Oleh Murparsaulian

Engku Puteri Hamidah, Perempuan pembuat sejarah

Sastra Jumat, 10 Juni 2022
Engku Puteri Hamidah, Perempuan pembuat sejarah

Dalam kata pengantar novel ini penulisnya Rida K Liamsi (RDK)mengutip buku Engku Puteri Raja Hamidah, Pemegang Regalia Kerajaan Riau, yang diterbitkan UNRI Press, tahun 2002: “Dengan siapakah Engku Puteri Raja Hamidah binti Raja Haji Fisabilillah hendak dibandingkan? Dengan Ratu Victoria dari Inggeris? Atau Ratu Manchu di Negeri Cina? Atau Mumtaz Mahal, yang dibuatkan oleh suaminya Mausseleum Taj Mahal di India? .........Engku Puteri Raja Hamidah binti Raja Haji Fisabilillah akan saya bandingkan dengan dirinya sendiri...... Pantulan sosok perempuan yang ranggi dan piawai di depan sebuah cermin yang bernama sejarah’’.

Sebuah perbandingan yang sempurna menurut saya. Sebelumnya, dalam bukunya ‘’Engku Puteri Raja Hamidah, Pemegang Regalia Kerajaan Riau, Hasan Junus (HJ) membandingkan ayahanda Tengku Puteri Hamidah Raja Haji Fisabilillah dengan Carthago di Afrika Utara, karena dua orang ini sama-sama menyerang pusat pemerintahan yang dilawannya. Raja Haji Fisabilillah sampai diberi gelar Hannibal dari Riau karena keberaniannya menyerang Belanda. Keperkasaan ini menurun ke zuriatnya Engku Puteri Hamidah yang terdedah dalam novel ini.

Hamidah, sebuah novel yang sarat dengan pesan sejarah dengan bahasa sastera yang romantik, menyentuh sisi kemanusiaan, perasaan terdalam seorang perempuan yang rela berkorban seluruh hidupnya untuk kepentingan puaknya (Bugis). Tidak hanya raganya, jiwapun ia korbankan. Sehingga tidak ada waktu baginya untuk mengikuti kata hatinya untuk cintanya. Cintanya telah bersebati dengan kepentingan pihak Bugis demi menjalankan titah nenek moyangnya. Engku Puteri Raja Hamidah telah menjalani takdirnya sebagai seorang perempuan pemberani. Perempuan ranggi berhati baja yang melawan semua kesewenangan dengan kata-kata. Berani berdepan dengan nasib, dan tidak menyerah karena takdir. Meski tak pernah lupa berzikir.’’ (Kata pengantar halaman 6).

Pada tulisan ini saya akan mengangkat beberapa sisi yang menurut saya menarik dalam novel ini antara lain; Bagaimana sosok laki-laki menilai sosok perempuan bernama Hamidah, isu feminisme, Bahasa sastra yang kuat, romantik, indah dan detail yang digunakan dalam novel ini dan prosa yang berpuisi.

Perempuan di mata laki-laki

Menariknya sisi keperempuanan dikupas habis oleh seorang laki-laki sebagai penulis novel ini. Sesungguhnya Hamidah perempuan yang berhati lembut. Bisa menangis ketika hatinya tersentuh seperti kodrat perempuan pada umumnya. Bertolak belakang ketika ia berani membunuh musuh, bahkan mengamuk. Ia bisa membunuh musuhnya dengan keris terhunus tanpa berkedip. Keperempuanan dan keperkasaan Hamidah berani melawan para lanun dan perompak. Dua sisi yang berbeda dari seorang perempuan kebanyakan. Bahkan pernikahan siasah mampu dilewatinya yang pada akhirnya telah menumbuhkan bibit-bibit cinta di hatinya.

Pada awalnya pernikahannya dengan Sultan Mahmud Riayat Syah adalah sebuah keterpaksaan agar puaknya tetap mendapat posisi penting di kerajaan. Digambarkan betapa sakitnya penderitaan Hamidah diawal-awal pernikahannya karena tidak memiliki rasa cinta. Namun rasa sakit itu terobati karena kasih sayang Sultan Mahmud yang juga pada akhirnya mencintai Hamidah bukan karena kecantikannnya namun karena kearifan dan kecerdasannya dalam membantu Sultan menjalankan kerajaan. Banyak sumbang saran Hamidah yang membantu Sultan keluar dari kesulitan memerintah. Hingga pada akhirnya Sultan Mahmud memutuskan untuk memberi kepercayaan kepada Hamidah memegang Regalia Kerajaan, adat dan marwah negeri Riau. Sebelumnya Sultan Mahmud juga telah memberi gelar Engku Puteri kepada Raja Hamidah. Otomatis dengan gelar ini, Raja Hamidah adalah permaisuri utama. Dua keistimewaan yang dimiliki oleh Engku Putri Raja Hamidah, yakni pemegang Regalia (sirih besar) atau alat-alat kebesaran kerajaan Riau-Lingga dan pemilik pulau Penyengat Indra Sakti, sebagai mas kawin dari Sultan Mahmud.

