Essai - Fakhrunnas MA Jabbar

Nyala Hari Puisi Ini Pun Tak Akan Pernah Padam

Sastra Minggu, 13 Agustus 2017
Nyala Hari Puisi Ini Pun Tak Akan Pernah Padam
Fakhrunnas MA Jabbar

PERAYAAN Hari Puisi Indonesia (HPI) dari tahun ke tahun kian semarak. Bagai sebuah nada yang didentingkan dari kota ke kota. Saling bersahutan dalam irama yang panjang dan bergema. Meski pun puncak perayaan HPI tersebut sebagaimana tradisi di tahun-tahun sebelumnya bakal digelar di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta bulan Oktober mendatang.

Tanah Melayu Riau boleh jadi patut selalu dikenang. Sebab, Deklarasi HPI  tahun 2012 silam dipancangkan di Gedung Anjungan Teater Idrus Tintin, Pekanbaru. Salah satu penggagasnya yang tunak menghimpun banyak penyair tak lain penyair Rida K. Liamsi. Pembacaan naskah deklarasi HPI tersebut langsung dilakukan oleh Presiden Penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri yang dikawal oleh  40 penyair Indonesia dari Sabang hingga Merauke.  memang menjadi tonggak penting dalam mengagungkan puisi di negeri ini.

Tentu saja, deklarasi itu diharapkan terus bergulir ke ranah politis agar suatu saat nanti dapat dikukuhkan oleh pemerintah sebagai Hari Besar Nasional. Gerakan simultan para penyair di berbagai kota di Indonesia diharapkan menjadi sebuah realitas bagaimana puisi Indonesia benar-benar menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Oleh sebab itu, perlu diakui sebagai salah satu hari besar yang dapat diapresiasi oleh seluruh rakyat sebagai wadah memperhalus akal budi yang dapat meninggikan nilai-nilai peradaban.

Memang, tak mudah memperjuangkan secara politis atau meyakinkan pihak pemerintah mewujudkan impian ribuan penyair di negeri ini untuk mengukuhkan tanggal 26 Juli sebagai HPI. Harapan itu sebenarnya terasa kian mendekat. Sebab ketika perayaan puncak  HPI  di Graha Bakti Budaya TIM, Jakarta, 12 Oktober tahun lalu, panitia penyelenggara berhasil mendatangkan Wapres Jusuf Kalla (JK) yang juga  ikut baca puisi.

JK pula yang didaulat menyerahkan hadiah Sayembara Buku Puisi tahun 2016.  Bersamaan dengan itu, Menteri Agama, Lukman Hakim Syaifuddin yang turut baca puisi sempat sesumbar, tidak mustahil kelak para penyair Indonesia baca puisi di Istana Negara. Pernyataan Lukman Hakim dapat dipandang sebagai upaya nyata mendekatkan harapan para penyair pada realitas yang didambakan.

Perayaan HPI yang Sukses

Perayaan HPI di Tanah Melayu Riau tahun ini digelar sejak 3 – 6 Agustus 2017 yang berpindah kota mulai dari Pekanbaru,  Siak Sriindrapura  dan penutupannya di desa wisata budaya, Buluhcina, Kampar. Perayaan HPI yang sukses ini diselenggarakan oleh Komunitas Seni Rumah Sunting pimpinan penyair perempuan, Kunni Masrohanti.

Bukti kesuksesan Kunni, meskipun HPI ini sebenarnya hanya di tingkat Provinsi Riau namun sejumlah 137 penyair yang hadir tidak hanya berdatangan dari kota-kota di Indonesia melainkan juga sejumlah negara Asean yakni Malaysia, Singapura dan Vietnam. Bahkan Presdien Penyair Sutardji Calzoum Bachri begitu tunak dan betah mengikuti setiap rangkaian acara yang bernuansa desa dan alam. Setidak-tidaknya diperlukan lima bus besar dan sejumlah mobil kecil membawa para peserta dari Pekanbaru menuju Siak dan Buluhcina serta kembali ke Pekanbaru.

Selain Sutardji, ratusan penyair Indonesia lintas angkatan begitu bersemangat terlibat dalam setiap kegiatan yang sudah dirancang. Di antara  penyair yang hadir adalah Syarifuddin Arifin, Hermawan AN, Iyut Fitra, Muhammad Syubhan yang membawa 20 orang rombongan dari Sumbar, Damiri Mahmud, Nevatuhela, Ubaidillah, Itov Sekha (Medan) Ariany Arinamurti, Edrida Pulungan, Mustafa Ismail, Willy Ana (Jakarta), Filesky (Surabaya), Ratna Ayu Budhiarti (Garut), Ramayani Riance (Jambi) dan masih banyak lagi.

