Taufik Ikram Jamil dalam bedah novel "Hamidah"

Sastra Jumat, 10 Juni 2022
Taufik Ikram Jamil dalam bedah novel
Taufik Ikram Jamil (kiri) Rida K Liamsi (Tengah) Murparsaulian (kanan). (https://www.facebook.com/taufik.i.jamil.79)

Tak berlebihan kiranya jika dalam bedah novel “Hamidah” karya Datuk Seri Lela Budaya Rida K. Liamsi di Pekanbaru, hari Kamis (9/6), saya mengatakan bahwa dia adalah penulis novel sejarah terdepan Indonesia, bahkan Asean dalam 10 tahun terakhir. Oleh karena itu, wajar jika dia diganjar dengan berbagai penghargaan, misalnya SEA Write Award, suatu penghargaan yang diberikan pemerintah Thailand setiap tahun untuk sastrawan Asean. Oleh karena yang dibicarakan adalah kemanusiaan, tentu penyebutan penghargaan itu sekedar contoh untuk menandai suatu pengabdian.

Keunggulan Datuk Seri (DS) Rida, bukan saja bagaimana ia memilih subjek cerita, tetapi juga bentuk dalam sembilan novel sejarahnya. Subjek cerita berkisar pada Kemaharajaan Melayu yang berpusat di Riau-Lingga, meliputi kawasan pesisir Sumatera dan sebagian Malaysia dan Singapura sekarang. Apalagi ceritanya pada tahun-tahun sebelum Johor, Pahang, Singapura, lepas dari tangan Riau. Akan sangat terasa sekali dinamika ekonomi dan politik di kawasan tersebut yang tidak mudah dijumpai di tempat lain, dengan teropong kekinian.

Cobalah tengok, saat Engku Puteri Hamidah mempertahankan regalia kerajaan dari rampasan Inggris dan Belanda yang sama-sama hendak mendukung zuriat Riau-Lingga sebagai petinggi negeri melalui pandangan masing-masing, dengan tapak berbeda yakni antara Singapura dan Riau, dalam novel “Hamidah”. Hal ini akan teringat pula dengan bagaimana Laksamana Bintan dalam novel bertajuk “Megat”, membunuh Sultan Mahmud di Johor dalam novel terdahulu yang bersama-sama “Hamidah”, merupakan dua dari tetrologinya. Secara internal pula, perdebatan Melayu-Bugis dalam tampuk pemerintahan tidak pernah usai, melahirkan suatu dinamika tersendiri dalam peradaban Melayu.

DS Rida rupanya juga sangat memperhatikan bentuk. Dalam bagian pertama tetrologi ini yakni “Bulang Cahaya”, cerita disampaikannya secara naratif konvensional, tetapi dalam “Megat” dia sudah menyeret pembaca untuk terlibat secara langsung dengan menampilkan tokoh kekinian dalam alur cerita masa lalu. Dalam “Hamidah”, dia membuat ringkasan pada setiap bab, kemudian menguraikan secara detil isi dari ringkasa tersebut dalam cerita. Dengan tetap menjaga keindahan bahasa, bahkan begitu terukur dalam “Hamidah”, tentu saja kita menunggu dengan debar lain bagian keempat dari tetrologinya itu yang kini hampir rampung. Konn, bagian ini akan mengedepankan sosok Siak dan Inderagiri yang tentu saja menjadi sedikit bukti bahwa antara Kepri dan Riau memang hanya dipisahkan secara adminstratif.

Baik. Kita menunggu. Insyaallah.

Tulisan ini merupakan postingan Taufik Ikram Jamil pada halaman media sosial facebook miliknya (https://www.facebook.com/taufik.i.jamil.79)