Tradisi Perpuisian Kepulauan Riau

Sastra Senin, 01 Oktober 2018
Tradisi Perpuisian Kepulauan Riau

Bagian Pertama dari Dua Tulisan

KEPULAUAN RIAU memang ditakdirkan menjadi kawasan persebaran puisi di nusantara. Sama dengan wilayah lain di nusantara, genre puisi awal yang dikenal di Kepulauan Riau adalah mantra. Setelah itu berkembang pula jenis puisi lama yang khas Melayu—hanya ada di kawasan yang berbudaya Melayu di nusantara ini—yakni pantun. Memang, di kawasan yang tak berbudaya Melayu ada juga puisi lama yang mirip pantun, tetapi tetaplah jenis puisi itu bukan pantun. Pantun sejatinya puisi khas Melayu, yang kemudian berkembang juga ke kawasan-kawasan bukan Melayu karena begitu populernya sehingga disukai juga oleh masyarakat non-Melayu, bahkan membuat bangsa asing terkagum-kagum akan keunikan dan keindahannya.

 

Mantra dan pantun merupakan genre sastra lisan dan anonim. Walaupun begitu, kemudian, ada juga pantun yang ditulis dan penulisnya membubuhkan namanya pada karyanya itu. Tatkala mantra dan terutama pantun terus berkembang, muncul pula puisi tulis khas Melayu di Kepulauan Riau. Puisi tradisi tulis yang awal itu adalah syair, gurindam, dan gabungan pantun-syair. Jenis puisi yang disebut terakhir itu bersajak ab-ab dan empat baris sebait (seperti pantun), tetapi tak bersampiran/pembayang atau keempat barisnya merupakan isi (mirip syair).

 

Dalam tradisi puisi tulis, karya-karya itu tak lagi anonim. Berhubung dengan itu, tercatatlah sejumlah penyair yang telah, sedang, dan terus menunaikan baktinya dalam perkembangan perpuisian di Kepulauan Riau. Oleh sebab itu, perpuisian, khasnya, dan kesusastraan, umumnya, menjadi tradisi di daerah ini, turun-temurun dan silih berganti, walaupun ianya mengalami pasang-surut juga secara kuantitas dan kualitas. Atas dasar konsistensi itulah surat kabar Koran Jakarta menggelari (menjuluki) Kepulauan Riau, umumnya, dan Tanjungpinang, khasnya, sebagai Kota Puisi di Indonesia.

 

Puisi tulis mulai bertapak di Kepulauan Riau sejak zaman Kesultanan Riau-Lingga, yakni pada 1820. Para penulis yang tergolong pelopor atau perintis perpuisian tulis tradisional itu sekurang-kurang ada tiga orang. Pertama, Bilal Abu atau nama lainnya Lebai Abu yang menulis (1) Syair Siti Zawiyah (1820) dan (2) Syair Haris Fadhilah (1830); kedua, Raja Ahmad Engku Haji Tua yang menghasilkan tiga buku puisi (1) Syair Engku Puteri (1831), (2) Syair Raksi (1841), dan (3) Syair Perang Johor (1843/44); ketiga, Daeng Wuh yang menulis satu buku puisi, yakni Syair Sultan Yahya (1840).

 

Setelah generasi pelopor itu, muncullah generasi pengokoh jati diri perpuisian Kepulauan Riau. Mereka terdiri atas Sang Penulis Serbabisa dan prolifik, Raja Ali Haji dan teman-teman seangkatannya.

 

Raja Ali Haji yang tiada lain putra Raja Ahmad Engku Haji Tua itu, di antara 20 karyanya, menulis sekurang-kurangnya 8 buku puisi. Karya beliau meliputi (1) Syair Abdul Muluk (1845), (2) Gurindam Dua Belas (1846/47), (3) Syair Warnasarie (1853), (4) Ikat-Ikatan Dua Belas Puji, (5) Syair Hukum Nikah atau Suluh Pegawai (1866), (6) Syair Siti Shianah (1866), (7) Syair Awai (1868/69), dan (8) Syair Sinar Gemala Mestika Alam (1895). Raja Ali Haji telah menambahkan khazanah puisi Kepulauan Riau, selain syair naratif, dengan gurindam dan paduan pantun dan syair (dalam Ikat-Ikatan Dua Belas Puji).

 

Penyair seangkatan Raja Ali Haji adalah Haji Ibrahim Datuk Kaya Muda. Beliau telah menghasil 3 karya dalam bidang puisi: (1) Syair Raja Damsyik (1864), (2) Syair Sidi Ibrahim bin Khasib (1865), dan (3) Perhimpunan Pantun-Pantun Melayu. Dengan karyanya yang tertera pada (3) itu, jelaslah bahwa Haji Ibrahim menjadi pelopor pantun menjadi sastra tulis, yang sebelumnya hanya dikenal sebagai puisi lisan.

