Esai Bambang Kariyawan Ys

Sastra Minggu, 12 Juni 2022
Esai Bambang Kariyawan Ys

“Hamidah” dan Beban Sejarah

Bersyukur sekali dunia Melayu dianugerahi kehadiran Datok Seri Lela Budaya Rida K Liamsi (Rida K Liamsi) dalam menawarkan novel-novel sejarah tentang Melayu yang dikemas secara populer. Penulisan novel sejarah dengan bentuk seperti itu memberi ruang dan pintu masuk mengenalkan Kemaharajaan Melayu di rantau ini. Cara ini akan mendekatkan penelusuran fakta sejarah yang menarik untuk generasi milenial sekarang. Kehadiran novel seperti ini akan mendapat tempat secara formal melalui kurikulum Budaya Melayu Riau pada pengenalan sejarah lokal dan gerakan literasi sekolah dengan membincangkan karya sastra lokal.

Saya melihat novel Hamidah seperti menghidupkan sosok Engku Puteri Raja Hamidah Pemegang Regalia Kerajaan Riau yang ditulis Hasan Junus. Buku tersebut saya pinjam dari beliau dan foto kopi sekitar tahun 2007. Pada saat itu sempat berbincang dengan Hasan Junus tentang sosok Hamidah yang ditemani Dantje dan Zuarman di Bilik Sagang Riau Pos. Membaca buku tersebut untuk memperkuat skripsi yang pernah saya tulis ketika kuliah S1 Pendidikan Sejarah IKIP Negeri Yogyakarta dengan setting penelitian di Pulau Penyengat. Skripsi itu berjudul “Konsepsi Kekuasaan Kesultanan Melayu Riau”.

Identitas Novel

Membaca novel-novel sejarah Rida K Liamsi mulai dari Bulang Cahaya hingga Hamidah kita akan menemui kekhasan sebagai identitas kepengarangannya. Mari kita cermati. Novel-novelnya selalu diawali dengan prolog yang menampilkan tokoh dan cerita dengan fase waktu kekinian. Asumsi dari penulis dengan cara ini akan mengajak pembaca novel sejarah ini tidak terkungkung pada peristiwa masa lalu semata.

Kekhasan tersebut terlihat saat membaca novel Bulang Cahaya, ada prolog yang dimunculkan sosok masa kini dengan kehadiran Raja Azizah dan Raja Ikhsan. Pada novel Megat dengan tokoh Adinda dan Megat Ismail. Sedang prolog pada novel Luka Sejarah Husin Syah dibuka dengan berita dari portal online KuansingKita edisi 27 September 2019. Tokoh Mur dalam novel Tun Irang. Kali ini nama Raja Suzana Fitri Hamzah muncul dalam prolog Hamidah yang merasa iri dengan kehadiran tokoh Mur pada novel Tun Irang.

Novel berhalaman 397 ini terbagi dalam dua puluh bab di luar prolog dan epilog. Menariknya pada setiap bab disediakan intisari atau pembuka cerita yang menggiring pembaca untuk mengambil kesimpulan setiap babnya. Seperti pada bab 1 diberikan intisari berupa:

“Tak ada pilihan lain bagi Raja Hamidah, dia harus pergi meninggalkan Lingga, negeri yang semula menjadi tempat dia memberikan hampir seluruh hidup dan mimpi kewanitaannya. Negeri ini telah memberinya luka, dan tidak mudah baginya untuk melupakannya”

Pembaca setelah menyelesaikan bab 1 akan dapat satu ide utama tentang pilihan Raja Hamidah meninggalkan Lingga karena merasa dikhianati. Bentuk penulisan novel seperti ini memberikan daya tarik tersendiri bagi pembacauntuk memahami keseluruhan isi novel. Cara ini akan memancing pembaca yang ingin menganalisis lebih jauh tentang isi novel untuk kajian lebih mendalam.

Latar belakang pengarang sebagai penyair sangat mempengaruhi pilihan-pilihan kata secara keseluruhan dalam novel ini. Kita seperti membaca puisi panjang dari bab ke bab. Pilihan kata puitis dapat dilihat pada lead setiap awal bab juga menyajikan penggalan-penggalan puisi untuk mendramatisir rasa dalam alur cerita.

h. 13 Malam senyap. Dingin merayap

Bulan di langit kelam meratap

Di istana Bukit Cengkeh jangkrik menderik

Burung pungguk, meratap sayu, melepas rindu.

