Tidak Lokek Ilmu, Pandai Menjaga Keseimbangan Hubungan, dan Komit pada Ilmu yang Dikuasai

Suwardi MS

Sahabat Kamis, 10 September 2009
Suwardi MS

Tak terasa, ternyata Pak Suwardi MS sudah 70 tahun. Setiap ingat Pak Suwardi MS, saya selalu ingat pada tiga hal yang sangat mengesankan dan merupakan pelajaran berharga buat saya :

Pertama, dari Pak Suwardi saya belajar menulis sejarah. Ini terjadi, ketika saya ikut jadi anggota tim penulis buku Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah dan buku itu draftnya kami tulis di Balai Kajian Sejarah dan Nilai-Nilai Tradisional di Tanjungpinang, Kepulauan Riau. Sekitar tahun 80-an. Saya dan beberapa teman, seperti Hasan Junus, Eddy Mawuntu (kini alm), dll, jadi anggota tim penulis yang ketuanya adalah Pak Suwardi. Wajarlah dia jadi ketua, karena di Riau ketika itu hanya baru dia sajalah yang bergelar ahli sejarah, karena latar belakang sarjananya memang sarjana sejarah dan kebudayaan.


Saya ingat, saya dapat kapling menulis tentang masa muda Raja Haji. Dan, karena latar belakang saya seorang wartawan yang suka pada sejarah, budayawan yang mempelajari serba sedikit sejarah kerajaan Melayu Riau-Lingga dan Johor, maka saya menulis bahagian itu dengan cara dan gaya sastra. Apalagi, ketika itu, saya adalah koresponden majalah Tempo di Riau, sebuah majalah berita mingguan yang sedang mengembangkan apa yang disebut ?jurnalisme sastra?.

Tetapi, begitu Pak Suwardi membaca bahagian yang sudah saya tulis itu, beliau bilang dengan tersenyum sambil mengusap-usap bahagian hidung dan mulutnya, ya semacam mengurut dagu lah kata orang Melayu. ?Menuilis sejarah itu, berbeda dengan menulis cerita atau karya sastra. Kalau menulis sejarah itu, menulis cerita yang berdasarkan fakta-fakta yang terpercaya, tercatat, dan akurat sebisanya. Makanya, tidak boleh ada penafsiran lain, atau ruang untuk diperdebatkan. Kalau menulis masa mudanya, ya, harus jelas. Apa yang dilakukan, dimana, mengapa, dan bila. Memang sejarah itu bisa agak kering, karena ceritanya tidak dapat dicampur dengan penafsiran dan opini, apalagi degan prinsip andaikata,? begitulah kira-kira kata Pak Suwardi yang masih sayup sayup saya ingat.

Saya memahami maksudnya dan sayapun kemudian menulis ulang bahagian saya itu dengan semangat penulisan yang diarahkan Pak Suwardi. Meskipun, dalam hati, saya tetap berpendapat, bahwa menulis sejarah itu, berarti menulis sebuah peristiwa yang ditafsirkan ulang. Karena bagaimanapun, pengaruh waktu, politik, dan distorsi informasi lainnya, menyebabkan fakta sebuah peristiwa itu, menjadi baur dan bias, dan bisa dilihat dari berbagai sisi, tergantung siapa yang memandang dan siapa yang menulis. Dari mana dia memandang, dan bagaimana dia akan menulis.

Tetapi saya tetap setuju, menulis sejarah itu, adalah menulis cerita yang berlandaskan fakta, yang penafsirannya harus terukur, dan tidak tercela. Saya bilang, ?Buku sejarah itu tidak menarik dibaca, karena terlalu kering dan tanpa emosi. Beda dengan cerita yang berlatar belakang sejarah. Ceritanya jalan, fakta sejarahpun bisa terserapkan?. Dan buku Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah itu jadi dan diterbitkan, serta menjadi bahan utama ketika Riau memperjuangkan gelar Pahlawan Nasional dari Riau untuk Raja Haji Fisabilillah. Namun di buku itu, meski nama saya tetap disebut sebagai anggota tim penulis, tapi saya nyaris tak menemukan lagi jejak gaya dan cara penulisan saya disana. Kering bak sebuah skripsi!

