Sejarah Melayu Dalam Secangkir Kopi Sekanak

Sastra Minggu, 03 Desember 2017
 Sejarah Melayu Dalam Secangkir Kopi Sekanak

Oleh Ahmadun Yosi Herfanda, pelayan sastra

Menikmati sajak-sajak Rida K. Liamsi dalam buku Secangkir Kopi Sekanak, pembaca akan merasakan kentalnya warna sejarah dan tebaran metafor dari khasanah Melayu. Sang penyair agaknya memang memilih sajak-sajak bertema sejarah untuk buku kumpulan puisi terbarunya ini. Ada sekitar 80 persen sajaknya dalam buku ini bertema sejarah. Sisanya berupa sajak-sajak renungan dan catatan perjalanan sang penyair.


Cobalah kita nikmati salah satu bait puisi “Secangkir Kopi Sekanak” (hlm 7) yang kental warna sejarah Melayu, dan dengan tebaran kosa kata Melayu yang sering kurang akrab di telinga, sbb.



Inilah secangkir kopi sekanak. Hiruplah! Akan kau rasakan getaran berahimu naik dari ujung lidah ke gumpalan cahaya mata, seperti ketika Sang Nila Utama menghunjam rindunya pada Wan Sri Beni, saat nafiri cinta mereka bersatu di singgasana Bintan Bukit Batu. Dan, gelegak kopi sekanak, kemudian mengarak darah pengembara menuju Temasik. Menuju Melaka, Johor, Riau, Lingga, dan sekotah negeri di semenanjung Melaka. Dan dengarkan bisik mesra mereka di cangkir-cangkir porselin Cina: Adinda, biarkanlah darah sang Nila Utama berjejak dan membangun sejarahnya sampai ke Arafura, sampai ke Madagaskar, sampai ke Okinawa, sampai ke paterakna Batara Majapahit, Ratu Shima. Sesaplah!



Di dunia sastra, agaknya bukan hanya prosa (cerpen dan novel) yang dengan enak mengangkat tema-tema sejarah sehingga istilah “novel sejarah” menjadi akrab di telinga kita, tetapi puisi pun dengan enak dapat mengangkat tema-tema sejarah, seperti dibuktikan oleh Rida K Liamsi dalam buku ini. Barangkali, nanti akan akrab pula di telinga penggemar sastra Indonesia istilah “puisi sejarah” – tapi bukan “puisi esai” lho ya!

Busana kontemporer
Membaca sajak-sajak Liamsi dalam buku ini tidak diragukan lagi, bahwa puisi-puisi Liamsi sangat berjiwa Melayu, setidaknya aspek tematiknya atau isinya. Namun, agaknya sebagian besar sajak-sajak tersebut tidak “berbusana Melayu”. Kita tidak menemukan jejak puitika Melayu yang kuat pada sajak-sajak Liamsi. Struktur teks (tipografi) sajak-sajak Liamsi lebih banyak berupa struktur teks puisi kontemporer.
Sebagian besar tipografi sajak-sajak Liamsi tidak mengenal pembarisan pendek-pendek yang ketat dan pengelompokan baris-baris dalam bait-bait yang pendek pula, seperti misalnya syair dan pantun. Baris-baris atau kalimat-kalimatnya sambung menyambung membentuk paragraf, dan tiap paragraf menampakkan diri sebagai bait.


Jika dicermati, rangkaian kalimat  yang membangun bait-bait (paragraf) itu cenderung bergaya naratif, cenderung berkisah. Mungkin inilah yang dianggap sebagai puisi naratif oleh Liamsi. Kalaupun dari aspek tekstualnya dianggap berwarna Melayu, maka warna itu dibangun oleh pilihan kata atau diksinya yang bertabur kosa kata Melalyu. Bukan tipografi dan rimanya. Coba simak sajak “Kinja Daeng Marewa dan Dendam Tun Dalam”, puisi sejarah yang sangat naratif (dan tentu prosaik), dengan gaya bertutur yang menarik, berikut ini.



Lihatlah Sulaiman, inilah kami upu upu Bugis lima bersaudara, anak cucu Daeng Rilaka, yang telah meletakkanmu di singgasana negeri Johor yang tersohor. Yang telah menghalau Raja Kecik kembali ke hulu Minangkabau. Menghalau mahkotanya di tebing sungai siak.


Duduklah. Seperti permaisuri cantik. Tersenyum dan berdendanglah tentang kebesaran dan tuah negerimu, bangsamu. Melayu. Biarkan kami para Bugis menghunus badik, melayarkan penjajah, mengharung nasib dan pahitnya selat, menghalau musuh dan mencari pemakaman. Siapa yang merisau kau kami halau. Siapa yang mengancam kau kami tikam. Tapi jangan ganggu singgasana Raja Muda ini dan biarkan jadi hak para Bugis karena kami yang telah mendarahkan keris.

Angin meraung, Melayu terpekur, dan Tuan Dalam mengasah dendam.

Di diri kami masih tercacak panji Hang Tuah dan kami takkan menyerah. Dari Trengganu akan kukirim badai darah mengembalikan kalian ke tanah Gowa karena di sini hanya negeri keturunan Sang Suparba.



Jika sajak-sajak Rida K Liamsi dapat diibaratkan sebagai anak gadis Melayu, maka anak gadis itu tidak lagi berbusana Melayu, tapi mungkin sudah memakai kaos oblong dan jean belel, sudah tampil kontemporer layaknya gadis urban perkotaan. Hal ini mengingatkan kita pada pertanyaan penyair Tanjungpinang, Suryatati Abdul Manan, dalam salah satu puisinya, “Masih Melayukan aku?” Memang sudah tak terasa lagi jejak pantun, syair, mantra, atau gurindam, pada sajak-sajak Liamsi dalam buku ini.


Penyair adalah manusia bebas. Ketika menulis puisi, sang penyair memiliki kebebasan untuk memilih bentuk pengucapan, diksi, majas, metafor, citraan, dan tipografi atau struktur teks; bebas memilih rima mau ketat seperti pantun atau mengabaikannya saja. Bahkan, konon, penyair pun mengantongi licentia poetica, yang memberinya kebebasan untuk taat pada kaidah bahasa atau sesekali melanggarnya.


Semua itu, bagi Liamsi, barangkali untuk suatu pencapaian puitika baru dan cita rasa baru atas tema-tema sejarah Melayu (lama) yang dipilihnya. Dan, pencapaian puitika baru, serta cita rasa tematik baru, adalah suatu kesegaran. Dan, kesegaran adalah sebuah kenikmatan! Jadi, sesapkan saja apa adanya!***


Pamulang, November 2017