Para penyair dari negeri serumpun diwakili oleh sastrawan perempuan Rohani Din dari Singapura, Noorazimah Abu Bakar, Aya Rohaya,Morne Hasyim dari Malaysia serta Nik Mansour jauh-jauh datang dari Vietnam yang membawa suasana Champa masa lalu yang masih berkiat-kelindan dengan budaya Melayu.

Tuan rumah Riau tentu saja menjadi dominan dengan bergabungnya puluhan penyair. Di antara yang hadir, Armawi KH, A. Aris Abeba, Taufik Ikram Jamil, Syafruddin Saleh Sai Gergaji, Griven H. Putra, DM. Ningsih, Surya Hadi, Husnu Abadi, Qori Islami, Syaukani al-Karim,  Kazzaini Ks, Mosthamir Thalib, Cahaya Buah Hati, Arif Subayang (Ketua Dewan Kesenian Kampar), sastrawan dan tokoh masyarakat Buluhcina Makmur Hendrik, dan masih banyak lagi.

Lebih dari itu, sejumlah komunitas sastra dari beberapa kabupaten lain seperti Rokan Hulu, Rokan Hilir, Pekanbaru, Kamparkiri, Pelalawan dan Dumai mengirim utusan para penyair dan penggiat sastra angkatan muda dan para guru yang selama ini mengajarkan sastra di sekolah-sekolah. Ada pula fotografer Kacamata Gober yang mendokumentasikan setiap gerak dan langkah kegiatan HPI ini.

Berbagai komunitas yang terlibat tersebut antara lain, Latah Tuah (Pekanbaru), Bahthera Kata (Pekanbaru), Competer (Pekanbaru), Forum Lingkar Pena (Pekanbaru), Pondok Belantara (Pekanbaru), Batra (Pekanbaru), Laskar Penggiat Ekowisata (Pekanbaru), PGI Riau (Pekanbaru), Persatuan Motor Jadul (Pekanbaru), Papala Padang Sawah (Kamparkiri), Bengkel Seni (Kamparkiri), Bulan Biru (Rohil) di bawah pimpinan seniman senior Walid Singkit, Lenggok Media (Rohul), Anak Bakau (Dumai), Deklamator Cilik (Pelalawan) dan berbagai komunitas di Kabupaten Siak yang tergabung dalam Kito Siak. Komunitas dari Sumbar yang hadir antara lain, Serunai (Bukittinggi), Intro (Payakumbuh) dan Kijang Putih (Padang).

Di hari pembukaan HPI digelar pula Dialog Puisi bertajuk Jalan Puisi Mencipta Sejarah yang menampilkan empat penyair lintas generasi yakni Sutardji Calzoum Bachri dan Fakhrunnas MA Jabbar serta Muhammad Subhan (Sumbar) dan Muhammad De Putra (Pekanbaru). Mereka berbagi cerita dan pengalaman terkait proses kreatif dan pengalaman bersastra.
Tidak mudah memang menggelar acara perayaan HPI yang melibatkan ratusan peserta dari berbagai kota dan negara. Kepiawaian Kunni dan panitia dari Komunitas Seni Rumah Sunting patut dipuji karena berhasil meyakinkan Bupati Siak, H. Syamsuar dan jajaran pemerintah setempat yang bersedia menjadi tuan rumah.

Pada saat pembukaan acara HPI di Gedung Tengku Mahratu, Siak –persis berhadapan dengan Istana Asserayah Siak Sriindrapura, Bupati H. Syamsuar yang dikenal ramah dan dekat dengan rakyat mengungkapkan rasa bangganya dipilih menjadi tuan rumah kegiatan HPI tersebut.

“Saya merasa bangga dipilihnya Negeri Siak sebagai tuan rumah kegiatan Hari Puisi ini. Siak memang merupakan negeri berbudaya dan kaya sejarah. Semakin banyak tamu yang datang ke negeri kami tentu kian menjadikan Siak semakin dikenal luas. Apalagi Siak saat ini sedang berjuang untuk mendapatkan pengakuan sebagai Negeri Warisan Budaya Dunia,” kata Syamsuar yang kini mendapat dukungan luas sebagai Bakal Calon Gubernur Riau pada Pilgubri tahun 2018 nanti.