Kedua, saya belajar memahami arti keseimbangan dalam berkomunikasi dan menjaga hubungan. Ini terjadi ketika saya menjadi Redaktur Pelaksana Mingguan Genta, yang terbit di Pekanbaru, di mana Pak Suwardi menjadi Pemimpin Umum nya. Sebagai jurnalis muda yang masih meledak-ledak idealismenya, saya dan teman-teman (Hasan Junus, Fachrunnas, Taufik Iklaram Jamil, Dheny Kurnia, dll) menerbitkan mingguan satu-satunya di Riau ketika itu (sekitar tahun 1983-84) dengan menurunkan berita apa adanya. Saya hampir dipecat Gubenur Riau waktu itu Imam Munandar (kini alm) karena menulis dan menerbitkan karikatur mengenai Universitas Lancang Kuning. Pak Zuhdi, SH (waktu itu Pimred Genta, meskipun tidak aktif karena beliau adalah Ka Biro Umum Pemda Riau) sudah membawa catatan kecil dari Pak Imam agar saya dipecat.

Untungnya,pak Zuhdi tidak melakukannya. Dia memang tunjukkan kepada saya isi memo itu, dan kepada Pak Imam beliau bilang, ?Sudah Pak, sudah ditindak.? Tapi, saya tetap jadi Redpel. Dan Pak Suwardi sebagai Pimpinan Umum, tidak bilang apa-apa, kecuali, ?Ya, jangan keras-keras benar ya Pak Rida,? sambil tersenyum. Itulah ciri khas Pak Suwardi yang sangat saya ingat. Tidak pernah emosi, mampu menahan diri, dan pandai menjaga perasaan kawan . Meski begitu, kami akhirnya bentrok juga dan ?pecah kongsi ?. Saya mundur dari SKM Genta, gara-gara Pak Suwardi mem-black out (menghitamkan ) sebuah berita di Genta tentang Proyek Melayunologi yang akan dibangun di Tanjungpinang. Gara-bara penghitaman sebuah berita di halaman 1 itu, saya langsung berhenti dan tidak kembali lagi ke Pekanbaru (waktu itu saya sedang di Tanjungpinang, karena baru recovery penyakit saya ).

Tapi Pak Suwardi tidak patah arang. Berkali-kali dia kirim utusan untuk menawarkan saya kembali mengurus Genta. Tapi, saya sudah buat keputusan tidak akan kembali. Dibawah semangat idealisme yang meledak-ledak itu, saya mengatakan tidak. Tetapi sekarang, ketika saya mengurus koran dan jadi pimpinan umum dengan urusan segala tetek bengek media, dan tidak hanya urusan bertita dan redaksi, saya memahami apa dan mengapa Pak Suwardi dulu melakukan ?penghitaman? itu. Saya belajar, bahwa itulah bahagian dari upaya akomodatif dalam sebuah kebijakan, dan bagaimana keseimbangan hubungan harus dijaga. ?Ono ojo ngono, tapi ojo ngono,? kata orang Jawa. Ya begitulah.

Ketiga, adalah komitmennya terhadap ilmu yang dimiliki dan dibaktikan bagi kepentingan orang banyak. Terutama komunitas di mana dia tumbuh, dibesarkan, dan mengabdi. Itulah yang dilakukan Pak Suwardi dengan disiplin Ilmu Sejarahnya. Dia menjadi satu-satunya pakar sejarah, khususnya sejarah Riau, yang sampai saat ini terus tetap setia menggali, menulis, dan menyebarluaskan temuan-temuan, pendapat-pendapatnya.

Pak Suwardi tampaknya sangat suka pada sejarah kepahlawanan, ketokohan seseorang, terutama di Riau. Karena itu, tak ada Tokoh Pahlawanan Nasional dari Riau yang tidak melibatkan peran pak Suwardi sebagai pengusung, pengusul, dan yang memperjuangkannya.

Pak Suwardi mempunyai koneksi yang sangat kuat dengan kalangan di Direktorat Kesejarahan dan Budaya di Depdikbud, sampai sekarang ini, setelah dia pensiun. Banyak buku-buku yang dia tulis, adalah buku sejarah kepahlawanan, perjuangan,dan kebudayaan Melayu Riau, yang dia geluti, yang dia racik, dan dia gali dari bumi Melayu ini. Pengabdian dan kesetiaannya pada disiplin ilmunya itulah yang saya kagumi dan saya pelajari. Seorang guru, seorang dosen, dan seorang tokoh sejarah dan kebudayaan yang sulit dicari ganti dan ditandingi. Shabas Pak Wardi!

Tulisan ini untuk Catatan Kesan untuk Buku Biografi Pak Suwardi MS (Pekanbaru, Juli 2008)