Sabtu, 02 November 2024
"Sekali ini biarkan mataku menjadi pisau yang akan menyepi pada sajak-sajakmu " ( puisi Merasakan Sunyi Sajakmu )
Ketika saya pertama kali memperoleh buku kumpulan puisi Yuanda Isha, “ Seribu Satu Puisi “ , terlepas dari kualitas puisi yang ada di dalamnya, saya melihat semangat penulisnya yang berkobar-kobar. Tekun dan telaten. Seorang penyair perempuan yang tumbuh dan dibesarkan di sebuah kota yang sebenarnya sudah kehilangan gairah budaya, meski di sini pernah hidup dan berkembang seorang pujangga besar Melayu, Raja Ali Haji.
Saya kagum pada Yuanda Isha, karena perlu energi dan waktu yang panjang untuk menyiapkan 1001 puisi itu. Dan bagi seorang penulis perempuan yang sudah berkeluarga, itu merupakan kerja besar dan toleransi dari keluarga yang juga besar untuk menjaga ritme dan "mood" nya dalam menulis.
Saya tidak tahu berapa lama buku puisi itu ditulisnya dan bagi saya itupun tidak terlalu mendesak. Bagi yang berkehendak menulis, semangat yang pernah menyertainya itu melebihi segalanya. Menulis itu memerlukan dedikasi yang tinggi. Komitmen. Dan terkadang harus "berdarah darah" seperti kata Presiden Penyair Indonesia, Sutarji Calzoum Bachri (SCB)
Kesan semangat dan kesungguhan itu juga kemudian tampak pada kumpulan puisinya yang lain, seperti "Perempuan Menulis", " Sejak Kau Ajari Aku Membaca" , dan kumpulan bersama lainnya. Yuan, begitu dipanggil, termasuk seorang penyair yang produktif.
Saya mencoba membaca puisi-puisinya yang ada dalam kumpulan "Seribu Satu Puisi" itu untuk melihat apa yang ingin dikatakan penyair ini. Gaya pengucapan dan konsistensi serta alur pemikirannya. Bagi seorang penyair, puis- puisi awalnya itu adalah petanda dan laluan serta isyarat penting bagaimana proses dia "menjadi dirinya" sebagai seorang penyair. Sebab visi ideal seorang penyair adalah bagaimana ia dengan semangatnya itu , dengan puisi-puisinya itu memberikan sesuatu yang berharga pada kehidupan ini . Meskipun hanya sebuah puisi atau sebaris kata. Semua penyair berangkat dengan semangat dan visi ideal yang demikian. Penyair yang tidak tahu dan tidak peduli untuk apa puisi-puisinya ditulis, sungguh sia-sia.
Semangat dan kemauan kuat itulah yang saya lihat dari buku-buku kumpulan puisinya yang terbaru, "Luka di Padang kata dan Nyanyian Perempuan Laut" . Meskipun seperti penyair-penyair perempuan lainnya, gaya pengucapan puitikanya selalu samar, dengan diksi-diksi yang manis. Penuh teka teki. Masih amat berkabut namun kaya dengan metafora, terutama yang digali dari rasa dan pengalaman bathin mereka yang bagai sebuah samudera. Penuh misteri, meski sudah dituangkan dalam puisi. Memang masih amat jarang ada penyair perempuan yang "telanjang" dan berterus terang dalam pengucapan puitikanya, kecuali pada penyair perempuan papan atas seperti Dorethea Rossa Herliany, atau beberapa lainnya.
Puisi-puisi Yuanda dalam kumpulan ini, dengan pengucapan yang khas penuh diksi dan metafor yang manis dan berwarna, merupakan percakapan bathinnya dengan dirinya, dengan rasa dan endapan gelisahnya, dengan kehidupan ke akuannya yang ada disekitarnya. Meskipun dia dengan cerdas membungkus dan membingkai percakapan itu dengan menggunakan idiom orang kedua (kau atau kita) dalam membangun komunikasi dan menumpahkan kegelisahan bathinnya.
Orang kedua itu dengan jelas menunjukkan bahwa itulah "ego" nya. Ujud dari gagasan dan visi idealnya sebagai penyair. Itulah gagasan dan visi kepenyairannya yang dijadikan mitra dialog imajinatifnya. Sosok dirinya yang menjadi sumber percakapan, renungan dan kegelisahan kulturalnya. Jika pada penyair lain, sosok mitra percakapan itu selalu Yang Maha Kuasa, tidak pada Yuanda. Orang kedua dalam puisinya, adalah sosok ideal dalam hidupnya. Citra dan moral kehidupan. Kehidupan keperempuanannya. Kehidupannya sebagai bahagian dari tradisi yang membesarkannya. Tradisi laut dan pesona nya yang menjadi pembentuk karakter dan moralnya.
Puisi "Merasakan Sunyi Sajak mu" yang baris penutupnya saya kutip di awal esai ini menunjukkan bagaimana Yuanda membangun percakapan bathinnya itu. Percakapan bathin di ladang kata-kata, percakapan bathin seorang perempuan yang dibesarkan oleh laut dengan tradisi ombak, angin, badai, dan kecemasan akan kehilangan orang yang dicintai. Kecemasan akan kehilangan sosok "kamu" dari personifikasi, dari alter egonya.
Lihat sajak ini :
Sekali kita lemparkan pisau itu ke jantung sendiri
Maka sebuah tekateki akan menjelma luka
Dan setelah kusaksikan mata gelapmu
Akulah cerita gentar yang terkapar
Sempat kau katakan jika musim akan segera dilepas angin
Lalu kau mesti tabah mengaisi pedih lagi,
sampai petang renta
Hingga pijar pijar lampu menjadi kutukan
Maka, harus kubacakan sunyi dengan caraku sekali lagi
Tanpa menoleh pada yang luka
Sampai perjalanan dikatakan tiada
"Sekali ini biarkan mataku menjadi pisau yang akan menyepi pada sajak-sajak mu"
Begitulah cara Yuanda mengemas percakapan bathin, rasa rindu, cinta dan kegelisahan yang mewarnai puisi-puisinya. Bagi Yuanda, menulis puisi adalah menulis suasana hati. Menulis semua resa dan rasa dalam semesta harap dan juga luka. Bagi Yuanda kata-kata adalah medium yang menjadi ladang tempat dia menyemai, menumbuhkan, memanen dan menuai kehidupan, dan kehidupan tentu saja tidak selalu beraroma yang sama. Terkadang suka, terkadang duka, terkadang rindu , dan terkadang luka. Dan di dalam kumpulan ini , rasa pedih dan luka memang lebih terasa mewarnai perjalanan harinya.
" ..,,,,.,, Entah kapan nasib sembab itu akan kau suling dari tubuh mu yang asin sambil membangun mimpi di dada sendiri // Membijaki lukisan tua bapakmu // Juga sekeping rasa sakit hasil penghianatan kata kata ( Enigma /2020 ).
Dengan kumpulan "Luka di Ladang Katakata dan Nyanyi Perempuan Laut" ini, Yuanda kembali mengkukuhkan posisinya sebagai salah seorang penyair perempuan Indonesia yang sedang menanjak dan mencari tempat dalam peta kepenyairan Indonesia. Shabas !
2020