dengan aspek sejarah kerajaan Melayu, khususnya Riau-Bugis. dalam konteks sejarah, imperium ini sangat memberikan pengaruh pada perkembangan nusantara, baik dari segi sosial, politik, ekonomi, maupun budaya. Sebenarnya, ada beberapa hal yang menjadi landasan utama mengapa Rida K. Liamsi melahirkan novel hebat ini. Pertama, kesadaran tentang peran sejarah dan kecemerlangan politik Kerajaan Melayu Riau (Kerajaan Melayu Johor-Riau-Lingga) yang sedikit banyak telah memberi sumbangan yang berarti bagi perkembangan sejarah dan kehidupan politik Indonesia dan rantau Melayu di semenanjung ini. Kedua, tentang betapa maju dan berpengaruhnya kebudayaan dan tradisi yang diwariskan imperium ini. Budaya dan tradisi yang dibangun dan dirancang bersama oleh puak Melayu-Bugis dengan Islam sebagai media penyatunya, baik dalam bidang sosial, politik, budaya, dan ekonomi, yang kemudian melahirkan tamadun terbesar di nusantara, yaitu tamadun Melayu. Ketiga, kedua kesadaran di atas telah menjadi warisan nusantara karena telah diantar dan disebarluarkan dengan mengguakan media-media komunikasi yang pas dan mudah diterima oleh masyarakat berupa karya sastra. Keempat, inilah bayangan dan fakta-fakta masa lampau yang bisa dijejak dan itulah pelangi sejarah yang diwariskan dari tradisi Melayu-Bugis. Kelima, saya (Rida K. Liamsi, pen.) berkeinginan mewariskan suatu obsesi, yaitu memancangkan pancang Melayu di mana-mana3.

Ketika kita hendak mempelajari sejarah, jalan terbaik adalah melalui karya sastra berlatar sejarah. Karya sastra berlatar sejarah mematikan kekakuan dan kebosanan ketika kita membaca buku-buku sejarah. Bahasa sastra yang estetik akan membantu para pembaca untuk lebih betah memahami sejarah yang tertuang dalam karya sastra. Inilah bentuk transformasi teks yang tergambar disebagai pelaku kekuasaan, deretan latar, dan karakter-karakter agung pada beberapa tokoh yang patut diteladani.



Kesetiaan Melayu-Bugis

 
Kesetiaan merupakan keagungan sifat yang biasanya berkaitan dengan sumpah atau janji. Kesetiaan bersinonim dengan ketaatan, keteguhan hati, kepatuhan. Kesetiaan Hang Tuah dalam sejarah Melayu, misalnya, merupakan kepatuhan panglima dalam penghambaan kepada raja (pemimpin). Jelas saja kesabaran, kepasrahan, dan keteguhan hati menyertai sifat penghambaan tersebut sehingga tidak ada perlawanan dari Hang Tuah meskipun dia tahu bahwa dirinya tidak bersalah.

 

Peristiwa-peristiwa kesetiaan itu bermunculan dalam penggalan-penggalan kisah Bulang Cahaya. Kesetiaan cinta, misalnya, dapat kita ambil dari kisah cinta antara Tengku Buntat dan Raja Djaafar. Meskipun percintaan mereka tidak sampai ke jenjang pernikahan, tetapi kesejatian cinta itu menjadi penting untuk suatu perenungan kehidupan manusia. Kesetiaan itu tergambar dalam pantun, ”Layang-layang bertali benang/Putus benang, tali belati/Cinta yang ikhlas cinta kukenang/Cinta sejati kubawa mati” (2007:41). Peristiwa kesetiaan cinta juga tergambar dalam dialog, ”Sudahlah. Abang sudah memutuskan mencintai Buntat lahir batin. Apa adanya. Apa yang terbaik buat Buntat, Abang turut, sepanjang harkat dan martabat Abang tidak sampai terinjak-injak,” kata Djaafar memberi jaminan (2007:44).