Hal ini sejalan dengan kajian teori sosiologi sastra bahwa latar belakang seorang penulis sangat mempengaruhi wajah karya yang dihasilkan. Dalam novel ini tergambar pengaruh latar belakang itu dari seorang Rida K Liamsi sebagai seorang penyair, jurnalis, dan peneliti sejarah mempengaruhi bobot isi novel Hamidah ini.

Menurut saya, novel Hamidah seperti pengembangan dan penjelasan detil dari novel Bulang Cahaya terkhusus pada bab 12 tentang Dendam Seorang Kekasih dan novel Lukah Sejarah Husin Syah. Pembaca yang telah membaca novel-novel Rida K Liamsi sebelumnya akan menemukan penjelasan lebih dalam tentang penokohan dan alur peristiwa yang lebih dalam dalam novel Hamidah ini.

Perempuan dalam Novel-novel Rida K Liamsi

Hasan Junus pernah menyatakan “Tidak semua rahasia perempuan diketahui laki-laki. Tapi semua rahasia laki-laki pasti diketahui perempuan. Sebab di wajah laki-laki paling garang selalu terbayang wajah ibunya”. Pernyataan yang menarik bila dikembangkan dalam penokohan sebuah cerita apapun bahwa perempuan akan selalu menghadirkan kemenarikan sendiri. Selain itu ada alasan tertentu ketika Allah menciptakan Hawa untuk mendampingi Adam. Tentunya untuk mengubah haluan sejarah dari Adam yang sendirian dan membuat dunia menjadi lebih indah. Dalam novel ini ada kalimat kunci yang menegaskan akan pentingnya perempuan dalam perjalanan sejarah sebuah negeri.

h. 221 “Kakanda ingat pesan Raja Tua Andak, ketika kakanda akan menikah. Banyak kejadian besar dalam hidup ini, berasal dari pikiran tersembunyi para perempuan. Pikiran yang taka da yang tahu, kecuali mereka. Dan mereka inilah para pembuat dan pengatur haluan sejarah.”

Tidak heran ketika tokoh-tokoh dalam novel Rida K Liamsi  selalu menghadirkan perempuan dengan daya kobar perlawanan yang menarik dan berbeda. Mulai dari Tengku Buntat, Tun Irang, dan Raja Hamidah. Setiap tokoh perempuan tersebut memiliki kebajaan tersendiri dalam melakukan perlawanan, penindasan, serta mempertanyakan bias gender pada dirinya.

Sosok Engku Putri Raja Hamidah

                Membaca novel yang menghadirkan tokoh tentunya kita akan berupaya menghimpun imajinasi yang membentuk tokoh tersebut. Seperti apa sosok perempuan baja Hamidah itu. Kalau kita menyaksikan film “Mata Pena Mata Hati” yang menceritakan tentang Raja Ali Haji secara visual kita menyaksikan sosok pemeran Hamidah yang diperankan dengan apik oleh Henidar Amroe dengan begitu mempesona memperankan Raja Hamidah. Efek visual dan keberhasilan peran beliau memunculkan imajinasi seperti itukah Hamidah?

Dalam novel Hamidah ini sosok Raja Hamidah secara fisikal dan karakter dapat dilihat pada penjelasan berikut:

h. 36 Dara manis. Berkulit langsat. Dengan sepasang mata seperti kejora. Seraut bibir tipis, yang mengisyaratkan bijak dari tangkas berkata-kata.

h. 61 “Cantik itu kan perasaan. Kecantikan paling mulia dan dicari orang, adalah cantik hati dan perangai. Dari sanalah terpancar pesona seorang perempuan, tuanku. Tuanku mempesona,” kata Puang Sahida.

h. 74 Hamidah tahu, hanya kecerdasan dan kearifan dia sebagai permaisuri, sebagai pendamping Sultan lah, yang membuat dirinya berharga di mata Mahmud. Karena itu, semua ilmu dan pengalamannya selama mengembara kemana-mana bersama sepupunya, dia pakai untuk membantu Mahmud memecahkan berbagai persoalan pemerintahan.

                Dari petikan kalimat-kalimat tersebut kita dalam menarik kesimpulan bahwa Raja Hamidah memiliki pesona sebagai perempuan baja yang tidak ada saingan pada zamannya. Terlihat dari pernyataan Raja Ahmad, adik dari Raja Hamidah dan ayah dari Raja Ali Haji.

h. 248 Namun Raja Ahmad tidak bisa menebak, kemana ujung pikiran kakaknya, perempuan yang keras hati bagai batu karang itu. Yang selalu mengejutkan dan mempunyai keinginan yang terkadang hampir mustahil. Raja Ahmad belum pernah bertemu dengan perempuan seperti itu. 

