Memaknai Sejarah Lewat Novel

Sastra Minggu, 01 Januari 2017
Memaknai Sejarah Lewat Novel

Rida K Liamsi, Megat (Pekanbaru: Sagang, 2016), 521 halaman

DIBANDINGKAN sejarawan, novelis sebenarnya mempunyai ruang yang lebih leluasa ketika ia hendak menyampaikan refleksi evaluasinya tentang sejarah, tentang peristiwa masa lalu. Secara subjektif, novelis cenderung memaknai dan menafsirkan fakta atau peristiwa sejarah menurut kepentingannya. Lewat kemampuan narasinya, ia dapat memanfaatkan fakta sejarah dan menyajikannya kembali menjadi kisah tentang seseorang yang berada dalam lingkaran sejarah.

Di sana, dalam kisah itu, novelis bisa saja sekadar menyajikan kembali fakta-fakta sejarah, bisa juga menawarkan sejarah di luar mainstream, atau ia memang sengaja membuat sejarah menurut pemaknaan dan penafsirannya sendiri. Maka, novelis selain leluasa menyampaikan pesan-pesan ideologinya, menyembunyikan keberpihakannya, ia juga dapat menawarkan alternatif lain di balik peristiwa sejarah.

Meskipun begitu, jangan salah, seorang novelis tidak sepatutnya melakukan pemutarbalikan fakta. Tidak etis jika sengaja bermaksud menyelewengkan sejarah atau hendak menghapus beberapa bagian dari peristiwa sejarah. Ia mesti tetap objektif menempatkan fakta sejarah sebagaimana adanya. Maka, yang dilakukan novelis adalah melihat fakta sejarah dari sudut pandang lain, dan mengungkapkannya lewat penafsiran dan pemaknaannya yang berkaitan dengan sikap dan ideologi novelisnya sendiri.

Seorang novelis bisa juga menjadikan fakta dan peristiwa sejarah sebagai latar belakang karya kreatifnya. Ia dapat memanfaatkannya untuk menyampaikan catatan kritis atau sekadar mengungkapkan peristiwa yang luput dari catatan sejarah. Mengingat sejarah cenderung merekam berbagai problem besar atau peristiwa yang berdampak luas, maka peristiwa-peristiwa individual, personal, hubungan orang per orang, kerap terabaikan. Bahkan, sejarawan cenderung menempatkan peristiwa sejarah dalam karya sastra sebagai fakta yang tidak penting. Bukankah peristiwa besar apa pun, sesungguhnya tidak terlepas dari persoalan individual?

Dalam dunia sastra yang menempatkan fakta-fiksi berada dalam garis tipis, novelis justru punya sudut pandang yang tak terduga ketika fakta diolah menjadi fiksi, dan fiksi disajikan seolah-olah sebagai fakta. Di situlah novel sejarah mengelindankan fakta-fiksi dapat mengisi kekosongan yang tak tersentuh sejarah, mengingat novel lebih menekankan pada peristiwa yang terjadi pada orang per orang. Maka, tokoh-tokoh yang dihadirkan pengarang tidak lain adalah representasi pemihakan sastrawan. Oleh karena itu, Sri Sumarah dan Bawuk—Umar Kayam, Burung-Burung Manyar—Mangunwijaya, Lingkar Tanah, Lingkar Air—Ahmad Tohari, misalnya, dapat ditafsirkan dan dimaknai sebagai pemihakan sastrawan pada tokoh-tokoh yang menjadi korban, dan sejarah akan tetap mengabaikannya.

Pramoedya Ananta Toer dalam tetralogi Bumi Manusia (1980) mengangkat kisah individual Minke dan Nyai Ontosoroh. Tetapi, di balik itu, ada tawaran cara pandang lain tentang peristiwa sejarah kebangkitan nasional. Pram tidak menempatkan kebangkitan nasional itu dari peristiwa berdirinya Budi Utomo, melainkan dari peranan pers berbahasa Melayu dan Syarikat Islam sebagai organisasi modern yang menumbuhkan spirit nasionalisme.