 

Penulis lainnya adalah Raja Saliha. Beliau adalah saudara kandung Raja Ali Haji. Penulis perempuan ini sekurang-kurangnya menulis satu buku puisi, yakni Syair Abdul Muluk (1845), yang ditulisnya bersama saudaranya Raja Ali Haji.

 

Saudara Raja Ali Haji yang juga menjadi penulis adalah Raja Haji Daud. Profesi sehari-harinya adalah tabib atau dokter kerajaan. Sebagai penyair, beliau menulis satu buku puisi, yakni Syair Peperangan Syarif Hasyim atau Syair Siarah Said Qasim (1870).

 

Seangkatan dengan Raja Ali Haji ada dua orang Yang Dipertuan Muda (YDM, jabatan setingkat di bawah Sultan Riau-Lingga) yang membukukan nama mereka juga sebagai penyair. Pertama, Raja Haji Ali (YDM VIII Kesultanan Riau-Lingga), yang tiada lain adalah juga saudara sepupu Raja Ali Haji. Baginda menulis satu buku puisi, yakni Syair Nasihat (1857). Kedua, Raja Abdullah (YDM IX Kesultanan Riau-Lingga) dan adinda Raja Haji Ali. Beliau menulis (1) Syair Madi (1848), (2) Syair Kahar Masyhur, (3) Syair Syarkan (1857), dan (4) Syair Encik Dosman.

 

Senarai di atas itulah para pengokoh jati diri perpuisian Kepulauan Riau. Di belakang mereka ada pula generasi penerus. Barisan ini terdiri atas Encik Kamariah yang menulis satu buku puisi Syair Sultan Mahmud (1855), Raja Safiah binti Raja Ali Haji menulis Syair Kumbang Mengindera (1855), Raja Hasan ibni Raja Ali Haji menulis Syair Burung (1859), dan Raja Kalsum binti Raja Ali Haji menulis Syair Saudagar Bodoh (1861).

 

Masih dalam senarai generasi penerus. Termaktublah nama Raja Haji Muhammad Tahir ibni Raja Abdullah (YDM IX Riau-Lingga). Hakim Agung Kesultanan itu juga penyair dan menghasilkan Syair Pintu Hantu. Seangkatan dengan beliau, Haji Muhammad Yusuf Puspa Teruna menulis Taman Permata (1889).

 

Penyair ini adalah tabib atau dokter Kesultanan Riau-Lingga dan tercatat sebagai dokter pertama Kepulauan Riau yang berhasil melakukan tindakan medis operasi. Nama beliau pulalah yang kita tabalkan menjadi nama Rumah Sakit Umum Provinsi Kepulauan Riau. Beliau adalah Raja Haji Ahmad Tabib ibni Raja Hasan (cucu Raja Ali Haji). Sebagai penyair beliau tergolong cukup produktif dengan menghasilkan 5 buku puisi: (1) Syair Nasihat Pengajaran Memelihara Diri, (2) Syair Raksi Macam Baru, (3) Syair Tuntutan Kelakuan, (4) Syair Dalail al-Ihsan, dan (5) Syair Perkawinan di Pulau Penyengat.

 

Generasi penerus yang lain adalah Khalid Hitam atau nama sebenarnya Raja Khalid ibni Raja Hasan ibni Raja Ali Haji. Beliau berprofesi sebagai politisi. Sebagai penyair, beliau menulis 2 buku puisi: (1) Syair Perjalanan Sultan Lingga dan Yang Dipertuan Muda Riau Pergi ke Singapura (1890) dan (2) Syair Peri Keindahan Istana Sultan Johor yang Amat Elok (1890). Penyair ini wafat di Jepang dalam upaya diplomatik melawan penjajah Belanda.

 

Saudara Khalid Hitam adalah Abu Muhammad Adnan atau nama sebenarnya Raja Abdullah ibni Raja Hasan. Beliau juga adalah Hakim Agung Kesultanan. Sebagai penyair, beliau menghasilkan 3 karya: (1) Syair Seribu Satu Hari (1919), (2) Syair Syahinsyah (1922), dan (3) Ghayat al-Muna. Istri beliau, Salamah binti Ambar, juga penyair perempuan yang menulis 2 buku puisi: (1) Nilam Permata dan (2) Syair Nasihat untuk Penjagaan Anggota Tubuh.