Kaca mata laki-laki yang menilai Engku Puteri Hamidah juga digambarkan dalam tokoh laki-laki dalam novel ini. Misalnya oleh Raja Ahmad adik Engku Puteri Hamidah seperti dalam kutipan berikut ini: Perempuan memang terkadang sebuah misteri. Tak dapat diduga, tak dapat dijangkau. Dalam kemarahan dan dendamnya, pikiran yang muncul terkadang sangat mengejutkan. Pikiran cerdas dan cemerlang, tapi juga pikiran yang terkadang tak masuk akal. Tak disangka-sangka, dan terkadang dapat mengubah haluan sejarah.” (Halaman 189).

Perhatikan lagi kutipan berikut ini: “Biar saja ada tiga kerajaan, dengan tiga sultannya. Tengku Abdul Rahman di Lingga, Tengku Husin di Singapura, dan kakanda, atau siapapun kelak yang mendapat hidayah dan daulat menjadi Sultan di Riau atau di Inderasakti “kata Raja Hamidah, walaupun Raja Ahmad tahu, itu hanya cara kakaknya melepas sakit hati. Cara perempuan yang masih belum lupa akan pedihnya hatinya karena diperlakukan secara zalim. “Hati perempuan, seperti samudera. Sulit akan diselami “kata Raja Ahmad dalam hati. (halaman 241).

Walaupun Raja Ahmad yang begitu mengerti bagaimana sikap kakaknya Engku Puteri Hamidah, sehingga Engku Puteri Hamidah lebih banyak menurut apa yang dikatakan adiknya itu, namun tetap saja Raja Ahmad tidak dapat menebak secara keseluruhan sikap kakaknya itu.

‘’Raja Ahmad tahu, kakaknya itu masih terus memikirkan soal regalia kerajaan yang dipegangnya itu. Soal siapa yang paling berhak atas regalia itu. Namun dia tidak bisa menebak, kemana ujung pikiran kakaknya, perempuan yang keras hati bagai batu karang itu. Yang selalu mengejutkan dan mempunyai keinginan yang terkadang hampir mustahil. Raja Ahmad belum pernah bertemu dengan perempuan seperti itu’’. (halaman 248).

Hampir keseluruhan sikap Engku Puteri Hamidah dalam novel ini disampaikan lewat tokoh laki-laki. Adapun dalam tokoh berjenis kelamin perempuan tidak ditemukan bagaimana penilaian mereka terhadap sosok Engku Puteri Hamidah. Pemikiran tiga istri Sultan Mahmud yang lainnya hanya tergambar dari penilaian Hamidah sendiri yang menduga-duga para istri Sultan iri padanya, karena semenjak kedatangannya ke istana, Sultan lebih banyak menghabiskan waktu bersama Hamidah sang Engku Puteri yang dilibatkan Sultan mengurus pemerintahan di kerajaan Riau.

Memang dalam novel ini kebanyakan tokoh yang muncul adalah tokoh berjenis kelamin laki-laki yang mendominasi tata kerja dalam mengelola pekerjaan di kerajaan. Engku Puteri Hamidah sebagai salah satu tokoh perempuan di samping istri Sultan yang lain. Ada beberapa paragraf tentang tokoh perempuan yang lain yakni Tengku Buntat yang merupakan anak tiri Raja Hamidah yang cintanya tak sampai dengan Raja Djafaar adik kandung Raja Hamidah. RDK dengan cara yang sama mengangkat sisi yang menyentuh dari kehidupan seorang perempuan, yakni ketegaran menjalani perkawinan siasah sehingga rela melupakan cinta sejatinya. Namun di balik ketegaran itu, ada saatnya perempuan berterus terang akan isi hatinya yang paling dalam seperti terbersit dalam surat Tengku Buntat yang dikirim ke Raja Djafaar agar Raja Djafaar mau pulang ke Lingga. Isi surat itu singkat namun menusuk. ‘’Pulanglah. Adinda tidak Bahagia.’’ (Halaman 344). Kisah lengkap cinta Tengku Buntat dan Raja Djafaar ini ada dalam novel RDK sebelumnya, ‘’Bulang Cahaya’’.