Beban Sejarah

Raja Hamidah nampaknya memang ditakdirkan untuk menjadi perempuan yang menanggung segala beban sejarah di pundaknya. Teramat berat, mulai dari beban sebagai perempuan bangsawan hingga perkawinan yang semeskinya manis menjadi beban demi persebatian politik kepentingan antar dua puak.

h. 59 “Mengapa hamba ini lahir dari keluarga bangsawan ini, sehingga begitu sulit untuk hidup sebagaimana rakyat biasa.”

h. 57 “Jika ditakdir ada jodoh Ananda, dan mempunyai seoarang putera, maka putera anandalah yang akan didahulukan menjadi Sultan, dibanding saudaranya yang lain. Itulah sebab kami setuju pinangan Sultan itu.”

“Perkawinan Ananda nanti juga untuk mengekalkan hubungan persaudaraan Melayu Bugis yang dulu hampir putus di zaman ayahanda Daeng Kamboja …”

h. 73 “Jaga harkat dan martabat kita orang Bugis. Ingat, adinda menjadi tumpuan saudara mara kita. Jangan sampai jabatan Yang Dipertuan Muda itu terlepas lagi, seperti sebelum ini, dan diambil kembali oleh pihak Melayu.”

Novel Inspirasi

Keberhasilan sebuah novel adalah ketika novel tersebut memberikan inspirasi bagi pembacanya. Novel yang membuka ruang-ruang inspirasi untuk mewujudkan imajinasi tentang silsilah, kemegahan istana, keberadaan perangkat regalia kerajaan, mitos, dan simbolis Melayu.

Membaca sebuah novel ini memerlukan pemahaman yang kuat akan karakter tokoh dalam novel yang disajikan. Tentunya berbeda ketika membaca novel populer dengan novel sejarah dalam setiap tokohnya berkelindan dengan tokoh yang lain. Nama-nama tokoh akan berlalu lalang sesuai dengan peran dan statusnya. Kita diminta memahami dan mencermati silsilah tokoh. Namun cara menyajikannya dalam dialog membuat novel ini menjadikannya seebagai bentuk lain dalam belajar sejarah untuk mengenal silsilah.

h. 25 Raja Ali, Yang Dipertuan Muda Riau Kerajaan Riau, adalah YDM ke enam, pengganti ayahnya Raja Haji Sahid Fisabilillah. Mereka bersepupu, karena Raja Ali ini anak Daeng Kamboja, cucu Daeng Perani, salah satu dari Upu Bugis Lima bersaudara, anak-anak Daeng Rilakka, pangeran dari Kerajaan Luwu yang datang merantau ke tanah Semenanjung. Sementara, ayah Raja Hamidah, adalah Raja Haj, anak Daeng Celak, salah satu dari lima Upu itu, saudara muda yang ke empat. Mereka itu, lima bersaudara: Daeng Perani, Daeng Menambun, Daeng Marewa, Daeng Celak, dan Daeng Kemasi.

Penulis dengan cermat mengemas kehadiran tokoh-tokoh penting tersebut dalam suasana dialog yang diharapkan seperti hidup dalam cerita.

Pembaca diajak menghayati keagungan regalia kerajaan sebagai pusaka yang sangat dijunjung oleh orang Melayu. Hanya untuk saat ini menjadi pertanyaan besar dimanakah benda-benda pusaka tersebut berada sehingga menjadi sumber belajar sejarah? Apakah di Leiden? Museum Gajah? Atau di tempat lain yang tidak pernah kita ketahui saat ingin menelusuri dan merasakan sentuhan keramat dari benda-benda pusaka tersebut.

h. 15 Di negeri Melayu, gendang, nobat, dan serunai, bila dibunyikan semua rakyat akan tunduk dan menyembah. Siapapun yang memegang nobat, dialah Raja, dialah Sultan. Dialah penguasa yang harus diikutkan perintahnya. Dialah penguasa yang berdaulat dan disembah rakyat.

h. 227 “Raja Hamidah masuk ke dalam biliknya, dan menyuruh pengawal istana menurunkan semua peti-peti pusaka itu, peti yang berisi nobat, gendang, serunai, mahkota, selempang, dan terutama sirih besar yang disebut cogan itu. Raja Hamidah mengamati lagi lempengan emas yang berbentuk daun sirih itu, yang terbuat dari emas 22 karat, bertulang perak.”

