Oleh: Anwar Noeris

Kesusastraan Modern, Mau Ke Mana?

Sastra Minggu, 01 November 2015
Kesusastraan Modern, Mau Ke Mana?

Perkembangan kesusastraan modern barangkali merupakan angin segar bagi kesusastraan nasional. Wacana dan kegiatan-kegiatan sastra di kampus-kampus mulai digelar, Koran-koran mulai membuka lembar untuk memuat tulisan yang bergenre sastra, dan komunitas-komunitas yang berlabel sastra yang sudah mulai peduli terhadap masadepan kesusastraan nosional dengan diskusi-diskusi seputar dunia sastra.

Namun sebagai bangsa jajahan, kesusastraan kita dapat diyakini adalah perpanjangan sejarah kesusastraan barat. Medium penerbit Balai Pustaka yang mewadahi penulis-penulis Indonesia dalam menerbitkan tulisannya merupkan tanda tebal politik klonial. Misalnya  dari buku-buku terbitan Balai Pustaka yang memang disaring ketat dalam meng-ekplorasi tema (tema yang bukan perlawanan), dan ketentuan-ketentuan lain yang dirasa mengekang penulis Indonesia. Yang lambat-laun pun terjadi perlawanan kecil dari penulis kita dalam penerbitan buku indipenden (di luar penerbit Balai Pustaka).

Hingga dari polemik sederhana itu, terjadi preodisasi kelanjutan sampai saat ini. Preodisasi kesusastraan kita dari Balai Pustaka sampai angkatan 45 kemerdekaaan, angkatan 66 sampai terakhir angkatan 2000 yang dirumuskan oleh Korrie Layun Rampan, termasuk bagian kemajuan dan tantangan kesusastraan nasional.

Sejarah kecil dari penerbit Balai Pustaka telah membuka pintu bagi kesusastraan kita untuk terus berjalan memasuki preodisasi-preodisasi sastra. Bisa disimak pengaruh dari angkatan-angkatan kesuastraan itu, dari Balai Pustaka ada karya Marah Rusli dengan roman Siti Nurbaya-nya yang sampai pada preodisasi saat ini masih dijadikan kiblat sebagai kajian sastra feminis, atau 45 dengan puisi-puisi eksistensialisnya Khairil Anwar, atau dengan angkatan 66 terbitnya lirisme dalam puisi-puisi Sapardi Djoko Damono dan Goenawan Muhammad, atau angkatan 200o yang dipimpin Seno Gumira Ajidarma dengan cerpen-cerpen suerealisnya, menunjukkan sejarah kesusastraan Indonesia merupakan perpanjangan kesusastaraan barat.

Lalau bagaimana dengan kabar kesusastraan pra-Balai Pustaka? Adakah kesusastraan pada masa itu? Atau memang kesusastraan kita bermula dari kesusastraan klonial yang dibawa penjajah? Sebanarnya pertanyaan-pertanyaan getir ini tak ubahnya keisengan saja tapi bila dipikir ulang menimbulkan kecemasan-kecemasan terhadap identitas kesusastraan nasional.

Kurangnya kehati-hatian kritikus sastra dalam pembentukan angkatan-angkatan dapat ditengarai sebagai jawaban pertanyaan yang mendesak batin di atas. Apakah sejarah sastra Indonesia termasuk sejarah yang kering dari kebudayaan sendiri? Lantas tak ada yang benar-benar memastikan sejarah kesusastraan nasional. Apakah sastra nasional itu adalah tulisan-tulisan sastra yang berbahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia, atau sastra yang ditulis oleh orang-orang Indonesia dengan segala pembahasan mengenai keindonesiaan? Dan bagaimana pula kaitannya dengan sastra yang berbahasa daerah?

Sejauh ini kita saksiakan sastra Indonesia dalam tanda tanya besar. Tak ada yang memastika dalam catatan-catatan buku kritik sastra yang membahas detail sejarah sastra nasional. Bila ada, ia hanya buku kritik sastra yang notabane pembahasannya mengenai isi dan orientasi dari tulisan yang masuk daftar metode kritik sastra.