Engku Puteri Hamidah memang perempuan perkasa. Sisi keperkasaannya lebih menonjol dibanding sisi lembut seorang perempuan. Hal tersebut tergambar dalam perjuangannya membela marwah Melayu-Bugis dan tidak mau patuh kepada Belanda. Lihat kutipan suasana ketika Regalia kerajaan Riau-Lingga diambil paksa oleh Belanda dalam kutipan berikut ini: ‘’Raja Hamidah, tak tampak gentar. Mukanya merah, menahan marah. Dia berjalan sampai ke serambi istananya. Melihat sekilas ke rombongan Gubernur Melaka dan adiknya Raja Djaafar pergi menuju dermaga. Dia menutup pintu serambi istananya dengan kaki kanannya. Terdengar pintu terhempas dengan keras. Di tangga ke ruang dalam besar, dia ternampak adiknya Raja Ahmad, terduduk lemas. Bersandar ke dinding bilik, dan terisak-isak. “Sudahlah, jangan ditangisi. Tak ada yang perlu disedihkan. Semua yang dirampas dan dibawa pergi itu, sudah jadi benda-benda mati. Tidak berharga lagi. Kita sudah berjuang dan mempertahankannya, tapi kita tak berdaya. Kita sudah melawannya, tapi kita kalah. Karena kita memang tak mau melawan dengan senjata.Tak apa, kita kalah terhormat, tidak terhina. Sejarah dan anak cucu kita akan mencatat, bagaimana nenek moyangnya berjuang melawan kezaliman itu. ‘’ (Halaman 275).

Di sisi lain, kelembutan seorang perempuan tidak bisa disembunyikannya. Engku Puteri Hamidah juga perempuan biasa yang bisa menangis jika hatinya tersakiti. ‘’Biasanya, jika keperihan itu demikian mengganggunya, dia akan beranjak ke serambi depan istananya dan memandang denyar muara Sungai Carang. Memandang jauh ke hulu sungai, dan membiarkan kenangan hidupnya bermain di puncak-puncak alun yang bergerak menghilir, menuju ke arah Pulau Paku, Tanjung Siambang, berbaur dengan bendang matahari petang. Bayang-bayang bekas istana Pulau Bayan tempat dia dulu menikah dengan Mahmud Riayat Syah, bayang-bayang bekas istananya di Kota Piring, seakan menjadi param dan telah membungkus pedih hatinya. Semua kenangan manis, dan tawa ria di masa lalunya itu, menjadi obat dia untuk melupakan semua kepahitan hidupnya. Setelah itu, ketika azan magrib terdengar, dia berwuduk, dan kembali ke sajjadahnya. Mengadu pada yang Maha Pengasih, dan tenggelam dalam doa panjangnya. ‘’ (Halaman 331).

Begitu juga dengan kutipan paragraf berikut ini: ‘’Hamidah menangis, di tengah malam yang sunyi. Hanya desir angin timur yang terasa menembus celah-celah dinding istananya, dan seperti berbisik di pori-pori kelambunya. Tubuhnya menggigil di tengah malam buta. Seperti demam, tetapi penuh keringat. Bajunya basah. Rambutnya basah. Hamidah bangun, mandi, dan kemudian sholat sunnat taubat. Suara alfatehah nya seperti pisau, mengiris-iris jantung waktu di malam yang sunyi. Senyap. Dan bahkan jangkrik pun membisu. Hamidah sujud. Lama, dan air matanya tumpah di sajjadahnya.’’ (Halaman 234).

Dua sisi yang berbeda dari seorang perempuan yaitu kelembutan dan keperkasaan, menggugah air mata, membuat bulu roma merinding, gigi gemeratup bercampur gemas dan geram.

‘’Istana Bukit Cengkeh, tenggelam dalam duka. Raja Hamidah berdiri di depan tingkap biliknya memandang suasana subuh di langit barat. Sepotong bulan kesiangan, pucat, tersisa dan terapung di pertengahan Zulhijjah, di bulan Januari, mengantar Mahmud pergi untuk selamanya. Raja Hamidah kini merasa sendiri. Dan kehilangan.’’ Kutipan ini menguatkan sisi kelembutan seorang perempuan, bahwa Engku Puteri Hamidah adalah seorang perempuan yang juga merasa sepi, menangis sendiri.

