Menjadi "Universitas"

Prof. Ir. Firdaus

Sahabat Kamis, 10 September 2009
Prof. Ir. Firdaus

Pertanyaan visioner yang paling esensial dari perjalanan hidup seseorang adalah menjadi apa kita ? Dan menjadi siapa kita ? Pertanyaan itu muncul begitu tangisan hidup pertama kita menguak ke dunia, ke kehidupan ini!

Tetapi, jawaban dari pertanyaan ini terkadang sampai akhir hayat kita tak pernah terjawab dengan memuaskan. Mungkin kita sudah menjadi "seseorang", menjadi "sesuatu", namun kita tetap merasa bahwa bukan itu jawaban sebenarnya . Bukan itu yang kita inginkan. Bukan itu mimpi kita. Atau terkadang, kita tiba-tiba merenungkan dan melihat apa yang sudah sempat dicapai orang lain , siapapun dia, dimanapun dia lahir, apapun agama dan rasnya. Kita, tiba-tiba menemukan kenyataan bahwa ternyata semua kita memang telah menjadi "sesuatu", menjadi "seseorang" yang berguna dalam kehidupan ini. Apapaun yang kita capai . Kita sudah menjadi "sebuah universitas" kehidupan.Menjadi sesuatu yang menjadi tempat orang lain belajar. Mengajari, mungkin tanpa sadar, tentang sesuatu yang menjadi inspirasi orang lain untuk mencapai suskses dalam hidupnya.

Buku biografi Mathsusita, salah seorang entrepreneur dunia yang terkenal itu, antara lain mengungkapkan bahwa salah satu sumbangan terbesar Matsusita dalam perjalanan hidupnya, adalah bahwa dia telah membangun sebuah ?universitas? yang sangat luar biasa. Emperium bisnisnya, bukan hanya telah menjadi sumber pendapatan dan kekayaan dirinya yang besar atau menjadi salah satu mesin ekonomi dunia yang sangat berpengaruh, tetapi juga telah menjadi sebuah tempat beribu-ribu orang belajar tentang hidup. Tentang karir, tentang sukses, dan tentang kegagalan. Melalui imperium bisnisnya, Matsusita sudah mendidik dan menghasilkan beribu-ribu entrepreneur dunia, yang dalam perjalanan hidup mereka setelah itu membangun lagi universitas-universitas kehidupan. Tempat orang lain belajar dan memetik ilmu dan keberuntungan. Dan begitulah, dalam kehidupan ini ada berjuta-juta Matsusita, dan berjuta-juta ?universitas ? seperti itu. Dan diantaranya, adalah ?Kita ?.

Firdaus, melalui bukunya ?Sekolah Kehidupan di Lingga? ini, pada hakekatnya juga menunjukkan bagaimana setiap jejak dan dengus nafas kehidupan kita itu, adalah juga sebuah sekolah. Setiap ceruk, tokong pulau, tiap teluk rantau adalah tempat orang belajar, memetik ilmu dan pengalaman. Memetik ?kearifan?. Inilah lembaga pendidikan yang paling nyata , dan paling berpengaruh. Pada lembaga yang bernama kehidupan ini, sesorang tidak diajarkan, tidak dipaksa untuk menerima, atau menolak suatu konsep, sebuah sistim, tetapi mereka memiliki kemerdekaan penuh untuk memetik, mengambil, dan memahami makna dan nilai yang tampak, apa yang dia anggap sebagai keberhasilan, sebagai contoh yang akan memberi warna bagi kehidupannya, mimpi-mimpinya. Juga kemerdekaan untuk mencampakkan nilai-nilai yang dianggap tidak ideal, dan sebagai sampah kehidupan. Hakekat dari sebuah sekolah atau lembaga pembelajaran itu adalah ? Kemerdekaan seseorang untuk memilih apa yang dia perlukannya untuk menjadi ?dirinya? , menjadi ?sesuatu ?, sebagaimana visi hidupnya yang kelak akan dia pertanggungjawabkan kepada Sang Pencipta nya.

Pikiran-pikiran tentang belajar dari kehidupan itu, bukan karena krisis kepercayaan pada lembaga-lembaga pendidikan resmi yang sudah ada dan sudah dibangun dengan biaya yang besar. Bukan karena kecewa bahwa lembaga-lembaga itu pada akhirnya lebih banyak menghasilkan para penganggur dan intelektual yang kurang mandiri. Bukan untuk menuduh bahwa ?ijazah? itu adalah sampah kehidupan yang sudah diperoleh dengan biaya mahal, yang tidak berguna, begitu kita masuk kedalam kehidupan sebenarnya.