 

Kisah kesetiaan yang lebih agung dalam novel ini adalah kisah kesetiaan antara dua bangsa, yaitu Melayu-Bugis. Melayu-Bugis yang selalu bertentangan diikat oleh sumpah kesetiaan. ”Tengku Sulaiman bersaudara serta Daeng Celak bersaudara kemudian membuat perjanjian. Sumpah setia antara kedua belah pihak yang mengikat sampai ke anak cucu. ”Namanya Ikrar Sumpah Setia Melayu Bugis,” tambah ibunya lagi (2007:51). Di dalam sistem kekuasaan, siasat tak bisa dielakkan. Kehidupan di lingkungan kekuasaan adalah kehidupan yang penuh siasat (politik). Inilah akhirnya yang menjadi punca pelanggaran kesetiaan Melayu-Bugis, gara-gara trik politik untuk berebut kekuasaan.

 


Kesetiaan menjadi punca perdamaian. Sebaliknya, ketidaksetiaan pada janji akan membakar amarah peperangan. Belanda, misalnya, yang melanggar kesetiaan pada janji dengan kerajaan waktu itu diperangi. Raja Haji yang bergelar Raja Haji Fisabilillah dan sudah ditabalkan menjadi Pahlawan Nasional RI sangat geram dengan tindak-tanduk Belanda. ”Kalau begitu, beta akan ke Malaka. Biar beta bertemu Gubernur Malaka. Biar tahu hitam putihnya. Kalau akan berperang, yang berperanglah!” pekik Raja Haji. Raja Djaafar, anak Raja Haji pun memaklumi kemarahan ayahnya. ”Memang sepatutnya lah Belanda itu diperangi, karena mereka tidak bersetia pada janji,” ujarnya (2007:69). Ketidaksetiaan pada suatu pihak (Belanda) akan melahirkan patriotisme di pihak lain (pribumi).

 

Siasat dan dendam telah melahirkan peperangan. Hanya kesetiaan tokoh yang teguh mampu meredamnya. Sultan Sulaiman menjadi pemimpin bijaksana bagai kesetiaan Hang Tuah. Tun Dalam yang penuh dendam di dadanya menghadap Sultan Sulaiman untuk mengusir orang Bugis dari Riau. Namun, kesetiaan yang kokoh diperlihatkan Sultan Sulaiman dengan sikap keberatannya terhadap keinginan Tun Dalam. Pelecehan orang-orang Bugis terhadap Melayu-lah yang membuat Tun Dalam terbakar dendam amarah.  Sekali lagi, Sultan Sulaiman tak mau cidera janji. ”Sumpah Setia Melayu-Bugis itu adalah hukum. Kita harus menghormatinya,” kata Sultan. Apalagi, mereka sudah ada yang kawin dengan wanita-wanita Melayu, keturunan Sultan, jadi, ”Mereka sudah menjadi Saudara sendiri. Dendam yang lama itu dikuburkan sajalah,” kata Sultan lagi. Dendam yang ditunjukkan oleh Tun Dalam (seseorang) bisa dipatahkan oleh kesetiaan pada sumpah-janji. ”Beta sendiri juga beristeri keturunan Daeng Marewa. Jadi tak perlulah kita berdendam terus-menerus. Kita sudah tak berharta benda lagi, jadi berhentilah berperang,” lanjut Sultan Sulaiman (2007:107). Pesan kesetiaan juga tergambar dalam dialog ketika Raja Andak menyampaikan usulnya, ”Patik pikir, alangkah baik kalau kedua pihak saling mengalah, demi masa depan kerajaan ini. Kita hentikan perang, dan kita selesaikan melalui pertautan darah dan persaudaraan. Perjalanan Kerajaan Riau Lingga ini masih jauh, masih banyak musuh yang harus ditentang. Karena itu, patik pikir, pihak Melayu dan Bugis haruslah bersatu padu. Harus ada ikrar yang sama keramatnya dengan Sumpah Setia Melayu-Bugis, agar pertentangan kaum ini tidak menghancurkan kita semua,” katanya memulai usulnya (2007:176). Di sini, Raja Andak mengusulkan agar Baginda Tengku Besar Husin dijodohkan dengan Tengku Buntat sehingga terjadilah persebatian antara Bugis-Melayu. Akhirnya, perjodohan politik dan penyatuan kedua bangsa ini pun terjadi. Di sinilah peristiwa tragis terjadi dalam hal kesetiaan. Demi kesetiaan di satu sisi, kesetiaan di sisi lain terpaksa dikorbankan. Kesetiaan politik selalu menjadi lebih penting daripada kesetiaan cinta.