 

Setelah generasi penerus itu, muncullah generasi pembaharu dalam hal sikap dan tema karya. Akan tetapi, jenis karya yang digunakan tetaplah hikayat (prosa) dan syair (puisi). Tepatnya, kesusastraan Kepulauan Riau masa ini memasuki generasi transisi tradisional-modern. Penulis yang termaktub dalam kelompok ini adalah sastrawan yang juga penyair Aisyah Sulaiman atau nama lengkapnya Raja Aisyah binti Raja Sulaiman ibni Raja Ali Haji. Penyair yang begitu bersemangat memperjuangkan emansipasi perempuan ini menghasilkan 4 buku, dua di antaranya adalah puisi, yakni (1) Syair Khadamuddin (1926) dan (2) Syair Seligi Tajam Bertimbal. Karya beliau itu diterbitkan secara anumerta karena Aisyah Sulaiman wafat pada 1924.

 

Karya-karya penyair generasi awal 1800-an sampai dengan awal 1900-an itu berbentuk puisi tradisional. Dalam hal ini, yang terbanyak adalah syair naratif, yakni syair yang berkisah lengkap dari awal sampai akhir dengan unsur intrinsik penokohan, alur, tema, latar, amanat, dan lain-lain yang mirip prosa, tetapi dalam wujud puisi, yakni syair. Selain itu, ada pula gurindam dan paduan pantun-syair, serta pantun tertulis.

 

Setelah Aisyah Sulaiman wafat, kreativitas perpuisian Kepulauan Riau bagai mati suri. Tak ada lagi puisi, bahkan prosa juga, yang ditulis di daerah ini. Kebuntuan itu akhirnya terpecahkan juga dengan terbitnya buku kumpulan karya sastra (esai dan puisi) Jelaga (1969) yang ditulis oleh 3 sastrawan: Hasan Junus, Iskandar Leo (Rida K Liamsi), dan Eddy Mawuntu. Era 1960-an ini Kepulauan Riau memasuki masa puisi modern, yang memang secara tematik telah menyerlah di dalam karya Aisyah Sulaiman. Generasi pelopor puisi modern ini membabitkan beberapa nama penyair.

 

Hasan Junus memang tak menulis puisi. Beliau lebih menekuni naskah drama, cerpen, dan yang terbanyak esai. Akan tetapi, esai-esainya banyak membahas puisi Timur dan Barat. Baktinya dalam bidang kesusastraan telah diakui sampai ke mancanegara yang membawanya menerima beberapa anugerah sastra. Karena ketunakan dan kefasihan beliau dalam mengupas karya sastra melalui esainya, para pengamat sastra banyak yang menggelari beliau sebagai Penghulu Sastra Indonesia dan Kyai Sastra Indonesia.

 

Seangkatan dengan Hasan Junus adalah sastrawan dan budayawan Rida K Liamsi. Dalam bidang sastra, beliau menulis esai, novel, dan puisi. Penyair yang juga jurnalis dan pengusaha ini telah menerbitkan buku kumpulan puisi Ode ke-X (1981), Tempuling (2003), dan Perjalanan Kelekatu (2008). Sejumlah sajaknya dimuat di pelbagai media yang terbit di Indonesia. Bersama penulis lain, beliau menerbitkan Jelaga (1969). Kelebihan utama Rida K Liamsi yang terlihat dalam puisi-puisinya adalah kemampuannya memanfaatkan khazanah maritim dan budaya bahari untuk menggambarkan pikiran dan perasaannya melalui puisi. Karena mutu karya dan ketunakannya dalam berkarya, Rida K Liamsi juga telah menerima pelbagai anugerah sastra dari dalam dan luar negeri.

 

Penyair pelopor puisi modern Kepulauan Riau lainnya adalah Sutardji Calzoum Bachri. Sebagai penyair, beliau telah berjaya mengembalikan marwah perpuisian Indonesia kepada mantra, yang diberi roh baru sesuai dengan perkembangan manusia modern. Sebelum beliau, para penyair Indonesia dan Asia Tenggara sekian lama tenggelam dalam pengaruh pola puisi Barat. Gerakan perlawanan Sutardji terhadap penjajahan perpuisian Indonesia yang dilakukannya melalui pembacaan sajak-sajaknya di TIM pada akhir 1960-an dan akhir 1970-an ternyata menggemparkan jagat perpuisian ASEAN, bahkan Asia. Itulah kelebihan Sutardji. Beliau memiliki kemampuannya membaca puisi yang menyihir penonton sehingga membuat orang terkagum-kagum, yang belum pernah dilakukan oleh penyair Indonesia sebelum ini. Melalui kredonya, beliau menabalkan diri sebagai Presiden Penyair Indonesia. Sebagai penyair, Sutardji telah menerbitkan buku puisi O (1973), Amuk (1977), Kapak (1981), dan O, Amuk, Kapak (1981). Selain itu, puisi-puisi beliau juga dimuat di pelbagai media di Indonesia. Karena jasanya dalam bidang kesusastraan, Sutardji telah menerima pelbagai penghargaan dan anugerah dari dalam dan luar negeri. (bersambung)

Kolom
Abdul Malik