Lihat juga apa yang dilakukan Andi Makmur Makka dalam Rumpa’na Bone: Runtuhnya Kerajaan Bone (2015). Catatan sejarah yang menempatkan heroisme Raja Bone Arumpone dalam menentang Belanda pasca-perjanjian Bongaya, surut ke belakang, dalam novel itu, justru tampil gigih dan bahu-membahu dengan rakyat. Di antara perjuangan mempertahankan marwah dan wibawa kerajaan, menjaga harga diri dan martabat bangsa, dan semangat tetap menegakkan filosofi siri, Raja Bone Arumpone berada paling depan, terus bertahan melakukan perlawanan sampai tak ada lubang sedikit pun untuk meloloskan diri. Raja Bone akhirnya menyerah dan dibuang ke Betawi. Ia kalah dengan kepala tetap tegak. Ia dibelenggu, tetapi tekadnya untuk membebaskan diri dari cengkeraman Belanda, terus menginspirasi rakyatnya.

Novelis Rida K Liamsi dalam novelnya, Bulang Cahaya (2007) lain lagi. Perjanjian Inggris—Belanda tahun 1824 yang lalu dikenal sebagai Traktar London, bagi kedua negara kolonialis itu, boleh jadi disikapi sekadar perjanjian tukar guling. Tetapi, bagi kerajaan dan rakyat Melayu, peristiwa itu membelah sebuah dunia yang implikasinya begitu dahsyat sampai sekarang. Bahkan sejak pertengahan dasawarsa 1960-an, Singapura tegak berdiri sebagai negara berdaulat. Maka, terbentanglah garis segitiga sijori (Singaura-Johor-Riau).

Rida K Liamsi memandang terbelahnya dunia Melayu itu dari sudut yang lain. Ada kisah individual-personal, yang implikasinya tidak kalah dahsyatnya. Titik berangkatnya bersumber dari peristiwa kasih tak sampai: Tengku Buntat dan Raja Djaafar. Peristiwa kasih tak sampai itu tidak dikemas seperti percintaan Romeo dan Juliet, Uda dan Dara, atau Shonezaki Shinzu, melainkan tragedi yang menggegarkan sebuah kerajaan, seperti yang menimpa pada diri Cleopatra atau Helen dari Troya. Tengku Buntat … pada akhirnya harus mengikuti suaminya bersekutu membelah kerajaan Lingga, meski cintanya tetap abadi pada tokoh Raja Djaafar.

***



Bagaimanakah dengan novel Megat (Pekanbaru: Sagang, 2016, 521 halaman) karya Rida K Liamsi? Adakah alasan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk menempatkan novel ini sebagai novel sejarah? Atau, jangan-jangan Megat lebih pas sebagai novel tentang dunia Melayu yang memanfaatkan peristiwa sejarah sebagai latar cerita. Tema tentang dunia Melayu itu lalu coba dimaknainya dalam konteks sekarang. Jadilah peristiwa masa lalu itu bisa tiba-tiba muncul atau menclok ke sana ke mari menyalip peristiwa masa kini. Dengan cara demikian, pengarang terkesan sengaja memelihara rasa penasaran dan keingintahuan pembaca. Teknik penceritaan seperti itu tentu saja penting untuk membangun tegangan (suspense).

Novel ini disusun dalam 21 bagian. Setiap bagiannya, bisa saja mengungkapkan satu atau dua peristiwa yang terjadi dalam rentang waktu tertentu; tetapi bisa juga menyajikan peristiwa masa lalu dan masa kini yang pemunculannya bisa saling menyalip. Akibatnya, pembaca seperti dihadapkan pada sebuah puzzle dengan lempengan-lempengan gambarnya yang masih berserak. Secara perlahan-lahan, melalui tokoh Megat Ismail dan Tengku Adinda, berbagai peristiwa yang tampaknya hadir menyerupai fragmen-fragmen itu mulai tersambungkan. Keseluruhannya lalu membentuk kisah besar dengan fokus cerita pada peristiwa masa lalu, terbunuhnya penguasa Johor, Sultan Mahmud oleh laksamananya sendiri, Megat Seri Rama.