 

Profeminisme, transformasi teks, dan keagungan kesetiaan merupakan hal penting dalam Bulang Cahaya. Bahkan, secara interpretasi, judul novel ini memberikan metafora luar biasa. Secara historis, Bulang merupakan nama salah kampung bersejarah di Tanjungpinang. Bulang Cahaya bermakna suatu kampung yang memancarkan kegemilangan, kedamaian, keindahan. Secara simbolis, Bulang Cahaya dalam novel ini ditujukan kepada Tengku Buntat, seorang tokoh perempuan di Kampung Bulang pada zaman kerajaan yang terpaksa mengorbankan kesetiaan cintanya kepada Raja Djaafar demi kesetiaan bangsa Melayu-Bugis.***

 


 

1  Dikutip dari tulisan berjudul Konsep Novel Sejarah dan Ragam Pencerekaannya oleh Mohamad Saleeh Rahamad (Jabatan Pengajian Media, Universitas Malaya).

2  Ibid, hlm. 10

3  Disarikan dari tulisan Rida K. Liamsi yang bertajuk ’’Novel Bulang Cahaya dan Tradisi Melayu Bugis’’ yang dibentangkan pada Pertemuan Penulis Serumpun 2009. Pertemuan tersebut dianjurkan oleh Yayasan Warisan Johor bekerjasama dengan Universitas Riau yang bertempat di Universitas Riau, 21 Februari 2009.

 


 

Penulis lahir di Pulau Buru Karimun, 14 Maret 1971. Setakat ini, baru sepuluh buku karyanya yang diterbitkan berupa novel, esai, cerpen, dan puisi. Sekarang bekerja sebagai ASN di Dinas Pendidikan Kabupaten Bengkalis.

 

 

Daftar Pustaka

 
Aminuddin. 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru.
Depdikbud. 2008. Lomba Mengulas Karya Sastra 2007. Jakarta: Depdiknas.
Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Media Pressindo.
Hellwig, Tineke. 2003. In The Shadow Of Change: Citra Perempuan dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Desantara
Junus, Hasan. 2002. Engku Puteri Raja Hamidah, Pemegang Regalia Kerajaan. Pekanbaru: Unri Press.
Liamsi, Rida K. 2007. Bulang Cahaya. Pekanbaru: JP Book dan Yayasan Sagang.
¬_______. 2009. Novel Bulang Cahaya dan Tradisi Melayu Bugis. (Makalah pada Pertemuan Penulis Serumpun 2009 yang dianjurkan oleh Yayasan Warisan Johor bekerjasama dengan Universitas Riau yang bertempat di Universitas Riau, 21 Februari 2009.
Mahayana, Maman S. 2005. 9 Jawaban Sastra Indonesia. Jakarta: Bening Publishing.
Napiah, Abdul Rahman. 1994. Tuah-Jebat dalam Drama Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Rahamad, Mohamad Saleeh. Konsep Novel Sejarah dan Ragam Pencerekaannya. Malaysia: Jabatan Pengkajian Media Universitas Malaya.
Sugihastuti. 2002. Kritik Sastra Feminis Teori dan Aplikasinya. Yogyakarta: Pusat Bahasa
Teeuw, A. 2003. Sastera dan Ilmu Sastera. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.
W.M., Abdul Hadi. 2004. Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas. Yogyakarta: Matahari. 

 

DOWNLOAD ARTIKEL