Pada malam hari, puluhan penyair bergantian tampil membacakan puisi di Taman Sungai Jantan yang terletak persis di tepi Sungai Siak, sungai terdalam di Indonesia yang kini kian eksotik karena penataan water front city yang mempesona. Para penyair tampil di bawah lampu sorot warna-warni ditingkahi gemericik air sungai yang menumbuhkan kegairahan berpuisi.

Ziarah ke Makam Raja Kecik

Ratusan peserta HPI yang berhimpun-pepat di Negeri Wisata Sejarah dan Budaya, Siak Sriindrapura merasakan kehidupan masyarakat kota Siak itu penuh takjub. Apalagi, selama dua hari lebih di kota tersebut, mereka dapat menyaksikan situs sejarah berupa Istana Asserayah Siak Sriindrapura yang begitu megah pada masa jaya kesultanannya.

Letak istana berwarna putih itu tepat di tepian Sungai Siak yang dapat dinikmati dari kejauhan terutama tepi sungai yang kiini tertata rapi dengan taman dan tanah lapang tempat  masyarakat menghabiskan waktu istirah di waktu petang dan malam.

Tak jauh dari istana juga terdapat Balairung Kesultanan Siak, Makam Sultan Syarif Kasim II, sultan terakhir yang menghibahkan seluruh asset kerajaan termasuk uang senilai 13 juta gulden Belanda kepada negara Indonesia yang baru merdeka dan diterima oleh Presiden Sukarno masa itu.

Lebih dari itu, para peserta diajak berziarah ke Makam Raja Kecik, pendiri kerajaan Siak yang sangat masyhur dalam sejarah. Raja Kecik merupakan putra Sultan Mahmud Syah, Sultan Johor yang pernah dibesarkan di Kerajaan Pagaruyung. Kemudian Raja Kecik inilah yang mendirikan kerajaan Siak yang sempat memiliki wilayah kekuasaan di sebagian pulau Sumatera dan tanah Semenanjung Malaya.

Usai mengunjungi Makam Raja Kecik, peserta pun diajak melihat peninggalan sejarah di tepi sungai yang bernama Kolam Hijau. Konon dulunya, di kolam itulah sultan melakukan pencucian keris. Namun saying, kondisi dan informasi yang berkaitan dengan kolam bersejarah itu tidak ditata dan dikelola dengan baik.

Beraroma Sastra Hijau

Penyelenggaraan HPI Provinsi Riau oleh Komunitas Seni Rumah Sunting ini sejak awal digiring Kunni Masrohanti lebih dekat ke alam dan lingkungan. Kegiatan beberapa hari di kota Siak digelar di tepi sungai Siak yang dulunya bernama sungai Jantan. Lebih-lebih lagi kegiatan di desa Buluhcina yang benar-benar bersebati dengan alam.

Para peserta diinapkan ala homestay di rumah-rumah penduduk desa wisata budaya Buluhcina itu, termasuk Presiden Penyair Sutardji Calzoum Bachri. Sebab, di desa kecil tersebut memang tak ada hotel atau penginapan sama sekali meski pun setiap tahun dulunya ada iven Pacu Sampan Buluh Cina memperebiutkan Piala Presiden.

Kedekatan acara HPI dengan alam sebenarnya cukup beralasan. Kunni Masrohanti saat menyampaikan laporan panitia pada acara pembukaan HPI di Gedung Tengku Mahratu mengatakan kegiatan HPI tersebut dapat terselenggara atas dukungan dan kerjasama banyak pihak terutama Pemkab Siak dan Walhi Riau.

Jejak kerjasama dengan Walhi itu pula dibuktikan dengan terbitnya Antologi Puisi Hijau Penyair Riau  berjudul Mufakat Air yang diterbitkan atas kerjasama Komunitas Seni Rumah Sunting dan Walhi. Di dalam buku yang dikuratori oleh Kazzaini Ks dan Kunni Masrohanti sendiri ini memuat  lebih 80 puisi yang ditulis  sejumlah 37 penyair.

Buku puisi hijau ini tentu saja didominasi oleh puisi bertema lingkungan dengan sudut pandang yang sangat beragam. Suara rintihan dan kritik tajam pun tak terhindarkan saat menatap situasi dan kondisi alam dan aktivitas pembangunan di tanah air terutama Tanah Melayu Riau yang sangat merugikan semua pihak terutama rakyat.