Raja Hamidah adalah juga perempuan yang kuat menangung beban penderitaan terbesar dalam hidupnya. Sampai akhirnya ia bisa menerima kenyataan ketika tidak diberi keturunan laki-laki sebagai penerus Sultan. Padahal untuk itulah sebenarnya dirinya dinikahkan dengan Sultan Mahmud Riayat Syah. Ibunya pernah berkata perjodohannya dengan Sultan Mahmud untuk mengekalkan hubungan persaudaraan Melayu Bugis yang dulu hampir putus di zaman Daeng Kamboja, ayahanda saudaranya yang menjadi Yang Dipertuan Muda. Nenek Raja Hamidah menikah dengan Upu Daeng Celak, salah satu upu-upu Bangsawan Bugis dari Luwu. Dari perkawinan ini lahirlah Ayah Raja Hamidah Raja Haji Fisabilillah. Raja Hamidah masih cicit Sultan Johor Abdul Jalil Riayat Syah. Sehingga jika Raja Hamidah mempunyai putera dari Sultan Mahmud, putra itulah yang berhak didahulukan menjadi Sultan. Namun sayang. Nasib berkata lain. Raja Hamidah tidak dikarunia putera dari perkawinannya dengan Sultan Mahmud Riayat Syah. Setelah Sultan mangkat Raja Hamidah tak sudah-sudah mendapat gundah. Merasa dirinya janda Sultan yang dibuang, dihianati oleh adiknya Raja Djafaar yang bersekongkol dengan Belanda merebut paksa Regalia kerajaan. Begitu juga anak tirinya Tengku Long yang bekerja sama dengan Inggris hingga rela menyuap dirinya dengan mata uang Inggris juga untuk mendapatkan Regalia kerajaan. Padahal Raja Hamidah sudah berusaha keras agar kerajaan dijalankan dengan menegakkan adat istiadat. Penderitaannya itu dibawanya hingga akhir hayat. Walaupun sebelum wafat semua permasalahan adik beradik dan anak beranak sudah diselesaikan, namun tetap saja menorehkan luka batin yang mendalam. Jadi luka sejarah.

Isu feminisme

Sangat jelas sekali novel ini mengangkat isu feminisme. Uniknya isu feminisme itu diangkat oleh seorang laki-laki sebagai penulis novel bukan perempuan. Keberpihakan penulis kepada kekuatan perempuan sangat terasa. Bisa dilihat dari dialog-dialog yang dihadirkan atau dari gambaran bahasa yang digunakan. Seperti kutipan berikut ini: ‘’…. Dan ayahnya itu selalu berpesan. “Perempuan pun, bukan tak boleh membuat sejarah. Banyak negeri yang jaya, karena kearifan seorang perempuan. Begitu juga sebaliknya. Lihatlah ibunda tiri ananda, Raja Mas “. (Halaman 21). Kata-kata ini pernah disampaikan Raja Haji Fisabilillah kepada Raja Hamidah. Tidak mengherankan keberanian dan keperkasaan ayahandanya itu turun ke Raja Hamidah yang tak pernah mau berdamai dengan Belanda atau Inggris. Bahkan diakhir hayat Raja Hamidah selalu berpesan agar jangan pernah mau berdamai dengan Belanda atau Inggris. Digambarkan juga bagaimana kepiawaian Engku Puteri Hamidah dalam mengurus kerajaan yang tidak kalah dengan para lelaki.

Dalam novel RDK sebelumnya bertajuk Lepak Subang Tun Irang juga mengangkat isi feminisme. Novel ini sudah dijadikan bahan kajian skripsi mahasiswa di Universitas Negeri Yokyakarta UNY) yang dilanjutkan dengan kajian Tesis Novel RDK yang lain berjudul Tengku Husein.

Bahasa-bahasa sastra romantis.

Bahasa yang digunakan dalam novel ini adalah bahasa-bahasa sastra yang kuat, romantik, indah dan detail. Sehingga walaupun pesan yang disampaikan adalah pesan berat seperti silisilah kerajaan atau tata cara pemerintahan kerajaan yang mungkin bagi sebagian orang tidak menarik untuk diingat, apalagi anak-anak jaman now, namun dengan bahasa sastera yang mengalir romantis, pesan tersebut jadi tersampaikan dengan indah. Begitu juga dengan kekuatan detail dalam menggambarkan suasana, tempat atau lokasi. Pembaca seakan berada di tengah-tengah suasana yang dituliskan. Seperti contoh kutipan berikut ini: ‘’Malam jatuh. Istana pulau Bayan mulai sunyi. Sungai Carang yang mengalir tenang membawa surut ke hilir. Pantai lumpur sekitar Pulau Bayan, menyurut jauh ke tengah sungai. Surut itu seakan menghanyutkan seluruh gundah gulana Raja Hamidah. Mengalir jauh ke arah pantai Tanjungpinang. Jauh ke arah pulau Inderasakti, yang berada di muara Sungai Carang.’’

