Dari Kesan Perjalan Rida K Liamsi

Kota Kecil Penuh Peradaban

Sastra Kamis, 14 Maret 2019
Kota Kecil Penuh Peradaban
Goteborg Teater Park - Internet

GOTEBORG, sebuah kota kecil di Swedia yang merupakan berpenduduk 146.000 jiwa merupakan sebuah bandar yang sangat menghargai kebudayaan.dengan gedung teater mewahnya yang berkapasitas menampung penonton ribuan orang terdiri atas beberapa kelas antara lain kelas utama dan balkon, merefleksikan suatu peradaban kebudayaan yang megah di tengah kehidupan masyarakat Swedia.

Menurut penuturan CEO Riau Pos Rida K Liamsi dalam perjalanannya ke Eropa bulan-bulan yang lalu, kepedulian masyarakat Goteborg terhadap kebudayaan tercermin dari antusias masyarakat mengunjungi opera yang ditayangkan di gedung teater tersebut.padahal harga tiketnya yang ada di kelas balkon saja mencapai 400 korn per orang, tentu saja untuk kelas utama lebih mahal lagi, "namun nampaknya mereka lebih menghargai kebudayaan dari pada uang,"jelasnya.

Selain itu sikap dan tingkah laku penonton di gedung teater tersebut disiplin dan beradab. Kita sering melihat suasana santai dalam pembentangan karya-karya pentas di Indonesia, misalnya penonton yang bersandal jepit atau memakai celana jeans sambil bertepuk tangan dan berteriak di sembarang masa selama pertujukan berjalan. Di Goteborg, orang menonton memakai jas,dan andaipun tidak tetap berpakaian rapi.

Negri Swedia diberi nama Sverige oleh bangsa sendiri. Ada dua catatan penting untuk negeri yang tergolong dalam kesatuan geografis tersebut yan disebut Skandinavia ini, pertama: sejak awal abad ke-20, tepatnya setiap akhir tahun,negeri makmur berpenduduk delapan juta ini semarak bergema oleh upacara penganugrahan hadiah nobel yang di berikan untuk berbagai bidang (misalnya saja fisika,kimia ,kedokteran,dan lainnya) termasuk bidang kesusastraan. Karna itulah di negeri ini, lebih dari di negeri manapun di dunia, masyarakatnya pembacanya sudah terlatih menikmati karya-karya sastra kelas satu. Kedua: negeri ini telah melahirkan seorang sastrawan yang adalah juga seorang dramatug yang karya-karya dikenal seluruh dunia,termasuk di Indonesia.  August Stindberg (1849-1912) menafsirkan filsafat Nietzsche dangan karyanya yang prolefik: karya awalnya berjudul Master Olof (1872) mengenangkan kembali  pemberontakan reformasi di negerinya dengan memakai implikasi modern dan personal; beberapa karya pentasnya juga di terjemah ke bahasa indonesia telah  menyemarakkan pentas teater dunia dengan serangkaian karya diantara lain Frake Julie (Nona Julia) Ett Dromspell (Sandiwara Mimpi), Roda Rummet (Ruangan Merah), Fadren (ayah), Giftas(Perkawinan), Spoksonaten(Sonata Roh), dan lain-lain.

Dalam bahasa seperti semua apakah semua karya itu disampaikan ? Seperti apakah bahasa orang Swedia itu ? bahasa Swedia sebenarnya termasuk dalam kelompok bahasa Germanik Utara atau bahasa Norse Tua seperti juga bahasa-bahasa Islandia, Norwegia dan Den(mark).   Dengan bahasa inilah - sepertinya halnya piagam-piagam Melayu Tua di Talang Tuwo, Kedukan Bukti,Darang Birahi dan Kota Kapur - tulisan-tulisan lama di guratkan di atas batu-batu yang merupakan permulaan sastra tertulis bangsa ini. Jejak awal bahasa Norse ini tercatat pada abad ketiga masehi kemudian tuisan-tulisan diatas batu itu berkembang menjadi genre sastra seperti saga dan visor atau ballada yang di tuturkan oleh lidah Sverige dan kokohkan pula dengan pemakaian tulisan yang lebih sistematis. Dengan bekal seperti itulah muncul nama-nama besar di gelanggang kesusastraan seperti Selma Ottiliana Lovisa Lagerlof, Hjalmar Bergman, Par Lagersvist, Artur Lundkist, Stig Dagerman, dan lain-lain.

Untuk judul karya teater saja, seperti Les Miserables karya Victor Hugo dipertunjukkan sampai berbulan-bulan untuk Les Miserables ditayangkan sampai bulan April lalu sampai September mendatang. Rida yang sempat menonton roman karya Victor Hugo yang diadaptasi menjadi karya pentas ini di Goteborg mengatakan"gedung tetap dipenuhi penonton."  Ia menggambarkan suasana tertib dalam pertunjukan, barangkali untuk memberikan tempat yang tepat pada suatu pembentangan karya seni, "tak ada tepukan dan komentar yang mengganggu penonton lain. tepukan baru akan menggema setelah pertunjukan usai, berlangsung sampai bermenit-menit."

Menariknya walau pada awalnya gedung ini di bangun oleh pemerintah, namun dalam pengelola berikutnya, dikelola secara komersial dan sangat berhasil.