Bagian satu tentang peristiwa pembunuhan Sultan Mahmud oleh Megat Seri Rama menjelang solat Jumat, misalnya, seolah-olah dibiarkan menggantung begitu saja dan berakhir pada peristiwa penyelamatan Megat oleh Hulubalang Lingoi. Bagaimana nasib Megat yang terluka oleh keris beracun Sultan Mahmud? Bagaimana pula nasib Hulubalang Rejab dan nasib kerajaan Johor pasca-terbunuhnya sang sultan? (hlm. 30). Cerita kemudian berlanjut pada peristiwa lain dengan latar waktu masa kini. Peristiwa pertemuan di Hotel Equatorial antara Megat Ismail dan istri ‘simpanannya’ Tengku Adinda.

Setelah cerita berkelak-kelok antara masa lalu dan masa kini yang mengungkapkan awal pertemuan Megat Ismail—yang sudah beranak-istri—dengan istri simpanannya itu, lalu di antara itu, ada diskusi politik, percintaan yang ganjil, pernikahan resmi di bawah tangan, dan peristiwa lain yang seperti saling menyergap, pada bagian 19, kita bertemu lagi dengan kelanjutan nasib Megat Seri Rama. Keadaannya terjadi pula pada bagian dua yang baru nyambung lagi pada bagian 15, 16, dan 17, setelah disalip oleh peristiwa yang dikisahkan pada bagian 3 sampai bagian 6. Begitulah, pada awalnya kita seperti sengaja diberi sajian tentang berbagai peristiwa masa lalu dan masa kini yang saling berkelindan. Belakangan, selepas memasuki pertengahan novel, benang merahnya mulai kelihatan terbentang samar-samar. Dengan cara berkisah seperti itu, greget dan rasa penasaran pembaca (suspense), tetap terpelihara.

Dengan menempatkan peristiwa terbunuhnya Sultan Mahmud sebagai fokus peceritaan (focus of narration), maka peristiwa itu pula yang digunakan sebagai pintu masuk untuk membangun tema besar novel ini. Dikisahkan, menjelang kematiannya, Sultan Mahmud menyampaikan pesan begini: “Beta sumpah engkau, Megat, sampai tujuh keturunan …Muntah darahlah keturunan engkau kalau menjejak kaki ke Kota Tinggi ini! Dan bisa keris Beta Sempena Johor akan membuat engkau lumpuh dan mati beragan ….” (hlm. 24). Peristiwa inilah titik awal yang merekatkan serangkaian peristiwa lain dalam novel ini. Atau, peristiwa-peristiwa lain yang berseliweran yang terjadi masa kini, sumber masalahnya tetap berpangkal pada peristiwa masa lalu. Dengan demikian, pemanfaatan kilas balik (flashback) yang seperti tiada hentinya itu, selain tetap tidak kehilangan arah, juga berfungsi menarik-ulur tegangan.

Pada bagian dua, misalnya, kita disuguhi kisah sepasang sejoli: Megat Ismail –yang sedang menyusun novel dengan tokoh utama Megat Seri Rama—dan Tengku Adinda, kandidat doktor yang kebetulan, topik penelitiannya, pembunuhan politik di Kota Tinggi Johor. Jadi, persoalan yang sama hendak diangkat untuk kepentingan yang berbeda: novel dan disertasi. Pada awalnya, kehadiran kedua tokoh itu, terkesan seperti koinsidensi: dua peristiwa berbeda yang seolah-olah ada hubungannya. Ternyata, memang ada hubungannya. Maka, peristiwa kebetulan yang pada akhirnya menjerumuskan Megat dan Adinda pada skandal cinta itu, punya cantelan sejarah yang rumit dan unik, oleh karena itu, jadi menarik.