Selain itu, panitia juga menerbitkan buku puisi Menderas Sampai ke Siak yang menghimpun puisi-puisi para penyair nusantara yang bertemakan Siak. Tak tanggung-tanggung, buku yang dikuratori oleh Fakhrunnas MA Jabbar, Mosthamir Thalib dan editor Bambang Kariyawan ini menghimpun ratusan puisi karya 99 penyair dari berbagai kota di tanah air dan juga manca negara.

Tentu atas dukungan pihak Walhi pula maka hari akhir dan penutupan HPI ini digelar di desa Buluhcina yang terletak di pinggiran Sungai Kampar yang berarus lembut itu. Kawasan Hutan Eko-Wisata Tujuh Danau, Buluh  Cina, Kampar, yang kini dikelola oleh pihak kehutanan yakni BBKSDA Riau benar-benar menjadi bagian tak terpisahkan dari kemeriahan acara HPI.
Bahkan saat awal kedatangan rombongan HPI di desa Buluhcina itu, pihak BBKSDA yang mengelola kawasan eko-wisata, YAKNI Kepala Bidang Wilayah I, Hutomo,  menyambut secara resmi dengan menghadirkan sepasang gajah peliharaan, Robin dan Ngatini. Pada kesempatan itu, Presiden Penyair Sutardji pun dikalungi bunga oleh gajah jantan bernama Robin tersebut.

Sutardji Baca Puisi di Atas Gajah

Di kawasan Hutan Eko-Wisata Tujuh Danau, Buluh  Cina, pula para peserta diberi kesempatan menyaksikan penataan hutan dan lingkungan yang sejuk dan mempesona. Kawasan ini sejak beberapa tahun terakhir semakin ramai dikunjungi para pelancong untuk menghabiskan waktu berakhir pekan.

Situasi ini semakin sematak setelah beberapa waktu lalu, ditempatkan sepasang gajah masing-masing Robin dan Ngatini yang dapat ditanggangi para pengunjung dengan bayaran Rp. 20.000 untuk mengitari kawasan hutan lindung itu.

Suasana alam yang mendukung itu pula yang menyebabkan sejumlah penyair di antaranya Syarifuddin Arifin (Sumbar), Kunni Masrohanti (Pekanbaru), Edrida Pulungan (Jakarta), deklamator cilik Muhammad Daffa asal Kabupaten Pelalawan dan beberapa lagi secara bergantian tampil membacakan puisinya yang disaksikan para peserta HPI dan para pelancong lain.

Ada sebuah kejutan, ketika Presiden Penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri tiba-tiba bersedia didaulat membaca puisi di atas gajah. Sutardji pun meminta penyair Damiri Mahmud juga tampil membacakan puisi meskipun hanya berdiri di samping gajah.

Sutardji sangat serius memenuhi permintaan seratus lebih penyair yang hadir kala itu. Penyair yang masih energik itu pun sempat membacakan dua puisi yakni Perjalanan Kubur dan Apa Kau Tahu yang dicuplik dari buku puisinya O, Amuk, Kapak.

“Di dalam puisi Apa Kau Tahu yang ditulis sekitar tahun 1970-an, aku sudah menulis tentang gajah sebagai tamsilan akan makna kehidupan,” ucap Sutardji mengenang.

Sutardji tampak penuh percaya diri membacakan kedua puisi yang didengar para penyair dan pengunjung hutan ekowisata itu dengan khidmat. Bahkan para pengunjung sempat beberapa kali bertepuk tangan saat Sutardji membacakan  bagian puisi tertentu.

"Saya pernah menaiki gajah di Afrika puluhan tahun silam. Namun, waktu itu saya tak sempat membacakan puisi. Di kawasan Buluh Cina ini, saya dapat membacakan puisi di atas gajah. Ini pengalaman yang berharga bagi saya," ucap Sutardji usai melakukan aksi uniknya itu.

Usai membacakan puisinya, Sutardji pun dikerumuni para penyair dan pengunjung untuk berfoto atau berselfi-ria yang dilayani penyair senior itu dengan lapang hati dan penuh senyum.***

Fakhrunnas MA Jabbar adalah, sastrawan Riau yang banyak menulis puisi, cerpen, dan essai.  Karya-karyanya banyak dimuat di berbagai media  nasional dan internasional. Kerap menjadi pembicara dalam berbagai seminar di tingkat nasional maupun internasional. Menghadiri berbagai pertemuan sastra. Bermacam-macam penghargaan juga telah diraihnya. Penghargaan terakhir yang diterimanya adalah Anugerah Sagang tahun 2016 dengan buku pilihan Sagang berjudul Airmata Musim Gugur.