Lembaga pendidikan moderen, akhirnya kita sepakati, memang hanya sebuah tempat dimana logika dan persepsi tentang hidup dan kehidupan dapat dikelola dan diarahkan dengan lebih sistimatis, terencana dan terukur, melalui doktrin dan teori-teori yang didedahkan. Lembaga pendidikan moderen, pada akhirnya hanya sebuah tempat dimana ?status terdidik? itu diakui dan syah. Itulah bahagian dari norma dan sistim kehidupan moderen, tetapi bukan kehidupan itu sendiri.

Apa yang dapat dipikirkan secara konkrit tentang sebuah kampung bernama Air Salak, di Desa Raya, Kecaman Singkep Barat, Kabupaten Lingga , tempat penulis buku ini dilahirkan? Mungkin cuma sebuah nama, sebuah tempat, sebuah peristiwa. Realitas ini, sama dengan Desa Kemusuk, tempat Pak Harto lahir, atau desa dimana SBY atau JK lahir. Tetapi bagi Firdaus, dari sanalah dia belajar tentang kehidupan. Belajar tentang arti menjadi kanak-kanak, menjadi seseorang, yang tidak seorang tahu akan menjadi ?Apa ?, atau ?Siapa ? . Sama seperti ketika kita berjalan ke desa-desa terpencil di bibir laut, atau di kaki gunung dan bertemu dengan berpuluh-puluh kanak-kanak berpakaian seragam sekolah atau compang camping, dan kita terpegun dan berrtanya : Akan jadi ?apa? atau jadi ?Siapa? anak-anak ini? Jadi petani, jadi nelayan? atau jadi Presiden, Jenderal? jadi ustaz atau maling ?

Dari kampung inilah Firdaus memahami tentang cita-cita, memahami tentang kemiskinan, isolasi, tentang tekad dan kesungguhan untuk menjadi ?seseorang ?, menjadi ?sesuatu ?. Perjalanan jauh dia mencari ilmu sampai akhirnya menjadi seorang Guru Besar, akhirnya membawa dia kembali pada kenyataan, bahwa sekolah yang paling lengkap dan berpengaruh itu, sesungguhnya adalah kehidupan. Tentang sesorang yang pada hakekatnya harus menjadikan dirinya sebagai sebuah sekolah, sebuah universitas, tempat orang lain memetik ilmu, mengambil contoh. Tempat dirinya secara sadar, menjadi guru, menjadi dosen, menjadi sesorang yang membuka seluruh isi dada dan kepalanya untuk disumbangkan dan diberikan kepada orang lain.

Firdaus telah menunjukkan, apa yang dapat dipetik dari keberadaan sebuah pulau yang bernama Singkep, tempat penghasil timah, tempat berbagai flora tumbuh, termasuk pohon Keremunting yang menjadi tesisnya untuk meraih gelar Doktor. Tentang Pulau Lingga, tentang Pulau Senayang, tentang nelayan, penanam gambir, dan pendulang pasir timah. Tentang kesadaran, bahwa untuk menjadi ?apa ? kita, menjadi ?siapa ? kita, maka pandai pandailah memetik ilmu dari kehidupan. Dari alam, dari nestapa, dari bencana dan dari berkah serta rahmat yang dilimpahkan Tuhan.

Banyak orang menangisi kemiskinan yang menderanya pada hari ini. Meluahkan penyesalan, memekikkan tuduhan dan meluapkan kekecewaan ke berbagai pihak. Menyalahkan pendidikan formal. Menyalahkan sistim pemerintahan, menyalahan negeri tempat dia hidup dan dibesarkan.Tapi banyak juga yang justru memetik hikmah dari kesulitan itu untuk menjadikan dirinya sesorang yang membenci kemiskinan, takut pada kemiskinan, dan menjadikan kondisi miskin itu sebagai musuh, dan untuk itu dia membangkitkan semangat, dorongan, untuk melawan dan menjadikan dirinya pahlawan dan mengalahkan kemiskinan itu. Pertarungan yang keras dan menguras emosi dan energi itu, tidak akan terjadi di dalam lembaga-lembaga pendidikan resmi. Perjuangan ini hanya terjadi pada kehidupan nyata di luar bangku sekolah.

Dengan bukunya ini, Firdaus menunjukkan bagaimana seseorang harus berjuang dan berkorban untuk menjadi ?berguna ?. Bagaimana seseorang, dengan kemampuan intelektual dan keilmuan yang dimiliki, menjadikan negeri yang bernama Lingga itu, menjadi tempat semua orang dapat belajar menjadi lebih baik, menjadi lebih berguna.

Maha Besar Allah yang dengan samudera hikmahnya, menjadikan kehidupan ini sebuah ?universitas? yang senantiasa membuat ummatnya menjadi cerdas. Dan buku ini sangat besar sumbangannya bagi upaya pencerdasan itu. Shabas !

Kata Pengantar untuk buku Prof. Ir. Firdaus, ?Lingga School? (Jakarta, 17 Juli 2008)