Ideology Sastra Modern


Tentu kita memulainya dari gagasan yang dikembangakan dalam suatu tulisan, menyimak apa yang ingin disampaikan pada khelayak. Satu- dua- tiga buku yang sudah terbit—untung-untung laris dan mendapat label best seller. Atau model penyampaian dan eksplorasi tema yang dikembangkan.
Bahwa ternyata yang melatari carut-marut kesusastraan nasional kita adalah ideology yang dibawa (dibangun), bahwa ideology abstrak tetap menjadi titik pijak sastrawan kita dalam meng-ekplorasi tema. Ideology tersebut merupakan kontruk pemikiran negara jajahan (klonial)—sebagaimana Negara Indonesia sendiri adalah Negara jajahan yang masih dalam proses Negara berkembang.

Homi Bhabha menyimpulkan negara yang masih berkembag dan bekas jajahan mengidap tiga kompleks: yaitu komplek “mimikri”, “hibridity”, dan “ambivalensi”. Komplek  “mimikri” cendrung meniru hal-hal yang dilakukan para penjajah, bahkan sampai persoalan bentuk dan warna rambut, model pakaian, warna kulit, dan hal-hal terkecil pun.

Sedangkan kompleks “Hibridity” adalah kebudayaan bangsa-bangsa bekas jajahan mengalami pencampuran budaya sendiri dengan budaya penjajah. Dan “Ambivalensi” adalah ambiguitas apakah bangsa bekas jajahan itu cenderung bertitik-berat pada diri sendiri atau terhadap kloni—sesuatu gejala ketidakpercayaan terhadap diri sendiri dan kebudayaannya.

Ketiga komplek Negara berkembang ini sebenarnya lebih menitik beratkan pada arus kebudayaan Negara lain (penjajah), bisa dibuktikan dengan ideology yang dibangun, yang mengarah pada tipe-tipe Negara luar, semisal masyarakat Indonesia—gaya atau medel hidupnya cendrung mengikuti Negara barat, yang mesti berpenampilan wah dan hiper dengan meninggalkan kebudayaan Negara timur (negaranya sendiri). Pemikirannya yang sok liberal dan kapital dengan membangga-banggakan konsep kebudayaan barat dan menerimanya sebagai sesuatu yang given. Sedangkan kebudayaannya sendiri terkubur tanpa alasan-alasan untuk bercokol sebagai identias murni.

Hal demikian termasuk tanda kecil dari aktifitas-aktifitas sastra Indonesia dikontrol dan dilegitimasi keberadaannya oleh kebudayaan barat. Kebudayaan klonial yang masih cendrung dijadikan subkultur budaya sendiri, dan pembahasan-pembahasan yang terus menarik-simpatik tanpa disadari sepunuhnya oleh penulis kita. Yakni itulah ideology abstrak yang dalam bahasa lainnya adalah kekaburan identitas.

Dari jalin kelindan ideolagi tersebut, sampailah pada sendi-sendi kesusastraan kita. Bahwa kesusastraan kita termasuk korban dari kekaburan yang menjadikan kesusastraan kita ke wialayah ambiguitas—kasat identitas. Kemudian sejarah sastra nasional kita tumbuh di tengah ketegangan antara ‘authenticity’ dan ‘modernity’, ketegangan antara sejarah ke depan dan kembali kepada akar yang tak kunjung reda, yang dengan begitu nasionalisme dalam sastra pun semakin kabur untuk dirumuskan (ed, Pedas Lada).***

Anwar Noeris, adalah Mahasiswa Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. aktif berkesenian di Komunitas Kutub Yogyakarta. Tinggal di Yogyakarta. Jln, Parangtritis KM 7,5. No 44 Cabeyan, Sewon Bantul, Yogyakarta.