                Selain itu melalui novel ini kita diberi kejutan imajinasi tentang keberadaan tiga istana yang pernah hadir dengan segala wibawanya. Melalui novel ini memberi peluang pada dinas terkait untuk menghidupkan kembali tapak-tapak sejarah yang masih tersisa menjadi replika bangunan istana. Ini demi warisan sejarah akan bernilai di atas sejarah.

Istana Piring

h.43 Raja Hamidah masih ingat istana tempat dia dilahirkan. Sebuah istana yang terbuat dari tembok bata dan semen yang didatangkan dari Melaka. Kayu untuk kosen pintu, jendela, bilik dan lainnya, adalah kayu jati yang didatangkan dari Jepara, Jawa. Tiang-tiang istana, kayu Ulin dari Kalimantan. Di tembok istananya, ditempelkan piring-piring porselen buatan Cina, karena itu istana itu disebut istana Kota Piring. Tiang-tiang istana dilapisi cermin, sehingga berkilau jika ditimpa matahari. Pantulan cahayanya berdelau kemana-mana. Karena itu orang juga menyebutnya Istana Seribu Cahaya.

Istana Bukit Cengkeh/Kenanga

h. 71 Sebutan Istana Bukit Cengkeh, karena di dekat istana ada bukit, dan banyak tanaman pohon cengkeh. Baunya harum sebagaimana bau rempah. Hamidah suka bau rempah itu, karena itu lebih suka menyebut istana itu, Istana Bukit Cengkeh, ketimbang Istana Kenanga.

Istana Bunga Lawang

h. 199 Raja Kecik pula pernah juga membangun istananya di Ulu Riau itu. Istananya indah, dan diberi nama Istana Bunga Lawang, karena ukiran-ukirannya menyerupai bunga lawing, sebangsa bunga tebu yang asalnya dari negeri Minangkabau.

                Dalam novel ini menurut saya ada tiga hal yang akan membuka inspirasi untuk dikembangkan menjadi bahan tulisan bagi penikmat literasi. Dapat dikembangkan menjadi ide tulisan sastra, kajian, atapun ilmiah. Ketiga hal tersebut berupa:

Mitos tentang Pohon Perepat

h. 63 “Di atas pulau itu, pulau beting itu, ada sebatang pohon perepat yang tumbuh. Pohon perepat keramat. Kalau rindang daunnya, maka akan makmurlah orang di Riau. Tapi kalau sebaliknya, pohon itu kering meranggas, dan hanya tinggal ranting dan cabangnya, alamat akan susahlah negeri ini.”

Bagi penulis kreatif akan menangkap peluang mitos ini dalam ide tulisan berikutnya. Apakah akan dijadikan ide untuk puisi, prosa, dan kajian budaya. Menarik bukan?

Dilema Raja Ahmad

h. 220 Raja Ahmad tetap diam dan membiarkan dirinya bersikap serba salah. Berdiri di tengah-tengah antara kakaknya, dan abangnya Raja Djaafar.

h. 251 “Adinda ini serba salah. Di satu pihak adinda kasih pada kakanda, tapi di lain pihak adinda juga harus mendengar perintah Yang Dipertuan Muda. Selain dia itu Wakil Sultan, dia juga tetaplah saudara kandung kita.”

                Dilema tokoh Raja Ahmad sebagai lelaki yang selalu berada di titik tengah memberikan peluang untuk menghadirkan sosok beliau sebagai bahan tulisan. Berat menjadi titik tengah antara dua penguasa dan saudara yang berkonflik (Raja Djafar dan Raja Hamidah).

                Satu lagi melalui novel ini kita diberi pemahaman menarik bahwa besarnya nama Raja Ali Haji sebagai penulis Gurindam Dua Belas dan sederet karya lainnya tidak terlepas dari peran Raja Hamidah. Hal ini memberikan peluang bagi peminat kajian dan ilmiah untuk kepentingan akademis.

Rekomendasi

Melihat peran besar Raja Hamidah melalui novel ini dalam mempertahankan kehormatan negeri dari penjajah Belanda serta sederet perjuangan lainnya selayaknya Engku Putri Hamidah mendapatkan gelar Pahlawan Nasional. Novel ini menjadi salah satu referensi yang perlu dibaca dari berbagai kalangan bahwa bumi Melayu ini punya perempuan baja yang sangat layak disandingkan dengan perempuan-perempuan pengubah haluan sejarah di muka bumi ini.

——–

Bambang Kariyawan Ys, guru penulis

Sumber: https://tirastimes.com/esai-bambang-kariyawan-ys/2022/06/10/