Kita seperti berada di setting yang disebutkan dalam novel ini. Seperti dalam paragraf berikut ini:  Angin selatan berderu. Bulang Linggi mengembangkan layar. Sepenuh tiang, ketiga-tiga layarnya, terbentang. Seperti menghimpun tenaga. Tampak haluan perahu menderu, meninggalkan Mepar dan pulau Lingga, melintas pulau Selayar, menghala ke luar alur Tanjung Datuk dengan ombak yang bergulung-gulung. Perahu pencalang itu menggeliat di tengah gelombang, seakan menangkap bahang Selat Melaka.’’

Kekuatan kata-kata telah membawa kita ke dunia imajinasi yang mengalir bak Bulang Linggi yang berlayar dari Mepar dan Pulau Lingga mengikuti jalan cerita. ikut merasakan gulungan ombak alur Tanjung Datuk dan merasakan bahang Selat Melaka.

Prosa yang berpuisi.

Di selipkan puisi untuk menggambarkan suasana hati atau alam sekitar. Seperti kutipan puisi di bawah ini yang menggambarkan suasana hati Raja Hamidah yang memendam kecewa karena pendapatnya tentang Raja dari kaum perempuan ditolak. Ia dianggap melanggar adat, sedangkan pada kenyataannya banyak perbuatan melanggar adat yang dilakukan saat itu. ia tetap bersikukuh menjadi Sultanah. ‘’Bukankah di Aceh yang katanya negeri serambi Mekah itu juga bersultankan seorang perempuan?’’ desisnya geram.

“Tapi mereka mendustakan sejarah. Mereka menyembunyikan Raja Abdullah, putera Muzaffar Syah dengan puteri Sang Nara Diraja, Pahang, janda Raja Umar. Merekapun bersubahat melanggar adat, merajakan yang tak berhak. Maka kemudian mereka kualat. Kehilangan Daulat “Engku Puteri memekik di tengah malam, ketika pertengkaran mencapai puncaknya’’ (halaman 19). Lalu untuk menggambarkan suasana hati Hamidah tercipta puisi seperti ini:

Malam senyap. Dingin merayap.

Bulan di langit kelam meratap
Di istana Bukit Cengkeh jangkrik menderik.

Burung pungguk, meratap sayu, melepas rindu.

 

Begitu juga ketika penulis menggambarkan angin selatan yang menderu di Bulang Linggi jadi puisi seperti di bawah ini (halaman 13).

 

Ombak bergulung putih. Awan berarak pedih. Puuih!
Inilah sisa sirih.

Puuih!
Inilah sisa sirih

Berikutnya kutipan halaman 20 yang menggambarkan perasaan Engku Putri Hamidah ketika keputusannya untuk mengangkat Tengku Long menjadi Raja tidak digubris oleh adiknya Raja djafaar bahkan memilih Tengku Abdul Rahman. Padahal Tengku Long lah yang berhak sebagai Raja karena putra tertua Sultan. Engku Puteri Hamidah menyayangkan keputusan adiknya itu yang lebih mengedepankan dendamnya kepada Tengku Long yang telah merebut Tengku Buntat darinya. Engku puteri hamidah teringat bagaimana ia memperjuangakan agar Raja Djaafar diangkat menjadi Yang Dipertuan Muda, sampai-sampai mesti meminta Tengku Buntat membujuk agar Raja Djafaar bersedia kembali ke Lingga. Harga dirinya sebagai pemegang Regalia kerajaan seperti diremehkan.

Malam senyap. Dingin merayap.

Bulan di langit kelam meratap
Di istana Bukit Cengkeh jangkrik menderik.

Burung pungguk, meratap sayu, melepas rindu.

‘’Gerimis turun, meratap di atas atap istana Engku Puteri. Pedih dan ngilu’’. (halaman 238). Engku Puteri Hamidah adalah salah satu bukti bahwa perempuan pun boleh membuat sejarah. Sebuah kisah yang inspiratif.  Saya membayangkan alangkah moleknya jika novel ini diadaptasi jadi sebuah film sejarah dengan keberagaman platform digital saat ini. Sabas!

 

Murparsaulian, Jurnalis, penulis dan penggiat media kreatif