Ketika pada suatu malam Megat Ismail, muntah darah dan dibawa ke rumah sakit, satu per satu peristiwa yang menyelimuti latar belakang dan latar depan kedua tokoh itu, mulai terkuak. Megat Ismail ternyata keturunan Megat Seri Rama, sementara Tengku Adinda masih ada pertalian darah dengan Sultan Mahmud. Bagaimana peristiwa tiga ratus tahun lalu yang menimpa Sultan Johor itu, laksana dihadirkan kembali lewat keturunannya dalam bentuk yang lain? Belakangan, terkuak pula, sepasang sejoli itu ternyata sudah resmi menjadi suami—istri lewat pernikahan yang tak diketahui pihak keluarga masing-masing.

***

Sebagai sebuah novel, faktor kebetulan dan kebolehjadian, sering kali dimanfaatkan pengarang tidak hanya untuk kepentingan membangun jalinan cerita yang berkelak-kelok, tetapi juga di sebaliknya, ada pesan ideologis yang hendak diselusupkan. Mengingat novel ini mengangkat latar sejarah, maka aspek sejarah itu pula yang menjadi sasaran pesan ideologinya. “Sejarah itu adalah sebuah cermin, tempat kita melihat wajah masa lalu, dari kacamata kita. Menganalisis distorsi penafsiran para penulisnya. Politik yang mengepung, dan kompetensi dan misi tersembunyi para penulisnya.” (hlm. 498).

Lalu, idealnya, bagaimanakah sejarah mesti ditulis dan disampaikan pada generasi berikutnya. Bagaimana generasi kini memahami masa lalunya dan lewat pemahaman itu, mereka menggunakannya sebagai titik berangkat membangun masa depan?

“Sejarah yang baik adalah sejarah yang dapat menjadi cermin, tempat belajar. Kalau sejarah yang sudah berlangsung berabad-abad itu masih menyisakan dendam, berarti sejarah itu bukan sejarah yang baik dan tidak dapat dijadikan cermin, karena tidak mampu menghapus dendam. Sejarah yang mewariskan konflik dan dendam adalah sejarah yang gagal, karena mengajarkan pada generasi sesudahnya untuk memelihara benih-benih kejahatan sejarah. Sejarah kelam. Pemesongan sejarah. Padahal sekarang, dunia memerlukan orang-orang yang saling berbagi, saling memberi, termasuk cerita dan riwayat tragedi sejarah yang mereka miliki…. Setiap orang memiliki sejarahnya dan mereka telah belajar menghapus dendam dari daftar masa lampaunya. Masa depan, kan, tidak bisa dibangun dengan dendam. Orang-orang Melayu sekarang, orang Melayu modern, tidak akan mewarisi tragedi dendam …. Dendam tak akan menyelesaikan masalah.” (hlm. 484)

Begitulah, lewat novel Megat, Rida K Liamsi coba menawarkan pandangan lain tentang tragedi yang menimpa kesultanan Johor, hubungannya dengan Bentan, dan secara keseluruhan, tentang sejarah kerajaan Melayu yang pernah mencapai kejayaan membangun marwah sebagai kerajaan besar dan reputasional. Dalam konteks nasional, pesan ideologisnya, bahwa “Sejarah yang mewariskan konflik dan dendam adalah sejarah yang gagal” kiranya patut menjadi bahan renungan kita: melupakan dendam masa lalu untuk membangun masa depan gilang-gemilang.

Novel Megat adalah pilihan pengarang untuk menyampaikan pesan itu. Maka, sebagai novel (: sastra), kisah skandal cinta (atau perselingkuhan?) penting artinya untuk membaluri peristiwa sejarah lebih hidup, lebih berjiwa, dan menciptakan greget, rasa penasaran, dan tegangan. Di situlah fungsi novel sejarah menyapa para pembacanya lewat sentuhan nilai-nilai kemanusiaan. Dan novel Megat telah berhasil menjalankan tugas kemanusiaannya dengan sangat baik. Percayalah …



Penulis adalah  Pengajar FIB-UI, Depok, sastrawan dan kritikus sastra Indonesia.